Bismillah, assalamu’alaikum wr wb
Ustad yang kami hormati,
Seorang kawan saya menggugat cerai suaminya dan sudah diketuk palu oleh hakim pengadilan agama, resmi bercerai.
Setelah satu kali bersih haidh, dia menerima lamaran seorang pria dan mereka menikah. Mereka berkeyakinan bahwa masa iddah wanita yang khulu’ adalah satu quru’ setelah bertanya pada beberapa ustad.
Tapi kemudian ada orang-orang yang terus menggugat, mengatakan bahwa iddah dalam segala kasus cerai adalah tiga kali quru’. Kawan saya sangat gelisah, khawatir telah melakukan dosa besar.
Kami mohon ustad berkenan menjelaskan pendapat-pendapat para ulama mengenai hal ini.
Jazaakallaahu khairan katsiro
Wassalamu’alaikum wr wb
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apa yang anda tanyakan itu memang harus dijelaskan terlebih dahulu duduk permasalahannya. Istilah menggugat cerai ini seringkali keliru dengan istilah khulu’ dengan perceraian biasa.
Lafadz khulu’ memang sering diterjemahkan dengan ‘menggugat cerai’, namun sangat berbeda dengan kasus isteri minta cerai lalu suami menceraikannya.
Bedanya sangat besar antara keduanya. Kalau yang terjadi isteri minta cerai lalu suami menceraikannya, maka kasusnya adalah kasus cerai dan bukan kasus khulu’.
Sedangkan dalam kasus khulu’, suami tidak menjatuhkan cerai, tetapi pernikahan itu dibatalkan oleh pengadilan berdasarkan ‘gugatan’ pihak isteri. Tentunya pihak pengadilan agama tidak boleh main gugurkan sebuah pernikahan kecuali setelah beragam upaya untuk merujukkan atau paling parah adalah meminta pihak suami untuk menceraikan isterinya.
Dalam kasus khulu’, istilah yang digunakan adalah fasakh. Dan untuk itu pihak isteri diwajibkan mengembalikan nafkah-nafkah yang pernah diberikan. Ilustrasi sederhananya, khulu’ itu ibarat seseorang memakan makanan lalu dia memuntahkan kembali makanan yang sudah dimakannya itu.
Konsekuensi lainnya jauh lebih berat lagi, yaitu seorang wanita yang mengkhulu’ suaminya lalu khulu‘-nya itu diresmikan pengadilan agama, maka untuk selama-lamanya dia tidak halal lagi bagi mantan suaminya. Lebih kejam dari sekedar talak tiga, yang masih mungkin kembali lagi asalkan wanita itu sempat menikah dulu dengan laki-laki lain dan kembali kepada suami pertamanya.
Dalam kasus khulu’, pasangan itu selama masih di dunia ini bahkan sampai di akhirat tidak akan bisa kembali lagi, selama-lamanya. Sebab sudah di’muntah’kan.
Nah, tolong periksa ulang ke pihak pengadilan agama, sebenarnya yang terjadi antara mereka berdua itu khulu’ ataukah cerai biasa? Kalau ternyata hanya kasus cerai biasa, maka masa iddahnya harus tiga kali quru’. Tidak boleh hanya sekali quru’ saja.
Sebaliknya, kalau kasusnya memang benar-benar khulu’ secara syar’i, bukan salah istilah, maka dalam hal ini masih ada perbedaan pendapat tentang lama masa iddahnya.
Dan juga menjadi bahan perbedaan pandangan di kalangan ulama di masa lalu. Dalam hal ini ada dua kubu pendapat yang berbeda, yaitu antara jumhur ulama (mayoritas) dengan pendapat kalangan Al-Hanabilah (mazhab imam Ahmad bin Hanbal).
1. Masa Iddah Khulu’: 3 Kali Haidh
Mayoritas ulama selain Al-Hanabilah cenderung menyamakan antara khulu’ dengan talak, sehingga masa ‘iddah wanita yang mengkhulu’ suaminya 3 kali masa quru’.
Menurut jumhur ulama, quru’ adalah masa suci dari haidh. Sedangkan sebagian ulama lain mengatakan bahwa quru’ adalah masa haidh itu sendiri. Dengan demikian, dalam masalah berapa lama masa quru’ itu sendiri masih ada perbedaan waktu.
2. Masa Iddah Khulu’: 1 Kali Haidh
Sedangkan pendapat Al-Hanabilah mengatakan bahwa khulu’ itu adalah fasakh, bukan talak. Pendapat ini juga didukung sebelumnya oleh fatwa Khalifah Utsman bin Affan, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas ridhwanullahi ‘alaihim ajmai’in.
Dan masa ‘iddah buat wanita yang mengkhulu’ suaminya adalah 1 kali mendapat haidh, bukan tiga kali haidh. Hal itu juga ditegaskan di dalam riwayat dari sabda Rasulullah SAW, di antaranya adalah hadits-hadits berikut ini.
ابن عباس:(أن امرأة ثابت بن قيس اختلعت منه فجعل النبي صلى الله عليه وسلم عدتها حيضة ) رواه أبو داود والترمذي
Dari Ibnu Abbas ra bahwa isteri Tsabit bin Qais mengkhulu’ suaminya, maka Rasulullah SAW menjadikan masa ‘iddahnya sekali mendapat haidh. (HR Abu Daud dan Tirimizi, serta dishahihkan oleh Al-Albani)
Namun salah satu perawi hadits ini yaitu Al-Imam At-Tirmizy justru mengatakan bahwa kedudukan atau status hadits ini hasan gharib.
وعن الربيع بنت معوذ أنها اختلعت على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فأمرها النبي صلى الله عليه وسلم أو أمرت أن تعتد بحيضة. رواه الترمذي وابن ماجة
Dari Ar-rabi’ binti Muawwaz bahwa dirinya melakukan khulu’ di masa Rasulullah SAW. Beliau memerintahkan untuk beriddah selama satu kali haidh. (HR Tirimizy dan Ibnu Majah serta dishahihkan oleh Al-Albani)
Ibnu Umar berkata, "Masa iddah buat seorang wanita yang mengkhulu’ suaminya adalah satu kali haidh." (HR Abu Daud)
Sehingga kalau pun seorang wanita yang mengkhulu’ suaminya itu baru sekali mendapat haidh, lantas menerima pinangan dari orang lain, tidak bisa disalahkan. Karena meski bukan pendapat jumhur ulama, namun ada qaul yang mengatakan demikian, sehingga sudah cukup untuk dijadikan landasan dalam mengambil pendapat hukum.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc