Assalamu’alaikum, wr, wb.
Saya pernah mendengar ceramah hikmah pernikahan dari seorang ustadz yang menjelaskan tentang kewajiban antara suami dan isteri, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya tanyakan berkaitan dengan isi ceramaha dari ustadz tersebut, yaitu:
1. Benarkah kewajiban seorang isteri hanya ada 3, yaitu "melayani" suami, melahirkan dan menyusui?
2. Benarkah kewajiban seorang suami yang sebenarnya adalah mencari nafkah, mendidik anak dan bahkan mengurus rumah tangga, sep: mencuci baju, mencuci piring, memasak, dll, kalaupun isteri yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga itu sifatnya hanya membantu saja.
Ustadz tersebut mengatakan bahwa poin-poin di atas tadi terdapat dalam fikih nikah/rumah tangga yang sesungguhnya.
Jakaallah sebelumnya untuk jawaban yang diberikan.
Wassalam…
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apa yang dikatakan oleh pak ustadz itu memang sedikit banyak ada benarnya. Sebab pada dasarnya suami memang berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya.
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, dan karena mereka telah memberi nafkah sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa’: 34)
Nafkah adalah segala yang dibutuhkan oleh seorang manusia, baik bersifat materi maupun bersifat ruhani.
Dari segi materi, umumnya nafkah itu terdiri dari makanan, pakaian dan tempat tinggal. Maka seorang isteri berhak untuk mendapatkan nafkah itu dengan tanpa harus ada kewajiban untuk mengolah, mengelola atau mengurusnya.
Jadi sederhananya, posisi isteri hanya tinggal buka mulut dan suami yang berkewajiban menyuapi makanan ke mulut isterinya. Tidak ada kewajiban isteri untuk belanja bahan mentah, memasak dan mengolah hingga menghidangkannya. Semua itu pada dasarnya kewajiban asasi seorang suami.
Seandainya suami tidak mampu melakukannya sendiri, tetap saja pada dasarnya tidak ada kewajiban bagi isteri untuk melaksanakannya. Bahkan kalau pun suami harus menyewa pembantu atau pelayan untuk mengurus makan dan urusan dapur.
Bahkan memberi nafkah kepada anak juga bukan kewajiban isteri. Suami itulah yang punya kewajiban untuk memberi nafkah kepada anak-anaknya. Termasuk memberinya air susu ibu, bukan kewajiban isteri tetapi kewajiban itu pada dasarnya ada pada suami. Kalau perlu, suami mengeluarkan upah kepada isterinya untuk menyusui anaknya sendiri.
Hubungan Suami Isteri: Tidak Selalu Hitam Putih
Namun apa yang kita bahas di atas hanyalah bilakalau kita bicara tentang hak dan kewajiban antara suami isteri secara hitam dan putih. Tanpa melihat sisi-sisi lain seperti pertimbangan moral, etika dan hubungan sosial. Jadi apa yang disampaikan pak ustadz itu pada hakikatnya memang benar, kalau dilihat hanya dari satu sisi saja.
Namun hubungan suami isteri tidak mungkin selamanya hanya didasarkan pada hubungan hukum hitam putih yang kaku. Tentu ada sisi-sisi lain sepeti aspek rasa cinta, saling memiliki, saling tolong, saling merelakan hak dan saling punya keinginan untuk membahagiakan pasangannya.
Sehingga seorang isteri yang pada dasarnya tidak punya kewajiban atas semua hal itu, dengan rela dan ikhlas melayani suaminya, belanja untuk suami, masak untuk suami, menghidangkan makan di meja makan untuk suami, bahkan menyuapi makan untuk suami kalau perlu. Semua dilakukannnyasemata-mata karena cinta dan sayangnya kepada suami.
Dengan semua hal itu, tentunya isteriakan menerima pahala yang besar dari apa yang dikerjakannya. Karena dengan bantuannya itu, suami akan menjadi senang dan ridha kepadanya.
Maka pasangan itu akan memanen kebaikan dan pahala dari Allah SWT. Suami mendapat pahala karena sudah melaksanakan kewajiabnnya, yaitu memberi hartanya untuk nafkah isterinya. Isteri mendapat pahala karena membantu meringankan beban suami. Meski hukumnya tidak wajib.
Itulah hubungan cinta antara suami dan isteri, yang jauh melebihi sekedar hubungan hak dan kewajiban. Tentu saja ketika seorang isteri mengerjakan hal-hal yang pada dasarnya menjadi kewajiban suami, maka wajar bila suami mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan yang tulus.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc