Assalamualaikum wr wb
Pak Ustadz saya mau bertanya,
Bagaimana hukumnya pernikahan yang dilakukan saat, mempelai wanitanya sedang dalam keadaan hamil akibat hubungan pra nikah. Saat ini banyak kejadian anak SMA hamil diluar nikah kemudian langsung dinikahkan oleh keluarganya untuk menutupi aib. Apakah pernikahan itu sah? Apakah setelah anak itu lahir pernikahan harus diulang.
Dan jika tidak ada pernikahan ulang, apakah selama pasangan suami isteri itu tinggal bersama itu termasuk dalam perbuatan zinah. Mohon penjelasannya Pak Ustadz.
Makasih
Wassalam Wr Wr
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebelum sampai kepada jawaban, rasanya kita perlu membedakan terlebih dahulu kasusnya, agar tidak terjadi salah paham. Sebab kalimat ‘menikahi wanita hamil’ itu sesungguhnya masih mengandung banyak kekurangan informasi.
Misalnya, bagaimana status dan kedudukan wanita itu, apakah sudah menikah atau belum? Lalu siapakah yang diharamkan untuk menikahinya, apakah suaminya, atau suami orang lain? Ataukah wanita itu belum punya suami lalu berzina dengan seseorang, lalu siapa yang diharamkan untuk menikahinya? Laki-laki yang menzinainya kah? Atau laki-laki lain yang tidak berzina dengannya?
Semua harus kita petakan terlebih dahulu, karena tiap-tiap kasus akan berbeda-beda hukumnya.
1. Kasus Pertama
Seorang wanita sudah menikah dan sedang dalam keadaan hamil, lalu berhubungan seksual dengan suaminya, maka hukumnya halal. Sebab hubungan suami isteri tidak terlarang, bahkan pada saat hamil sekali pun. Lagi pula, dia melakukannya dengan suaminya sendiri. Maka hukumnya halal.
2. Kasus Kedua
Seorang wanita sudah menikah dan sedang dalam keadaan hamil. Suaminya meninggal atau menceraikannya. Maka wanita ini diharamkan menikah, apalagi melakukan hubungan seksual dengan laki-laki lain.
Sebab wanita itu masih harus menjalankan masa iddah, yaitu masa di mana dia harus berada dalam posisi tidak boleh menikah, bahkan termasuk ke luar rumah dan sebagainya. Dan masa iddah wanita yang hamil adalah hingga dia melahirkan anaknya.
3. Kasus Ketiga
Seorang wanita hamil di luar nikah yang syar’i (berzina), lalu untuk menutupi rasa malu, keluarganya menikahkannya dengan orang lain. Yaitu laki-laki lain yang tidak menzinainya.
Dalam hal ini, para ulama mengharamkan terjadinya hubungan seksual antara mereka. Adapun apakah boleh terjadi pernikahan saja, tanpa hubungan seksual, ada dua pendapat yang berkembang.
Pendapat pertama, hukumnya haram. Dan kalau dinikahkan juga, maka pernikahan itu tidak sah alias batil. Di antara para ulama yang mengatakan hal ini adalah Al-Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal dan jumhur ulama.
Karena yang namanya suami isteri tidak mungkin diharamkan dalam melakukan hubungan seksual. Jadi menikah saja pun diharamkan, kecuali setelah anak dalam kandungan itu lahir.
Pendapat kedua, hukumnya halal dan pernikahan itu sah. Asalkan selama anak itu belum lahir, suami itu tetap tidak melakukan hubungan seksual dengannnya. Suami harus menunggu hingga lahirnya bayi dalam perut. Baik dalam keadaan hidup atau mati.Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i dan Imam Abu Hanifah.
Perbedaan pendapat para ulama ini berangkat dari satu dalil yang dipahami berbeda. Dalil itu adalah dalil tentang haramnya seorang laki-laki menyirami ladang laki-laki lain.
رويفع بن ثابت أن النبى صلى الله عليه وسلم قال " من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يسقى ماءه ولد غيره وروى الترمذى ، وحسنه ، وغيره من حديث ،
Dari Rufai’ bin Tsabit bahwa Nabi SAW bersabda, "Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyiramkan airnya pada tempat yang sudah disirami orang lain." (HR Tirmizi dan beliau menghasankannya)
Jumhur ulamayang mengharamkan pernikahan antara mereka mengatakan bahwa haramnya ‘menyirami air orang lain’ adalah haram melakukan akad nikah. Sedangkan As-Syafi’i dan Abu Hanifah mengatakan bahwa yang haram adalah melakukan persetubuhannya saja, ada pun melakukan akad nikah tanpa persetubuhan tidak dilarang, karena tidak ada nash yang melarang.
4. Kasus Keempat
Seorang wanita belum menikah, lalu berzina hingga hamil. Kemudian untuk menutupi rasa malunya, dia menikah dengan laki-laki yang menzinainya itu.
Dalam hal ini para ulama sepakat membolehkannya. Karena memang tidak ada larangan atau pelanggaran yang dikhawatirkan. Setidaknya, Al-Imam Asy-syafi’i dan Abu Hanifah rahimahumallah membolehkannya. Bahkan mereka dibolehkan melakukan hubungan seksual selama masa kehamilan, asalkan sudah terjadi pernikahan yang syar’i antara mereka.
Karena illat (titik point) larangan hal itu adalah tercampurnya mani atau janin dari seseorang dengan mani orang lain dalam satu rahim yang sama. Ketika kemungkinan itu tidak ada, karena yang menikahi adalah laki-laki yang sama, meski dalam bentuk zina, maka larangan itu pun menjadi tidak berlaku.
Seringkali ada orang yang tetap mengharamkan bentuk keempat ini, mungkin karena agak rancu dalam memahami keadaan serta titik pangkal keharamannya.
Pendeknya, kalau wanita hamil menikah dengan laki-laki yang menzinainya, maka tidak ada dalil atau illat yang melarangnya. Sehingga hukumnya boleh dan sesungguhnya tidak perlu lagi untuk menikah ulang setelah melahirkan. Karena pernikahan antara mereka sudah sah di sisi Allah SWT. Bahkan selama masa kehamilan itu, mereka tetap diperbolehkan untuk melakukan hubungan suami isteri. Jadi mengapa harus diulang?
Perbedaan Antara Wanita Pezina dengan Wanita Yang Pernah Berzina
Satu hal lagi yang perlu dijelaskan duduk perkaranya adalah perbedaan hukum antara dua istilah. Istilah yang pertama adalah ‘wanita pezina’, sedangkan yang kedua adalah ‘wanita yang pernah berzina’.
Antara keduanya sangat besar bedanya. Wanita pezina itu adalah wanita yang pernah melakukan zina, belum bertaubat, bahkan masih suka melakukannya, baik sesekali atau seringkali. Bahkan mungkin punya pandangan bahwa zina itu halal.
Wanita yang bertipologi seperti ini memang haram dinikahi, sampai dia bertaubat dan menghentikan perbuatannya secara total. Dan secara tegas, Allah SWT telah mengahramkan laki-laki muslim untuk menikahi wanita pezina. Dan wanita seperti inilah yang dimaksud di dalam surat An-Nur berikut ini.
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu’min. (QS. An-Nur: 3)
Adapun wanita yang pernah berzina, lalu dia menyesali dosa-dosanya, kemudian bertaubat dengan taubat nashuha, serta bersumpah untuk tidak akan pernah terjatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya, maka wanita seperti ini tidak bisa disamakan dengan wanita pezina.
Ayat di atas tidak bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan pernikahan bagi dirinya, hanya lantaran dia pernah jatuh kepada dosa zina.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc