Assalamu Alaikum
Saya pernah mendengar, bahwa bila kita berada dalam suatu wilayah yang sedang terjangkit penyakit menular maka kita tidak boleh meninggalkan wilayah itu. Dan bila berada di luar dari wilayah itu, maka kita tidak boleh memasukinya.
Apaka itu juga berlaku untuk negara yang sedang terjadi perang? Bagaimana menurut Ustaz, mengenai penduduk muslim yang negaranya sedang diserang oleh negara non muslim, apakah dibolehkan mereka termasuk laki-laki utamanya anak-anak dan perempuan meninggalkan negaranya dengan maksud menyelamatkan diri?
Apakah itu tidak termasuk lari dari jihad fisabilillah?
Terima kasih
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ada dua ayat Al-Quran yang sekilas saling bertentangan terkait dengan lari menyelamatkan diri. Ayat pertama melarang untuk lari dari peperangan, sedangkan ayat kedua justru memerintahkan untuk menyelematkan diri dari serangan.
Ayat pertama adalah ayat berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ زَحْفاً فَلاَ تُوَلُّوهُمُ الأَدْبَارَ وَمَن يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلاَّ مُتَحَرِّفاً لِّقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزاً إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَاء بِغَضَبٍ مِّنَ اللّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).Barang siapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya. (QS. Al-Anfal: 15-16)
Jelas sekali ayat ini memang melarang kita bila telah bertemu musuh secara berhadap-hadapan untuk lari menyelamatkan diri dari medan perang. Bahkan ayat ini juga mengancampelakunya denganmurka dari Allah serta dimasukkan ke dalam neraka jahannam.
Sedangkan ayat kedua, justru mewajibkan kita untuk pergi menyingkir dari serangan lawan, kalau tidak melakukannya juga masuk neraka.
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلآئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمْ قَالُواْ كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالْوَاْ أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُواْ فِيهَا فَأُوْلَـئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءتْ مَصِيرًا
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, malaikat bertanya, "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?" Mereka menjawab, "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri." Para malaikat berkata, "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?" Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS An-Nisa’: 97)
Allah SWT mengharamkan umat Islam berdiam diri di negerinya apabila diserang oleh orang-orang kafir. Allah mewajibkan mereka untuk berhijrah sambil menegaskan bahwa bumi Allah itu luas. Mereka yang diam saja di negeri itu dan tidak menyelamatkan diri dengan berhijrah, akan di tempatkan di dalam neraka jahannam.
Lalu bagaimana kita memahami kedua ayat yang sepintas saling bertentangan?
Para ulama kemudian mencermati masing-masing ayat dan menemukan thariqatul jam’i (metode penggabungan) antara keduanya. Sehingga kedua ayat ini tidak saling bertentangan, karena masing-masing berlaku pada konteksnya sendiri-sendiri.
Kita mulai dari asbabun nuzul masing-masing ayat, yang ternyata sangat menjelaskan kedudukannya. Ayat pertama, terkait dengan perang Badar, di mana saat itu pasukan muslimin sudah dipersiapkan sejak jauh hari. Yang ikut dalam perang ini bukanlah semua penduduk kota Madinah, tetapi hanya sekitar 313 orang saja.
Meski tidak terlalu sempurna, namun sejak awal mereka sudah dilatih dan dipersiapkan untuk menghadapi pertempuran. Kalau kita bandingkan dengan zaman sekarang, kira-kira mereka adalah pasukan militer, atau paling tidak pasukan milisi yang direkrut dari penduduk sipil, di mana sebelumnya mereka sudah dilatih dan dipersiapkan untuk berperang.
Pasukan ini semula berharap untuk bisa mencegat rombongan kafilah dagang milik kafir Quraisy, yang tentu saja terlalu lemah. Tapi ternyata Abu Sufyan berhasil meminta bantuan tentara dari Makkah sebanyak 1.000 orang dengan senjata, kendaraan, makanan dan bekal yang lengkap. Mau tidak mau pasukan muslimin yang cuma 313 orang dengan perbekalan dan senjata seadanya, harus berhadapan dengan lawan di medan perang.
Dalam konteks inilah turun ayat di atas, yang intinya melarang pasukan untuk lari menyelamatkan diri dari medan tempur sesungguhnya.
Sedangkan sababun nuzul ayat kedua, bukan dalam konteks saling berhadapannya kedua pasukan di medan perang, melainkan penduduk sipil yang tiap hari mendapatkan tekanan, serangan dan teror dari penguasa negeri itu. Mereka adalah para shahabat nabi yang tinggal di Makkah. Para penguasa Quraisy menindas mereka, bahkan membunuh banyak orang dari mereka.
Maka pada setelah Bai’at Aqbah I dan II, Allah SWT mewajibkan hijrah kepada mereka, untuk menyelamatkan diri dari semua tekanan orang kafir Makkah. Bukan sekedar dianjurkan atau boleh diikuti oleh para sukarelawan, tetap merupakan instruksi massal kepada semua umat Islam.
Mereka diwajibkan untuk pergi meninggalkan kota Makkah menuju ke kota Yatsrib yang kemudian diganti namanya menjadi Madinah. Hukumnya wajib atas semua umat Islam, sedangkan yang tidak mau pergi digolongkan sebagai orang yang berdosa, bahkan diancam dengan neraka jahannam.
Penerapan Kedua Ayat
Maka ketika kita membaca masing-masing ayat ini, kita harus melihat kepada konteksnya, dengan bahan informasi dari sebab turunnya ayat.
Kalau kasusnya adalah saling berhadapannya dua pasukan, yang satu pasukan muslim sedangkan yang kedua pasukan kafir, haram hukumnya mundur ke belakang untuk lari menyelamatkan diri dan meninggalkan gelanggang perang. Kecuali sekedar untuk taktik atau bergabung dengan pasukan muslim lainnya. Sebagaimana tertera pada ayat di atas.
Tapi kalau kasusnya adalah serbuan penguasa zalim atas suatu desa, kota atau negeri muslim, di manamereka hanya penduduk sipil yang tidak mampu melawan, kecuali hanya menyelamatkan diri ke luar wilayah serangan, maka hukumnya adalah wajib untuk menyelamatkan diri. Bertahan di tengah hujan bom tanpa perlawanan berarti justru tidak boleh. Sebab tidak akan memberikan nilai apa-apa kecuali kerugian harta dan jiwa.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.