Assalammualaikum wr. wb.
Ustadz, seperti yang kita ketahui bahwa negara Indonesia adalah negara yang berlandaskan bukan hukum Allah, melainkan berdasarkan Pancasila dan UUD’45 sebagai landasannya. Nah yang ingin ana tanyakan adalah:
a. Kafirkah orang yang membuat hukum tidak selain hukum Allah seperti yang tercantum dalam QS Al-maidah 44,46,47?
b. Kafirkah orang yang berada di institusi yang tidak berlandaskan hukum Allah?
c. Bagaimana hukumnya apabila kita berwala (tunduk, patuh, bela) terhadap negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah, melainkan mempertahankan dengan segenap kekuatan dengan alasan pemimpinnya masih muslim dan mayoritas muslim?
Mohon penjelasannya ustadz.
Wassalammualaikum wr. wb.
Ayat yang menyebutkan bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah SWT adalah orang yang kafir merupakan bagian dari surat Al-Maidah.
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barang siapa yang tidak ber berhukum dengan hukum Allah, mereka adalah orang yang kafir (QS Al-Maidah: 44).
Namun tidak berarti setiap orang berhak menuduh kafir secara begitu saja kepada siapapun yang menurut anggapannya tidak menjalankan hukum Allah SWT. Proses untuk menjatuhkan vonis kafir itu haruslah dilakukan berdasarkan data dan pengajuan aduan ke sebuah lembaga formal yang berwenang, yaitu mahkamah syar’iyah.
Sedangkan mengakfirkan seseorang secara terburu-buru hanya berdasarkan sepotong ayat merupakan ciri khas kelompok khawarij. Sebuah dosa dan maksiat sudah cukup dijadikan bahan untuk mengkafirkan seorang muslim bagi mereka.
Sedangkan manhaj ahli sunnah wal jamaah agak ketat dalam masalah pengkafiran ini. Untuk menghukumi seseorang menjadi kafir, diperlukan proses berlipat, di antaranya adalah harus adanya sebuah mahkamah syar’iyah yang berwenang memanggil orang yang dicurigai sebagai pelaku tindak kekafiran. Setelah dilakukan penelitian dan disimpulkan bahwa seseorang memang telah dianggap melakukan hal yang membatalkan syahadatnya, maka orang itu diminta untuk taubat atau dikenal dengan istilah istitabah.
Siapa yang Bertanggung Jawab Bila Hukum Islam Tidak Tegak?
Tentunya para penentu kebijakan di suatu negara. Mereka ini ibarat sopir yang akan membawa arah hukum suatu negeri.
Setelah itu para hakim muslim dan juga para pembuat undang-undang (DPR/MPR) juga merupakan pihak-pihak yang paling bertanggung-jawab dalam masalah penerapan hukum Islam.
Selebihnya, seluruh ummat Islam pun punya beban fardhu kifayah untuk menegakkan hukum Islam. Sebab selama yang dijalankan adalah hukum-hukum buatan manusia yang nyata-nyata bertabrakan dengan hukum Allah SWT, selama itu pula umat Islam ini masih diancam status kafir, fasik dan zhalim. Sebagai firman Allah SWT dalam Al-Quran Al-Kariem.
Namun kalau pertanyaannya, apakah orang yang duduk di suatu pemerintahan yang tidak menerapkan hukum Islam, otomatis dia langsung jadi kafir?
Jawabannya tentu tidak. Sebab boleh jadi keberadaannya di dalam strutur pemerintahan itu justru merupakan langkah-langkah strategis yang satu-satunya untuk menegakkan syariat. Sebab kita tahu bahwa tidak mungkin sepotong hukum Islam ditegakkan secara formal, kecuali lewat pengesahan dari lembaga yang berwenang. Bahkan dalam sistem negeri ini, seorang presiden sekalipun bukan berada dalam kapasitas untuk membuat undang-undang.
Tanggung jawab itu adanya di dalam lembaga perwakilan rakyat. Saat ini, hanya lembaga itulah yang diakui secara formal oleh semua pihak sebagai lembaga yang punya hak dan wewenang untuk memberlakukan undang-undang.
Kalau kita ingin melihat syariah Islam diakui dan dijalankan di negeri ini, maka wajib hukumnya bagi umat Islam untuk masuk ke dalam lembaga itu dan menjadi mayoritas demi mengesahkan syariah Islam.
Teknisnya barangkali bisa beberapa variasi. Bisa dengan cara revolusioner, cepat dan menjungkir-balikkan semua undang-undang jahiliyah langsung dengan syariah Islam. Cara seperti ini pernah dilakukan dalam sejarah Islam, biasanya dengan penaklukan negeri kafir oleh pasukan muslimin dalam ma’rakah. Seperti negeri Persia yang ditaklukkan dengan pedang. Ketika barisan muslimin mengalahkan Persia, maka hari itu juga syariah Islam diberlakukan secara total.
Namun ada sebagian negeri yang tidak mengalami penaklukan dengan pedang, sebaliknya melalui proses penentrasi pengaruh di dalam tubuh kerajaan atau penguasa. Contohnya adalah proses Islamisasi di kerajaan-kerajaan nusantara ini. Para da’i yang datang ke negeri ini tidak punya senjata atau pasukan besar yang bisa menaklukkan penguasa setempat dengan bentuk perang. Sebaliknya, mereka datang dalam jumlah yang amat sedikit, bahkan sebagiannya berprofesi sebagai pedagang. Maka proses Islamisasi (baca: syariahisasi) di negeri ini terjadi hanya lewat adu pengaruh di dalam tubuh kerajaan.
Hal ini bukan tanpa hasil. Buktinya, di suatu ketika umat Islam di nusantara ini punya kerajaan Islam yang menjalankan syariah Islam secara mutlak, yaitu kerajaan Islam Demak. Sayangnya usia kerajaan ini hanya sebentar, karena setelah itu pecah menjadi kerajaan Pajang, lalu pecah lagi, salah satu pecahannya menjadi kerajaan Mataram Yogyakarta. Meskipun ciri ke-Islaman tetap terdapat di sana sini. Namun intensitas penerapan syariah sudah sangat pudar.
Apalagi ditambah dengan datangnya penjajah, mulai dari Portugis, Belandan, Inggris dan Jepang selama hampir 400-an tahun. Selama itu, para penjajah berhasil melahirkan generasi sekuler yang akan menjalankan pemerintahan pasca penjajahan, tapi dengan hukum barat.
Sayang sekali dari segi kuantitas dan kualitas akhirnya pengaruh para politikus muslim semakin terdesak. Sehingga setelah puluhan tahun merdeka, masih belum berhasil memformalkan syariah di tingkat negara. Kecuali setelah era tahun 90-an, mulai ada sedikit di sana sini proses syariahisasi kembali. Banyak Perda di negeri ini yang mengusung syariah Islam, bahkan kita punya provinsi yang secara formal menegakkan syariah.
Semua itu dalam pandangan kami adalah bagian dari proses perjuangan. Karena itu jangan langsung divonis bahwa para pejuang itu kafir lantaran mereka duduk di parlemen. Apalagi langsung memvonis bangsa ini semuanya kafir, lantaran pemerintah mereka tidak menerapkan syariah Islam. Tidak, mereka tidak kafir, sebab yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa penduduk negeri ini yang muslim sedang dijajah oleh kekuatan asing dengan pemaksaan penerapan hukum jaihilyah. Maka kewajiban muslimin di negeri ini adalah untuk memperjuangkan tegaknya syariat Islam dengan seluruh kekuatan dan daya. Juga dari segala sisi serta segala kesempatan yang ada.
Wallahu a`lam bishshawab, wassalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ahmad Sarwat, Lc.