Assalaamu’alaykum wr. wb.
Ustadz, saya masih belum begitu yakin dengan jawaban dari ustadz, maaf. Adakah dalil-dalil yang mendukung sehingga dibolehkanya cara nikah seperti ini? Bukankah menikah itu harus ada kedua mempelai, saksi, dan wali perempuan. Mohon penjelasanya. mungkin saya yang kurang memahami masalah ini. Terima kasih atas jawabnya.
Wassalamu’alaykum wr. wb.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Memang benar apa yang anda katakan, sebuah pernikahan itu harus dilakukan oleh wali dari pihak perempuan dan pihak mempelai laki-laki. Mereka berdua melafadzkan ijab dan qabul yang disaksikan oleh minimal 2 orang laki-laki muslim.
Tanpa adanya keempat orang itu, nikahnya menjadi tidak sah. Karena tidak memenuhi ketentuan dan persyaratan sebuah pernikahan.
Namun yang perlu diperjelas di sini, bahwa seorang wali diperkenankan untuk meminta orang lain untuk mewakili tugas dan wewenang. Orang lain yang ditunjuk ini, tentu saja harus benar-benar ditunjuk dalam arti kata yang sesungguhnya.
Dalam masyarakat, seringkali kita lihat orang tua mempelai wanita meski hadir dalam acara akad nikah itu, meminta kepada petugas pencatat nikah (KUA) untuk menjadi wakilnya. Sehingga yang mengucapkan ijab bukan orang tua mempelai wanita, melainkan petugas KUA. Petugas itu tidak boleh mengambil alih wewenang sebagai wali mempelai wanita, kecuali berdasarkan permintaan dari si wali tersebut.
Demikian juga, mempelai laki-laki pun diperkenankan untuk meminta orang lain menjadi wakil dirinya, dalam akad nikah. Baik dirinya hadir dalam acara akad itu atau pun tidak. Namun yang kedua ini memang kurang lazim terjadi. Tapi secara hukum, bila memang hal itu yang diingininya, hukum tetap sah.
Seluruh ulama salaf dan khalaf sepakat membolehkan masalah mewakilkan wali nikah ini secara bulat. Baik Mazhab Abu Hanifah, Malik, As-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal. Bahkan mazhab Abu Hanifah lebih jauh lagi dalam masalah ini, yaitu seorang wanita boleh menjadi wakil dari ayah kandungnya dalam pernikahan dirinya.
Jumhur ulama mengatakan bahwa kebolehan mewakilkan wewenang kepada orang lain (tawkil) dalam menikahkan pasangan pengantin ini berlaku juga dalam hampir semua hal yang terkait dengan masalah muamalah. Seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, salaf, istishna’ dan lainnya.
Sedangkan yang terkait dengan ibadah mahdhah dan bersifat langsung kepada Allah SWT, tidak berlaku kecuali bila ada dalil. Shalat dan puasa tidak boleh diwakilkan kepada orang lain, namun ibadah haji termasuk rincian manasiknya seperti melontar jamarat dan lainnya, dimungkinkan untuk diwakilkan. Lantaran ada dalil yang tegas atas hal itu. Termasuk yang boleh diwakilkan adalah menyembelih qurban yang dipersembahkan kepada Allah SWT di hari Raya Qurban.
Pada dasarnya menurut para ulama, tidak disyaratkan ada persaksian dalam proses pemberian wewenang untuk menjadi wakil wali nikah. Namun mereka menganjurkan untuk dihadirkan saksi-saksi, untuk berjaga-jaga agar jangan sampai orang yang sudah menyerahkan wewenang kepada wakilnya, tiba-tiba mengingkarinya.
Islam Memberi Kemudahan Namun Sesuai Prosedur
Kemungkinan menunjuk wakil dalam akad nikah ini untuk menjawab masalah nikah jarak jauh, di mana wali mempelai wanita dan mempelai laki-laki sulit untuk bisa duduk dalam satu majelis.
Ketimbang mereka melakukan ijab kabul lewat telepon, akan lebih utama bila secara sah mereka meminta orang lain mewakili mereka. Sebab ijab kabul jarak jauh ini masih meninggalkan banyak perdebatan. Lantaran ada keharusan disaksikan oleh dua orang saksi muslim, laki-laki, yang sudah aqil dan baligh. Sesuatu yang sulit dikerjakan bila dilakukan dengan jarak jauh dan bukan dalam satu majelis.
Maka yang bisa kita simpulkan adalah bahwa setiap personal yang terkait dalam sebuah akad nikah boleh mewakilkan wewenangnya kepada orang lain. Dalam hal ini adalah calon suami dan mertuanya. Keduanya berhak meminta orang lain untuk mewakili dirinya dalam sebuah akad.
Sedangkan saksi nikah yang dua orang itu, memang tidak tergantikan, tetapi saksi boleh siapa saja, asalkan muslim, laki, aqil, baligh, merdeka dan adil.
Wallahu a’lam bishashawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc.