Assalamualaikaum Wr Wb,
Pak Ustad yang saya kagumi, fenomena PKS (partai keadilan sejahtera) begitu dahsyat, dalam beberapa dekade sudah menjadi salah satu kekuatan politik di Indonesia, bagaimana Pak Ustad menyikapinya? Apakah ini salah satu tanda kebangkitan Islam di indonesia? Dan kemiripan dengan gerakan dakwahnya dengan IM (ikhwanul Muslimun)
Demikian terima kasih.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Anda bukan orang yang pertama kali tertarik mengamati fenomena PKS, sudah banyak para pengamat dan cendekiawan yang berdecak kagum melihat penyebaran kader partai ini, kecepatan mereka dalam meraih kemenangan demi kemenangan serta kesolidan struktur tubuhnya.
Tidak kurang kalangan yang ‘memusuhi’ atau katakanlah kalangan yang menjadi lawan politik merekajuga banyak yangikut tercengang. Dan tidak sedikit yangketar-ketir melihat perkembangannya yang sangat sporadis.
Dan baru saja hal itu terbukti. Meski kalah dalam pilkada Jakarta kemarin, namun kekalahan itu oleh banyak pengamat dikatakan sebagaikemenangan besar, atau kemenangan yang tertunda. Sebab PKS dikeroyok oleh semua partai, tidak kurang dari 20 partai berkoalisi, ditambah barisan para kiayi, ulama, habaib, termasuk aparan pemda DKI. Semuanya bersatu menggempur PKS.
Kalau menggunakan logika hitung-hitungan biasa, dikeroyok habis-habisan seperti itu, pasti PKS keok di hasil penghitungan.Bisa mendapat angka 2% saja sudah untung. Tetapi kenyataannya, PKS hanya kalah tipis saja dalam penghitungan suara. Artinya, kekuatan keroyokan 20 partai tidak berhasil membungkam PKS. Justru pemilihnya sangat besar dan ini membuktikan bahwa mesin politik PKS bekerja sempurna.
Sebaliknya mesin politik 20 partai plus plus banyak yang bilang nyaris hampir kecolongan. Bahkan meski PKS diisukan sebagai partai GAM (gerakan anti maulid) serta isu-isu lainnya yang merugikan.
Semua ini mengerucutkan kesimpulan kita pada satu titik, bahwa PKS adalah contoh sebuah partai kader yang serius menggarap para kadernya menjadi militan dan bisa bekerja under preasseure, bahkan tanpa suntikan uang yang berarti. Padahal ketika berdiri pertama kali, Partai Keadilan (saat itu belum ada tambahan Sejahtera) tidak masuk hitungan, bahkan harus bereingkarnasi karena tidak lulus trashhold 2%.
Lalu apa yang bisa kita pelajari dari fenomena PKS ini?
Lepas dari masalah keberpihakan dan pilihan kita, fenomena PKS ini membuktikan beberapa hal:
1. Sebuah partai akan menjadi kuat bila punya konsep kaderisasi yang profesional. Tidak didasarkan pada kekuatan figurnya, atau impian kenangan kejayaan masa lalu. Keduanya terbukti tidak efektif.
2. Partai yang mengusung isu keIslaman atau berbasis umat Islam bukan hanya PKS. Tetapi yang berhasil menggalang kekuatan besar pemilih adalah PKS. Setidaknya untuk ukuran DKI Jakarta dari hasil pilkada lalu.
Ini mebuktikan bahwa sekedar mengusung isu keIslaman dan berbasis umat Islam, belum tentu bisa menangguk kemenangan. Yang lebih berperan adalah mesin kampanye yang kuat, bisa bergerak tanpa harus mengajukan proposal dana dan anggaran. Di PKS, mesin itu adalah jutaan kader yang menjadi SDM yang tidak ada habisnya. Mereka umumnya masih muda, berpendidikan, berpenghasilan tetap bahkan sebagiannya lumayan, enerjik, dinamis dan punya wawasan politik yang semakin hari semakin baik.
3. Kesiapan untuk menerima tokoh dari luar kader sedikit banyak telah memberi kesan bahwa partai ini terbuka dan bisa bekerja sama dengan siapa saja. Adang Daradjatun tidak pernah ikut ngaji halaqoh di DPP PKS, juga tidak pernah ikut tatsqif mingguan dan tidak diwajbikan menghafal juz ‘amma atau doa rabithah. Walaupun banyak kader PKS sendiri yang semula ragu dengan sosoknya, setelah ditetapkan oleh syuro internal, maka semua kader suka atau tidak suka harus menjadi mesin ‘perang’ yang efektif.
Kalau di partai lain ada kebijakan yang kurang populer seperti ini mungkin partai itusudah pecah jadi lima atau enam partai. Tapi nyatanya diPKS tidak pernah muncul PKS Perjuangan, atau PKS kubu A, kubu B dan kubu C. Hal itutidak terjadi, setidaknya tidak terlihat di hadapan publik. Mereka masih terlihat kompak, akur, rukun dan bersatu.
Padahal para tokoh umat Islam yang menjadi pendahulu dan senior mereka di partai Islam lain jarang yang lulus dalam ujian persatuan, meski nama partainya menggunakan istilah persatuan. Tapi hobinya bikin pecahan baru. Dan fenomena inicukup menggelikan hati sekaligus menyedihkan.
PKS dan Al-Ikhwan Al-Muslimun
Adalah Dr. Yusuf Al-Qaradawi yang menyebutkan dalam kitabnya Ummatuna baina qarnain (diterjemahkan menjadi Umat Islam Menyongsong Abad 21, hal 92) bahwa PKS di Indonesia adalah perpanjangan tangan dari Al-Ikhwan Al-Muslimun Mesir. Sebuah jamaah yang didirikan oleh Hasan Al-Banna sejak tahun 1928 yang lalu dan kini telah memiliki cabang di 70negara dunia.
Namun tulisan ulama yang kini bermukim di Qatar itu belum pernah mendapat konfirmasi dari para pengurus DPP PKS. Entahlah apa yang dimaksud oleh Al-Qaradawi dengan istilah ‘perpanjangan tangan’ itu dan seperti apa bentuknya. Rasanya hal itu tidak penting untuk dibahas di sini.
Yang penting buat kita adalah bahwa semua jamaah itu, baik Al-Ikhwan di Mesir dan 70 negara cabangnya, atau Jamiat Islami di Pakistan, atau FIS di Aljazair, atau Refah di Turki, atau di mana pun, semuanya merupakan mesin kebangkitan umat Islam. Di mana kebangkitan umat Islam banyak diwujudkan dengan keberadaan gerakan-gerakan itu.
Setidaknya, ini adalah fenomena menarik yang mengisi abad 20 dan 21 sejarah umat Islam. Terutama sejak jatuhnya khilafah Islam di awal abad 20 (1924) di Turki serta terjajahnya dunia Islam oleh barat selama ratusan tahun.
Namun demikian, gerakan perjuangan seperti ini bukan berjalan tanpa hambatan. Tribulasi internal dan eksternal seringkali datang menerpa. Kita berdoa saja agar Allah SWT memenangkan agamanya dengan adanya kekuatan-kekuatan alternatif seperti ini.
Tentunya kita juga berdoa agar semua kekuatan ini bisa berhimpun, bekerja sama, bersinergi dan saling mengisi satu dengan yang lain. Mungkin kalau harus berubah menjadi satu tubuh belum memungkinkan, setidaknya bersatu di dalam hati.
Dan buat PKS sendiri, mungkin sudah saatnya untuk melakukan pendekatan lebih jauh ke kalangan umat Islam tradisional di pedesaan, pondok pesantren, jamaah majelis taklim kaum ibu. Di mana tipologi keagamaan mereka agak unik dan para kader PKS mungkin masih perlu belajar lebih banyak untuk punya akses ke kalangan itu.
Tetapi yang paling penting dari semua itu, sebenarnya keberadaan partai, apapun namanya, tidak lebih dari sebuah kendaraan dakwah. Ada masanya di mana kendaraan itu bisa efektif dan berguna, namun jangan lengah kalau suatu saat kendaraan itu menjadi kurang efektif. Karena itu, syuro tetap harus sering kali digelar untuk selalu melakukan up dating.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc