Mana yang lebih dahulu kita perjuangkan, simbol-simbol keIslaman ataukah esensi syariah Islam tanpa menyebutkannya secara formal?
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apa yang anda tanyakan memang inti dari perdebatan para aktifis gerakan Islam di dunia, bukan hanya di negeri kita. Intinya, ada dua aliran besar yang masih saja menjadi bahan perdebatan. Apakah dalam memperjuangkan agama Islam, kita mendahulukan formalitas, simbol dan legal hukum? Ataukah kita bicara dari implementasi yang realistis, baru kemudian simbol akan mengikuti dari belakang.
1. Pendapat Pertama: Esensi Duluan
Sebagian dari ide para aktifis itu adalah mengedepankan esensi dan implementasi, bukan simbol dan formalitas.
Alur berpikir mereka adalah realitas sosial bahwa kebanyakan orang sudah terlanda penyakit Islamo-pohbia. Kalau kita pikir-pikir, memang sekarang ini penyakit anti-Islam sudah sangat parah. Dan sayangnya, penyakit itu bukan hanya melanda musuh-musuh Islam, di kalangan umat Islam sendiri pun penyakit itu berkembang.
Bahkan sebagian dari mereka ada yang sampai ke sikap, pokoknya apapun kalau pakai nama Islam langsung ditolak mentah-mentah. Seolah-olah segala hal yang berbau Islam selalu salah dan tidak adil.
Ada ada saja yang dijadikan alasan, misalnya alasan garis keras, ekstrim, fundamentalis, tidak toleran dengan agama lain dan seterusnya.
Penyakit Islamo-phobia seperti ini terkadang lucu. Misalnya ada sebuah sistem hukum yang sangat baik, terbukti sudah bisa menyelesaikan banyak masalah. Semua pihak termasuk para perwakilan dari agama-agama, juga semua mengacungkan jempol. Tetapi ketika ada yang menyebut bahwa sistem itu berasal dari Islam, tiba-tiba saja semua orang menolak sistem itu. Termasuk mereka yang beragama Islam. Padahal sistem itu sudah berjalan dan semua pihak mengakui kebaikannya.
Contoh sederhana apa yang terjadi di Singapura. Di sana orang yang pakai narkoba tidak ada ampun lagi. Hukumannya hukuman mati. Dan semua pihak mengacungi jempol atas sikap tegas pemerintah Singapura. Angka pemakai narkoba di sana cenderung lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia.
Tapi saat hukuman yang sama mau diterapkan di Indonesia, apalagi dipelopori oleh partai yang berbau Islam, tiba-tiba hukuman mati itu dianggap biadab, tidak manusiawi, terlalu puritan dan bermacam ungkapan lainnya. Intinya, kalau sudah dikasih label Islam, harganya tiba-tiba jadi turun. Sungguh aneh bin ajaib.
Contoh yang lebih jelas adalah apa yang kini sedang terjadi di Turki. Saking sekulernya bangsa itu, pokoknya apapun yang berbau Islam pasti ditolak mentah-mentah. Bahkan meski sudah terbukti sistem Islam yang dijalankan oleh Perdana Menteri sebelumnya, Nechmetin Erbakan, sudah benar-benar bagus. Tetapi karena Erbakan banyak menggunakan idiom Islam, masyarakat yang pernah disekulerkan 100% itu masih phobi. Akhirnya karena gerah, pemerintahan Erbakan pun dijatuhkan.
Sekarang kekuatan Islam di sana kembali merapatkan barisan dan berhasil naik ke pentas pemerintahan. Mereka tidak lain adalah murid-murid Erbakan. Tetapi belajar dari kesalahan masa lalu, sekarang mereka tidak terlalu konsentrasi dengan idiom. Mereka cukup bekerja saja secara profesional sambil mendongkrak kekuatan ekonomi. Dan sudah berhasil memang. Salah satu indikatornya, nilai tukar mata uang Lira mereka sangat kuat nyaris menyaingi dolar Amerika.
Bersamaan dengan itu, mereka menampik kalau disebut-sebut sebagai kekuatan Islam. Mereka bilang, jangan lihat kami sebagai kekuatan Islam apa bukan, yang penting hasilnya. Dan karena kerja mereka memang benar-benar cantik, masyarakat Turki pun saat ini lebih banyak memilih mereka, sehingga mereka menang di pentas politik. Tapi, ya itu tadi, tanpa membawa-bawa idiom Islam. Sungguh aneh tapi nyata.
Maka sebagian aktifis dakwah di berbagai negeri, cenderung melakukan ijtihad di bidang politik. Kalau tujuannya adalah penerapan syariah Islam secara universal, maka mereka pun berupaya menerapkannya, meski tanpa harus gembar-gembor untuk menyatakan bahwa yang mereka perjuangkan adalah syariah Islam.
2. Pendapat Kedua: Mulai dari Aspek Legal dan Formalitas
Namun di pihak lain, ada juga yang lebih senang untuk memperjuangan simbol, meski penerapan syariahnya masih entah kapan. Bagi kalangan ini, negara semacam Indonesia harus ditegaskan secara legal bahwa hukum yang berlaku adalah hukum Islam. Adapun penerapannya seperti apa, kapan, bagaimana dan oleh siapa, itu urusan lain.
Alasan mereka, simbol sama penting dengan esensi. Dengan adanya simbol, esensi akan lebih mudah diterapkan. Kalau di dalam pembukaan UUD 45 telah disebutkan secara formal bahwa syariat Islam wajib dijalankan oleh para pemeluknya, maka semua muslim secara hukum akan
terikat dengan syariat Islam.
Kalau ada orang beragama Islam minum khamar, maka secara hukum bisa diterapkan hukum cambuk. Begitu kira-kira logikanya.
Sedangkan kalau tidak ditetapkan secara formal, hanya terbatas pada tataran esensi, maka hukum Islam (baca: hukum qadha’) tidak bisa diterapkan. Memotong tangan pencuri, merajam pezina, mencambuk peminum khamar dan sejenisnya, tidak bisa dijalankan. Karena secara formal hukum Islam tidak diberlakukan.
Adapun fenomena Islamo-phobia, bisa diselesaikan dengan penyebaran informasi yang efektif yang menjelaskan bahwa hukum Islam itu baik, adil dan sangat dibutuhkan oleh setiap orang.
Kesimpulan
Jadi inilah diskusi yang belum ada habisnya yang menjadi polemik di kalangan aktifis dakwah. Di satu sisi, ada yang cenderung melegalkan dulu kedudukan hukum Islam, baru bicara implementasi. Sementara di sisi yang lain, ada yang cenderung memilih implementasi lebih dulu, baru nanti kalau sudah ada bukti dan hasil yang bisa dinikmati oleh masyarakat, kita resmikan secara formal penerapan hukum Islam.
Jalan tengahnya sebenarnya ada, sayangnya jarang dilakukan. Misalnya, tidak ada salahnya kalau masing-masing pihak bisa duduk bersama, saling diskusi dan tukar pikiran. Pastilah smua pihak punya kebenaran. Tinggal kita lihat kasusnya saja.
Sangat besar kemungkinan bahwa sebuah pendekatan sangat cocok untuk suatu tempat, tetapi kurang dirasa tepat untuk diterapkan di tempat lain. Karena itu meski terdapat jamaah yang berskala international, namun kebijakan yang menyerap realitas lapangan sesungguhnya sangat dibutuhkan. Karena lain ladang lain belalang.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc