Assalamualaikum Wr. Wb.
Ustadz yang dimuliakan Allah Swt, saya pernah ditanya seseorang tentang taubat yang berkenaan dengan hudud, dan saya tidak bisa menjawabnya. Karenanya saya tanyakan hal tersebut kepada ustadz. Jika seseorang berbuat dosa besar yang diharuskan hudud, katakanlah zina (na’udzubiLlah), sementara ketika dia melakukan Syariat Islam belum tegak. Lalu kemudian orang tersebut bertaubat nashuha kepada Allah Swt. Namun setelah itu ternyata hukum Islam tegak di negara tempat orang tersebut tinggal, wajibkah dia menyerahkan diri kepada pemerintah untuk dihukum dengan hukum Islam sebagai syarat taubatnya tersebut? Mohon penjelasannya, ustadz. JazakaLlah khairan katsiiraa. Wassalaamu’alaikum wr. wb.
wassalamualaikum
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Syarat dari dibenarkannya pelaksanaan hukum hudud adalah bahwa kejahatan atau maksiat itu dilakukan di dalam sebuah wilayah hukum Islam yang sedang berlaku secara formal. Bila dilakukan di luar wilayah itu, maka tidak bisa dibenarkan pelaksanaan hukum hudud itu.
Sebab filosofi hukum hudud itu sesungguhnya justru menghindari orang dari kemungkinan kena hukuman. Hal-hal syubhat yang terkandung di dalam suatu kasus hudud, sangat memungkinkan untuk menjadi sebab dibatalkannya hukum hudud. Misalnya ketika masa paceklik, terjadi begitu banyak pencurian, Khalifah Umar ra. untuk sementara tidak memotong dulu tangan para pencuri. Sebab terjadi syubhat atas kesempurnaan syarat hudud itu.
Demikian juga dengan keadaan di mana hukum Islam belum diberlakukan secara formal, maka hal itu pun menjadi syubhat yang bisa menggugurkan kewajiban pelaksanaan hukum hudud.
Semua ini berangkat dari sabda Rasulullah SAW sendiri:
ادرؤا الحدود بالشبهات
Cegahlah pelaksanaan hukum hudud dengan adanya syubhat.
Namun meski pun hukum hudud tidak bisa dilaksanakan, pelaku zina dan kejahatan tetap harus mungkin saja dihukum melalui hukum ta’zir. Hakim tetap punya hak untuk menjatuhkan hukuman yang bukan hudud. Misalnya, orang yang berzina bisa saja tetap dihukum cambuk 10 atau 20 kali. Hukum ini disebut ta’zir, karena bersifat pelajaran. Bentuk dan jenis hukumannya diserahkan kepada hakim. Dan hukum ta’zir ini diakui dalam syariat ISlam, sebagai bagian utuh dari hukum yang telah diwajibkan kepada umat Muhammad SAW.
Wallahu a’lam bishshawab wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.