Assalamu’alaykum wr. wb.
Ustadz, saya pernah membaca salah satu hadist yang kurang lebih begini:
Dari Abdullah bin Umar meriwayatkan, “Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’ah (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” (HR. Muslim).
Pertanyaan saya:
1. Apakah benar bila kita belum melakukan bai’at kepada seorang khalifah, kita akan mati jahiliyyah? Bisakah ustadz menjelaskan maksud dari hadist ini?
2. Apakah ibadah kita diterima, karena pada kenyataannya kita belum melakukan bai’at?
3. Apa yang harus kita lakukan ustadz?
Terima kasih.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Bai’at dengan artian sesungguhnya adalah hal yang dibolehkan oleh agama dan pernah dicontohkan oleh Nabi SAW, tetapi kadang pengertian bai’at tersebut sering disalahtafsirkan dan disalahgunakan untuk tujuan tertentu.
Sehingga berdampak negatif dalam kehidupan keagamaan di kalangan umat Islam.Dampaknya, orang jadi mudah sajamenuduh saudaranya yang muslim menjadi kafir, hanya lantran saudaranya itu tidak atau belum berbai’ah kepada imam dari kelompoknya. Bahkan ada yang sampai menghalalkan darah anggota yang keluar dari kelompoknya.
Di antara kesalahan-kesalahan paling fatal yang sering terjadi dalam memahami makna bai’at, antara lain sebagai berikut:
a. Kesalahan dalam mengartikan kalimat “Mitatan Jahiliyyatan"
Untuk menjelaskan maksud hadits itu, sebaiknya kita mencari rujukan yang benar-benar muktamad.
Dalam kitab yang menjelaskan shahih Al-Bukhari, yaitu kitab Fathul Baary, tepatnya pada jilid 7 halaman 13, Ibnu Hajar penulisnya, memberikan komentar tentang pengertian yang anda tanyakan.
Di sana beliau menuliskan bahwa yang benar dengan lafadz itu adalah dengan kasrah pada huruf mim. Jadi membacanya bukan maitatan jahiliyatan, melainkan miitatan jahiliyahatan.
Dari segi arti, keduanya jauh berbeda. Kalau disebut dengan maitatan jahiliyatan, memang artinya adalah mati dalam keadaan jahiliyah. Tetapi yang benar membacanya adalah miitatan jahiliyatan, yang artinya adalah keadaan matinya seperti kematian di zaman Jahiliyyah. Maksudnya, dalam keadaan tidak ada imam yang ditaati karena mereka tidak mengetahui hal itu. Dan yang dimaksud itu bukan mati kafir tetapi mati dalam keadaan durhaka.
Selain penjelasan dari Ibnu Hajar Al-Asqalani, kita juga bisa membaca dalam kitab yang menjadi penjelasan kitab Shahih Muslim. Dan kebetulan lafadz yang anda kutipkan menurut riwayat Imam Muslim.
Misalnya kita buka kitab Ikmaalul Mu’allim bi Fawaaidi Muslim (syarah shohih Muslim), tepatnya jilid6 halaman 258. Di sana bisa kita dapat pendapat Al-Imam Al-Qadhy ‘Iyadh yang berkata bahwa yang dimaksud dengan sabda Rasulullah SAW:
“Barang siapa yang keluar dari ketaatan imam dan meninggalkan jama’ah maka ia mati dengan miittan jahiliyyatan.”
Membacanya adalah dengan mengkasrah mim “miitatan” yaitu seperti orang yang mati di zaman Jahiliyyah karena mereka ada dalam kesesatan dan tidak melaksanakan ketaatan kepada seorang imam pun”.
b. Belum Bai’at, Apakah Ibadah Kita Diterima?
Banyak orang yang mencampuradukan pengertian bai’at kepada imam dengan ikrar dua kalimatsyahadat, seolah-olah bai’at itu adalah pintu untuk masuk Islam. Padahal ada sejumlah perbedaan antara keduanya yang sangat esensial. Misalnya antara lain:
- Syahadat merupakan salah satu rukun Islam, sedangkan bai’at tidak termasuk rukun Islam
- Orang yang mengingkari dua kalimat syahadat hukumnya kafir, sedang orang yang tidak berbai’at terhadap seorang imam, maka dia tidak dianggap kafir. Apalagi jika bai’at itu terhadap seorang imam lokal yang tidak berdasarkan musyawarah umat Islam seluruh dunia. Jamaahnya hanyalah sebuah jamaah di antara sekian banyak jamaah muslimin. Bukan imam dari jamaah muslimin sebagaimana yang dijelaskan sifatnya dalam hadits nabawi.
- Syahadat adalah mengucapkan Asyhadu Allaa Ilaaha Illallah Wasyhadu Anna Muhammadan Rasulullah. Sedangkan materi baiat bermacam-macam tergantung tuntutan kebutuhan dan situasi. Contohnya Bai’at al-‘Aqabah Al-Ulaa berbeda isi dengan Bai’at Al-Ridhwan.
Yang menjadi syarat diterimanya amal adalah syahadat, di mana status keIslaman kita ditentukan oleh syahadat. Dan seorang yang sejak lahir sudah dididik menjadi muslim oleh keluarganya atau masyarakatnya, tidak diperlukan untuk berikrar syahadat secara formal di depan umum.
Karena secara otomatis setiap muslim pasti sudah mengucapkan syahadat tiap hari, paling tidak di dalam tiap shalat ada lafadz dua kalimat syahadat yang harus dibaca. Kalau dihitung-hitung, kita semua ini sudah membaca syahadat 9 kali tiap hari, yaitu pada doa tasyahhud dalam shalat wajib 5 waktu. Dua kali pada shalat Dzhuhur, dua kali pada shalat Ashar, dua kali pada shalat Maghrib, dua kali pada shalat Isya’ dan satu kali pada shalat Shubuh.
Mengucapkan ikrar syahadat di depan umum hanya dibutuhan bagi orang yang tadinya kafir, lalu masuk Islam. Gunanya, agar khalayak tahu kepindahan agamanya, agar diperlakukan sebagai muslim sejak saat itu.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.