Pak Ustadz, sepanjang pengetahuan saya, Islam membolehkan pria untuk menikahi wanita hingga 4 orang. Namun, hal yang sama tidak berlaku untuk wanita. Pada zaman Rasulullah, mungkin hal itu tidak dimungkinkan karena apabila wanita tersebut mengandung, maka akan sukar ditentukan siapa bapak biologis si anak. Namun, pada zaman sekarang ini, dengan kemajuan teknologi di bidang medis, bapak biologis anak bisa ditentukan dengan penelitian sampel DNA si anak dan si bapak. Apakah dengan itu berarti wanita sudah boleh poliandri? Mohon pencerahan dari bapak ustadz mengenai hal ini, supaya aqidah saya bisa tambah mantap.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Keharaman poliandri bukan semata-mata disebabkan karena khawatir akan terjadinya kerancuan keturunan. Tetapi memang semata-mata keharaman yang telah Allah SWT tetapkan.
Buktinya, poliandri tetap haram dilakukan oleh seorang wanita yang mandul. Kalau seandainya keharamannya hanya karena khawatir akan terjadi kerancuan dalam masalah keturunan, seharusnya wanita mandul boleh berpoliandri. Sebab dia tidak akan berketurunan, sehingga tidak akan timbul masalah kerancuan tersebut.
Demikian juga hal yang sama berlaku buat laki-laki mandul. Meski sudah bisa dipastikan tidak bisa mengakibatkan kehamilan pada diri seorang wanita, tetap saja dia diharamkan berzina. Sebab haramnya zina bukan semata-mata mengkhawatirkan lahirnya anak di luar nikah.
Dalam syariat Islam, jangankan poliandri, melamar wanita yang sedang dalam lamaran orang lain pun hukumnya haram. Termasuk melamar wanita yang sudah dicerai suaminya, selama masa iddah belum selesai, juga haram hukumnya. Apalagi sampai menikahi isteri orang, maka keharamannya dua kali lipat.
Karena itu sangat keliru kalau ada orang berasumsi bahwa haramnya poliandri hanya dikarenakan di masa lalu belum dikenal tes DNA.
Poliandri = Zina
Praktek poliandri di masa nabi SAW sudah ada dan diharamkan, namun sama sekali tidak berangkat dari khawatir terjadinya kerancuan nasab.
Ummul Mukminin Aisyah ra dalam salah satu hadits yangdiriwayatkan oleh Bukhari dan Abu Daud, menyebutkan ada 4 macam macam pernikahan dalam masa jahiliah, yaitu:
1. Seorang lelaki melamar kepada lelaki lain untuk mengawini wanita yang ada di bawah asuhannya atau anak perempuannya.
2. Seorang lelaki meminta isterinya yang baru saja suci dari menstruasi untuk pergi kepada seorang lelaki yang dipandang cerdas atau ganteng.Isteri tersebut diminta untuk melayani laki-laki yang diinginkan suaminya itu hingga ada tanda-tanda hamil. Dan, bila nyata telah hamil maka isteri tersebut kembali kepada suaminya. Suami boleh mengumpuli kembali bila menghendakinya. Nikah yang begini ini untuk mendapatkan keturunan yang ganteng atau cerdas. Ini namanya nikah istibdha.
Ini adalah bentuk poliandri dan hukumnya haram sama dengan zina.
3. Sekelompok laki-laki yang banyaknya kurang dari sepuluh orang, secara bergiliran berzina dengan seorang wanita. Apabila hamil dan melahirkan seorang anak, semua laki-laki diberitahu bahwa dia telah melahirkan anak. Wanita itu memilih salah satu yang paling dia sukai sebagai ayah anak tersebut. Nasab anak itu disandarkan pada laki-laki yang paling dicintai oleh wanita tersebut.
Ini juga bentuk poliandri dan hukumnya haram sama dengan zina.
4. Wanita pelacur memasang bendera di pintu rumahnya sebagai tanda untuk menerima lelaki siapa saja yang mau berzina dengannya. Bila hamil dan melahirkan, dia panggil semua lelaki yang pernah menggaulinya. Lalu, wanita tersebut memanggil juru tebak dan menetapkan ayah bayi itu kepada orang yang dianggap paling mirip.
Ini juga bentuk poliandri dan hukumnya haram sama dengan zina. Pendeknya, dari keempat macam pernikahan itu, pernikahan nomor 2, 3 dan 4, disebut zina dan di masa sekarang ini disebut dengan poliandri.
Semua agama yang pernah Allah SWT turunkan sepakat mengatakan bahwa poliandri itu zina. Hukumnya sejak dulu haram, sejak adanya manusia hingga akhir zaman. Tidak akan pernah berubah meski manusia menemukan teknologi test DNA. Sebab antara keduanya tidak ada hubungannya.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ahmad Sarwat, Lc.