Assalamualaikum Wr. Wb.,
Ustadz, saya adalah salah seorang penggemar rubrik anda, banyak hal yang saya dapat peroleh dari rubrik ini, dan sangat bermanfaat bagi saya dan keluarga saya, mudah mudahan Allah Membalas segala kebaikan Ustadz, Amin.
Ustadz saya mau bertanya, pada saat ini banyak sekali dari kita yang berkampanye ataupun apa namanya untuk memperoleh jabatan, sebut saja untuk menjadi presiden, padahal ada salah satu hadist yang mengatakan janganlah kamu menginginkan/ meminta suatu jabatan, karena Allah akan memberatkannya dengan jabatan tersebut.
Bagaimana dengan keadaan saat ini di mana orang berebut menginginkan jabatan tersebut, padahal ada orang lain yang kita lihat mempunyai kemampuantetapi dia tidak dapat berbuat apa apa karena system yang beralaku mengharuskan dia untuk berkampanye dan sebagainya untuk menduduki jabatan tersebut. JAK
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kalau seseorang berkampanye sekedar untuk mendapatkan kedudukan, kekuasaan, bahkan kekayaan duniawi, maka semua itu adalah bagian dari nafsu dan naluri tiap manusia.
Nafsu dan naluri itu bisa saja sejalan dengan agama dan misi hidup, namun seringkali berlainan bahkan bertabrakan.
Sama dengan nafsu dan naluri biologis yang pasti dimiliki oleh semua orang, tidak mungkin dipungkiri tentunya. Orang menyebutnya sebagai libido.
Tinggal urusannya kembali kepada manusia itu sendiri, beragamakah dia? Adakah solusi dari penyaluran libido itu di jalan yang diridhai Allah, ataukah di jalan yang dimurkai Allah?
Demikian juga dengan libido kekuasaan, bagi sosok-sosok tertentu, libido kekuasaan itu memang ada dan nyaris tidak bisa dipungkiri. Ada sekelompok orang yang memang punya naluri untuk mencapai puncak kekuasaan. Rasanya, tidak adil kalau kita mencaci orang yang sedang menyalurkan libido kekuasaannya.
Masalahnya akan kembali kepada orang itu, apakah libido kekuasaannya itu akan disalurkan dengan cara yang diridhai Allah, ataukah lewat jalan yang dimurkai Allah?
Apakah niatnya jadi Presiden untuk kepentingan Allah dan menegakkan syariat-Nya, atau untuk kepentingan yang lain? Apakah untuk menegakkan agama Islam, atau sekedar having fun belaka? Apakah untuk memastikan tidak ada lagi kemaksiatan dan kemungkaran, ataukah sekedar ritual seremoni panggung politik saja? Apakah untuk dijadikan persembahan jihad fi sabilillah, ataukah hanya sekedar terlihatgagah saja?
Dan yang paling penting adalah realisasi, adakah ungkapan demi keadilan dan kesejahteraan itu memang nyata terjadi, ataukah hanya sekedar lip’s service saja? Adakah memang untuk kepentingan umat secara nyata, atau sekedar selogan kosong yang basi?
Semua ini akan kembali kepada diri orang yang bersangkutan. Tentunya bersama dengan sesama muslim untuk melakukan syuro dalam mempertimbangkan semua ini.
Keputusan bagi setiap orang bahkan para da’i untuk terjun ke dunia politik praktis tentu tidak boleh hanya dilandasi pada masalah kesempatan. Tetapi harus juga disiaplan masalah kesiapannya. Baik secara moral, mental, spiritual, konsep syariah, analisa SWOT dan seterusnya.
Kalau semua itu dihasilkan lewat mekanisme syuro yang baik, elegan dan profesional serta realistis, maka itu adalah ijtihad yang baik. Tinggal bagaimana mengimplementasikan hasil ijtihad itu dengan tetap diawasi dan dipertimbangkan terus.
Selain itu, jangan sampai seseorang melakukannya hanya dengan pertimbangan dan mekanisme pribadi. Harus ada sebuah tanzhim yang kokoh yang akan memandu jalannya dakwah lewat jalur politik. Karena dakwah model begini rentan dan sarat aral melintang. Sangat berbeda dengan dakwah seorang ustadz yang bisa dilakukan secara sendirian (single fighter). Dakwah di wilayah siayasah (politik) butuh mekanisme yang rumit, unik, dan kompleks.
Seseorang yang awalnya ikhlas berniat untuk berdakwah dan berjihad lewat jalur ini, mungkin saja tiba-tiba mengalami dis-orientasi, lupa arah, berubah persepsi dan seterusnya. Karena dunia yang dimasukinya benar-benar berbeda 100% dengan dunia lamanya.
Maka kalau ada satu dua orang yang sempat jatuh, terpeleset, nyungsep dan sejenisnya, sangat logis dan masuk akal. Orang sudah biasa berdakwah di komunitasnya, lalu tiba-tiba harus berdakwah di sebuah komunitas yang sama sekali berbeda. Maka pasti terjadi demam panggung dan penyakit sejenisnya.
Kampanye Untuk Menjadi Pejabat
Kalau orientasi untuk merebut jabatan itu adalah bagian dari skenario langkah dan tujuan dakwah dan jelas hitung-hitungannya, serta telah disepakati langkah dan aturan moralnya, maka kampanye itu bagian dari dakwah. Bukan sesuatu yang diharamkan.
Sebaliknya, bila sasaran merebut suatu jabatan itu tidak jelas konsepnya, dan tidak ada target hasil dakwahnya, maka jabatan itu sekedar jabatan dan kekuasaan duniawi saja.
Karena itu harus ada semacam kontrak politik yang jelas, untuk apa seseorang harus merebut suatu jabatan. Pertanyaan yang paling mendasar, adakah keuntungan dari segi amar makruf nahi munkar? Adakah keuntungan dari sisi tegaknya syariah dan ajaran Islam? Adakah perubahan asasi yang bisa diharapkan dan diperjuangkan?
Kalau semua itu masuk akal dan masuk perhitungan, maka silahkan saja lakukan. Tetapi kalau tidak masuk akal, malah hanya akan terjadi blunder, tidak jelas apa yang diperjuangkan, maka sebaiknya berhitung sekali lagi.
Wallahu a’lambishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc