Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh,
Semoga Allah SWT selalu membimbing kita untuk menta’atinya dan Sholawat serta salam untuk Tauladan kita Rosulullah SAW,
Singkat saja pertanyaannya ustadz..
Setelah ibu kandung saya meninggal, ayah saya menikah lagi yang berarti saya punya seorang ibu tiri, nah apakah suami saya batal wudhu’nya apabila bersentuhan dengan ibu tiri saya?
Terimakasih Ustadz atas penjelasannya.
Wassalamu’alaikum.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kalau seandainya anda laki-laki, maka ibu tiri anda menjadi mahram anda secara muabbad. Atau kalau menggunakan istilah yang anda pakai, anda tidak batal dengan ibu tiri anda.
Dalilnya adalah firman Allah SWT:
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan. (QS. An-Nisa’: 22)
Tetapi karena anda perempuan, dan anda punya suami, maka kedudukan suami anda terhadap ibu tiri anda bukan termasuk mahram. Karena ibu tiri anda itu bukan wanita yang dinikahi oleh ayah suami anda. Ibu tiri anda itu adalah wanita yang dinikahi oleh mertua suami anda.
Adapun ibu kandung anda seandainya beliau masih hidup, tentu menjadi mahram bagi suami anda. Sebab almarhumah ibu anda itu adalah ibu dari isterinya. Ibu dari isteri (mertua) telah ditetapkan sebagai wanita mahram yang bersifat muabbad dengan dalil:
Diharamkan atas kamu…ibu-ibu isterimu (QS. An-Nisa’: 2)
Jadi ibu mertua tiri anda itu termasuk ‘batal’ bagi suami anda. Walau pun urusan batal atau tidak batal ini sebenarnya urusan khilafiyah di kalangan para ulama. Yang baku sebenarnya bahwa suami anda bukan mahram muabbad terhadap ibu tiri anda. Isteri dari mertua laki-lakinya.
Mahram Tidak Menular Kepada Posisi
Prinsip ini digunakan dalam urusan mahram, seperti yang anda tanyakan. Tidak mentang-mentang posisinya seperti ibu mertua, lantas mertua tiri bisa jadi mahram.
Hal yang sama kasusnya pada seorang wanita dengan suami bibinya, mereka bukan mahram. Benar kalau antara seorang wanita dengan paman mereka menjadi mahram, tetapi tidak menjadi mahram dengan ‘paman’ yang merupakan suami dari bibi.
Panggilan ‘paman’ dalam isitlah ini adalah panggilan yang semu. Dia bukan paman yang sesungguhnya, melainkan suami dari saudara perempuan ayah.
Demikian pula tidak ada hubungan kemahraman antara seorang laki-laki dengan isteri pamannya. Meski posisinya seperti bibi atau seperti saudara perempuan ayah, namun istilah ‘bibi’ di sini adalah istilah yang semu. Bukan bibi secara hakiki.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc