Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Semoga ustadz masih dalam lindungan allah swt, amin
1. Begini ustad bagaimana kita menyikapi pernyataan Mufti Mesir Ali Jum’ah berpendapat bahwa Islam tidak melarang wanita untuk menjadi pemimpin negara? Maaf, saya tidak berburuk sangka terhadap beliau, mugkin itu adalah ijtihad beliau dan dengan ilmu yang beliau miliki.
2. Bagaimana sebenarnya Islam (dalam perspektif fiqih) melihat wanita menjadi seorang pemimpin misalnya PRESIDEN yang nota bene memimpim seluruh negeri baik laki laki maupun wanita sendiri
Terima kasih,
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kalau kita perhatikan fatwa yang beliau sampaikan, nampaknya polemiknya berangkat dari penggunaan istilah Khilafah ‘Udzhma, atau sering juga disebut dengan istilah Al-wilayah al-udzhma. Disepakati sebelumnya bahwa seorang wanita diharamkan duduk pada posisi ini. Sedangkan pada posisi di bawahnya, hukumnya tidak haram.
Nah, kalau kita kaji lebih dalam, terjemahanbebas dari istilah ini adalah pimpinan tertinggi. Kata khilafah atau wilayah maksudnya adalah kekuasaan, pemerintahan atau jabatan. Sedangkan kata udzhma boleh kita artikan sebagai paling agung, paling besar, paling atas, paling tinggi dan seterusnya. Pendeknya, pucuk pimpinan tertinggi di suatu negara.
Menurut beliau, khilafah udzhma itu hanya berlaku untuk khalifah muslimin yang berhimpun di dalamnya seluruh umat Islam. Bukan presiden dari sebuah negara dengan penduduk mayoritas muslim. Dan secara teknis, menurut beliau khilafah yang dimaksud sudah tidak ada lagi sekarang ini.Terhitung sejak ditumbangkannya khilafah Turki Utsmani di tahun 1924 yang lalu, maka khilafah udzhma ini sudah tidakada lagi.
Maka kalau ada wanita menjadi presiden di sebuah negara Islam, dianggap oleh beliau bahwa wanita itu tidak berada pada kedudukan wilayah udhzma.
Kira-kira demikianlah ringakasan hujjah beliau.
Tentu saja sebagai sebuah ijtihad, apa yang beliau katakan bisa benas dan bisa tidak benar. Namanya saja ijtihad. Dan tentu saja ijtihad beliau ini bukan satu-satunya kebenaran. Paling tidak, ada sisi-sisi tertentu yang merupakan titik kelemahan ijitihad seperti ini.
Misalnya, kalau kita mengacu kepada makna pimpinan tertinggi di atas, bukankah seorang presiden adalah pimpinan tertinggi di suatu negara? Secara de Jure dan de Facto, seorang presiden adalah penguasa tertinggi, sekecil apa pun negaranya, sesedikit apapun jumlah rakyatnya. Tidak ada lagi jabatan di atas seorang presiden.
Sulit untuk menolak kenyataan bahwa seorang presiden bukan wilayah udzhma. Sebab dia berwenang untuk mengangkat para menteri dan semua pejabat di negerinya. Dia yang memberlakukan status perang atau darurat. Dia juga pimpinan tertinggi militer, kedudukannya di atas panglima. Bahkan dia memberikan grasi, amnesti, abolisi dan sebagainya. Kalau bukan pimpinan tertinggi, lalu apa?
Bahwa ternyata ada banyak negara Islam di dunia ini, kenyataannya memang begitu. Memang ada lusinan negara Islam di atas bumi ini. Tapi masing-masing berdaulat sendiri-sendiri dan punya batas kekuasaan yang berbeda. Tiap negera itu punya kedaulatan sendiri, punya UUD sendiri dan punya sistem hukum sendiri. Satu sama lain bukan atasan dan bawahan.
Maka banyaknya negara Islam itu tidak menafikan adanya wilayah udzhma dalam jumlah yang banyak.Maka kedudukan masing-masing presiden di masing-masingnegara mereka adalah wilayah udzhma.
Kedudukan mereka berbeda dengan kedudukan para amir di zaman khilafah Islam. Karena keamiran di zaman sekarang mirip seperti negara bagian atau provinsi. Dan jelas-jelas bahwa para amir itu bukan pimpinan tertinggi, meski banyak di antara mereka yang ‘mbalelo‘ pada pusat kekuasaan di Istambul. Misalnya, pemberontakan kaum wahabi di jazirah arabia, yang dimotori oleh Luurence the Arabia. Para pemberontak itu bukan wilayah udzhma, tetapi memang pemberontak.
Ada juga yang awalnya menjadi amir dan masih mengakui kekuasan pusat khilafah, seperti daulah bani Umayyah II di Andalusia. Pada awalnya, para amir di wilayah itu masih mengakui kedaulatan Khilafah Bani Abbasiyah di Baghdad. Lalu lama kelamaan, mereka betul-betul memisahkan diri dari Baghdad dan membangun khilafah sendiri di Andalusia.
Intinya, presiden di suatu negara berbeda jauh dengan amir di suatu wilayah bagian dari khilafah. Amir adalah bawahan dari khalifah, sedangkan presiden bukan bawahan siapapun. Dia adalah orang yang duduk pada jabatan tertinggi di suatu negara. Karena itu, presiden secara fiqih adalah wilayah udzhma. Maka dengan demikian, jabatan itu haram diduduki oleh seorang wanita.
Demikian jawaban kritis atas pendapat fatwa yang anda tanyakan. Dan tentunya ini pun ijtihad juga. Sebuah ijtihad tentu tidak akan membatalkan ijtihad lainnya.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc