Assalamu’alaikum wr. wb.
Pak Ustadz, saya jadi mengerti mengapa Hamas bermusuhan dengan Fatah. Siapakah sebenarnya Presiden Abbas dan Fatah ini? Mengapa mereka sampai menyatakan keharusan mengakui pemerintahan penjajah zionis Israel, bukankah mereka juga warga Palestina dan muslim juga? Apa sebenarnya alasan mereka sehingga memihak Israel? Apakah mereka tidak pernah membaca Qur’an tentang hancurnya bangsa Israel oleh orang-orang Islam? Apakah di pihak Fatah tidak ada Ustadz/Imam yang mengajarkan permusuhan antara Israel – Islam ini.
Mohon penjelasannya, Jazakallohu khoiron katsiron.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Masalahnya sederhana saja, yaitu wawasan dan nyali. Wawasan adalah cara pandang seseorang terhadap situasi dan keadaan. Mungkin dalam pandangan Mahmud Abbas dan Fatahnya, Yahudi itu bisa diajak kerjasama dan tidak akan berkhianat. Atau boleh jadi malah dianggap bukan penjajah. Sedangkan masalah yang kedua, ya masalah nyali. Boleh jadi mereka memang tidak punya nyali berhadapan dengan penjajah.
Itulah yang sekarang ini kita pahami dari arti slogan ‘merdeka’ di zaman kemerdekaan Indonesia dahulu. Di masa perang kemerdekaan, kita mengenal jargon ‘merdeka ataoe mati’. Tidak ada pilihan yang ketiga, seperti misalnya merdeka tapi rela hidup di bawah ketiak penjajah, atau berdampingan dengan penjajah atau malah mengakui pemerintahan Belanda. Ini yang membedakan orang punya nyali dengan yang tidak punya nyali.
Rupanya para pahlawan kita jauh lebih mengerti arti kemerdekaan ketimbang saudara kita para pendukung Fatah di Palestina. Pahlawan kita mengenal jargon ‘sekali merdeka tetap merdeka’, sementara orang-orang Fatah masih masih terlalu lemah sehingga belum memikirkan tentang arti punya ‘izzah.
Memang wajar bila mereka para pendukung Fatah merasa minder menghadapi kekuatan yahudi. Sebab kelihatannya memang yahudi itu sangat kuat dan tak terkalahkan, paling tidak, itulah yang tercitra di dalam benak mereka barangkali. Tapi yang paling parah adalah kenyataan bahwa mereka kurang punya nyali untuk mengusir yahudi, sebaliknya malah berpikir berdamai saja dan hidup berdampingan.
Dahulu di negeri kita juga banyak yang berpikiran sama, yaitu rela dan menerima untuk dijajahBelanda. Bahkan sampai anti terhadap kemerdekaan. Biasanya karena sudah termakan oleh bujuk rayu Belanda. Ada kalangan tertentu yang dijadikan kaki tangan oleh Belanda, bahkan ada yang diangkat jadi pejabat, demang, bupati dan lainnya. Mereka yang sudah terlanjur hidup enak bersama Belanda, mendapat banyak fasilitas dan kemudahan lainnya, tentu kurang mendukung ide kemerdekaan dan pengusiran Belanda. Dan jelas tidak punya nyali untuk melawan penjajah.
Meksipun mereka menyaksikan rakyatnya dijajah dan diperkosa, tetapi hidup enak bersama Belanda telah melupakan penderitaan saudara-saudara mereka.
Dan memang itu adalah salah satu cara yang paling jitu dan efektif, kalau dilihat dari sudut pandang si penjajah. Caranya adalah melemahkan bangsa yang dijajah dengan politik ‘pecah belah dan jajah’. Dahulu Belanda melakukannya dan ternyata sangat efektif. Bangsa Indonesia butuh waktu sampai 350 tahun untuk kemudian menyadari arti penting kemerdekaan dan punya nyali untuk bangkit mengusir penjajah.
Hari ini hal yang sama dilakukan oleh Israel. Mereka memecah belah kekuatan bangsa jajahannya menjadi beberapa faksi yang saling bertentangan. Semakin pecah konflik antara Hamas dengan Fatah, maka semakin berbahagia Israel. Sebab tanpa harus berlelah-lelah, Israel bisa menggebuk kekuatan lawannya. Cukup dengan meminjam tenaga lawannya itu setelah sebelumnya telah dipecah dua, lalu mereka bisa santai di kursi goyang, menyaksikan orang-orang jajahannya saling berbunuhan. Kakek kita menamakan siasat itu dengan nama khas, yaitu ‘siasat belah bambu’.
Namanya juga penjajah, pasti punya 1001 akal bulus untuk menelikung lawannya. Kita kasihan juga melihat saudara-saudara kita dari Fatah yang nota bene orang Palestina, muslim pula. Tetapi pola pikir dan nyalinya masih dikuasai dominasi Israel. Bahkan bisa dengan mudah dibenturkan kepada sesama muslim yang memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya.
Mungkin tidak ada salahnya bila kedua pemimpin dari Fatah dan Hamas bisa shalat berjamaah bersama, lalu duduk bersama untuk menyamakan visi perjuangan. Paling tidak mereka bisa berkaca dari sejarah gelap perjuangan saudara-saudara muslim lainnya seperti di Afghanistan, di mana kekuatan jahat international berhasil memecah belah faksi-faksi mujahidin, sehingga negeri itu kembali berubah menjadi negeri jajahan. Ibarat kata pepatah, lepas dari mulut buaya malah masuk mulut singa.
Fa’tabiru ya ulil abshar… Maka hendaklah orang-orang yang cerdas bisa mengambil pelajaran
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.