Di Mana dan Kepada Siapa Kami Bisa Melaksanakan Nikah Siri?

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ustadz yang dimuliakan oleh Allah SWT,

Kami adalah hamba Allah (laki-laki dan perempuan) yang saling mencintai. Layaknya orangn yang berpacaran pasti mempunyai tujuan ingin bersatu dalam ikatan perkawinan. Namun yang jadi permasalahan adalah keluarga atau orang tua dari pihak perempuan tidak merestui niat hubungan kami dikarenakan status pihak laki-laki sudah beristri.

Dari permasalahan di atas kami mempunyai niat ingin melaksanakan “Nikah Siri” (sah menurut agama). Semua ini kami lakukan dengan tujuan agar hubungan kamihalal dan terhindar dari perbuatan zina.

Ustadz yang dimuliakan oleh Allah SWT,

Mohon kiranya ustadz memberi jalan keluar bagi permasalahan kami ini:

  1. Bagaimana kami bisa nikah siri secara sah sedangkan dari pihak perempuan tidak memberi restu?
  2. Di mana dan kepada siapa kami harus melaksanakan nikah siri?

Kiranya cukup sekian pertanyaan dari kami, mohon diberi penjelasan segera.

Sekian dan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jawaban

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Syariat Islam telah menetapkan bahwa yang namanya akad nikah itu bukan janji antara sepasang kekasih. Namun akad nikah adalah sebuah transaksi atau kesepakatan antara dua orang laki-laki.

Transaksi antara dua orang laki-laki?

Ya, benar, transaksi atau kesepakatan antara dua orang laki-laki. Yaitu antara calon suami dengan mertuanya, lebih tepatnya dengan ayah kandung calon isterinya. Itulah hakikat pernikahan dalam pandangan syariat Islam.

Syariat Islam tidak mengenal akad perjanjian ikatan pernikahan antara calon suami dengan calon isterinya. Perjanjian atau ikatan seperti ini tidak dikenal dan juga tidak sah. Sebab proses akad nikah adalah penghalalan atas diri seorang wanita. Maka yang menghalalkan bukan diri seorang wanita, melainkan ayah kandungnya.

Hanya ayah kandung saja yang bisa menikahkan puterinya. Haknya mutlak 100% dan tidak bisa diambil alih oleh siapapun, bahkan termasuk kakek dan semua saudaranya. Sehingga para ulama menyebut status seorang ayah kandung atas hak perwalian anak gadisnya adalah wali mujbir.

Maka siapaun termasuk penguasa tertinggi negara sekali pun tidak punya hak untuk mengambil posisi sebagai wali atas anak gadis siapapun. Kalau sampai terjadi dan dilakukan, maka hukumnya bukan akad nikah, melainkan zina yang nyata.

Demikianlah agama ini turun dari langit, mengatur aturan main dalam masalah pernikahan yang dihalalkan. Semua manusia termasuk para nabi harus tunduk, patuh, taat dan setia pada aturan samawi ini.

Pengecualian

Berangkat dari kekuasaan yang mutlak dari seorang ayah kandung atas perwalian anaknya, maka hukum syariah memberikan juga hak sepenuhnya kepada ayah kandung untuk memberi kuasa kepada orang lain untuk bertindak atas izin dan atas nama dirinya, sebagai wali bagi anak kandungnya.

Implementasinya sudah sering kita lihat dalam beberapa ritual akad nikah di sekeliling kita. Misalnya, seorang ayah kandung meminta kesediaan petugas pencatat akte nikah untuk melaksanakan prosesi ijab kabul. Ini dibenarkan dan dibolehkan, asalkan dengan satu syarat mutlak, yaitu adanya pelimpahan wewenang dari ayah kandung kepada orang lain yang memenuhi syarat dan kriteria sebagai wali.

Syarat Orang yang Mendapat Pelimpahan Sebagai Wali

Ada syarat esensial dan ada 6 syarat kelayakan. Satu syarat yang paling fundamental dan esensial sekali adalah adanya pelimpahan wewenang secara sah dan resmi dari ayah kandung pihak pengantin wanita. Syarat ini mutlak dan tidak ada tawar menawar. Tanpa adanya izin, pelimpahan wewenang atau pemberian mandat dari ayah kandung, tidak ada pernikahan, tidak ada akad nikah, tidak ada ijab kabul dan tidak ada transaksi apapun.

Sedangkan syarat kelayakan adalah enam kriteria dasar agar seseorang layak menjadi wali, setelah mendapatkan pelimpahan wewenang dari ayah kandung.

  1. Beragama Islam.
  2. Berstatus merdeka, bukan budak.
  3. Berjenis kelamin laki-laki.
  4. Berakal sehat.
  5. Sudah baligh.
  6. Bersifat ‘adil dalam menjalankan agama.

Tidak disyaratkan adanya hubungan famili dalam kriteria orang yang mendapatkan wewenang. Juga tidak harus yang lebih muda atau yang lebih tua.

Maka bisa kita simpulkan bahwa mau nikah sirri atau jahri atau apapun namanya, yang tidak boleh ditinggalkan adalah posisi ayah kandung pihak isteri, baik secara langsung dia menikahkan atau memberikan limpahan wewenang kepada orang lain secara sah dan resmi untuk bertindak secara sah atas nama ayah kandung.

Dalil atas semua keterangan di atas adalah hadits nabawi berikut ini:

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا, فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ, وَصَحَّحَهُ أَبُو عَوَانَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ

Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil.” (HR Arba’ah kecuali An-Nasai)

– وَعَنْ أَبِي بُرْدَةَ بْنِ أَبِي مُوسَى, عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِي رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ اَلْمَدِينِيِّ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّانَ, وَأُعِلَّ بِالْإِرْسَالِ

Dari Abi Burdah bin Abi Musa dari ayahnya berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak sah sebuah pernikahan kecuali dengan wali.” (HR Ahmad dan imam empat)

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ { لَا تُزَوِّجُ اَلْمَرْأَةُ اَلْمَرْأَةَ, وَلَا تُزَوِّجُ اَلْمَرْأَةُ نَفْسَهَا } رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ, وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ

Dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah seorang wanita menikahkan wanita lainnya. Dan janganlah seorang wanita menikahkan dirinya sendiri.” (HR Ibnu Majah dan Ad-Daruquthny)

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.