لا صغيـرة مع الاصـرار و لا كبيرة مع الاستغـفار
"Tidaklah dipandang dosa kecil apabila dilakukan terus-menerus dan tidaklah dipandang dosa besar suatu kesalahan yang diikuti dengan istighfar." (Nabi Muhammad Saw)
Sebagai makhluk moral yang dianugerahi akal dan kalbu manusia menduduki posisi mulia di antara makhluk-makhluk lain. Akan tetapi dalam bersikap atau berprilaku, demi kepuasan diri sendiri, seseorang terkadang menempuh cara-cara yang tidak selaras dengan keluhuran akal dan kalbunya dan martabat kemanusiaannya. Antara lain ditunjukkan pada sikapnya dalam memandang kehidupan dan kematian sebagai realitas yang niscaya.
Dalam sebuah doa yang diajarkan Nabi Muhammad Saw dilukiskan bahwa kehidupan adalah momentum bagi manusia untuk menghimpun bekal kebaikan buat dirinya sedangkan kematian adalah momentum pembebasan dari segala keburukan. Ironisnya manusia sering tidak proporsional dalam memandang keduanya, bahkan terkadang menempuh sikap yang kontradiktif. Yaitu menjadikan kehidupannya sebagai momentum penghimpunan dosa dan kesia-siaan dan kematiannya tidak menjadi momentum pembebasan bahkan sebagai momentum pembebanan yang sarat dengan keburukan.
Bisa jadi cara-cara kontradiktif itu menyebabkan dirinya terjerembab ke dalam posisi hina. Seolah-olah potensi akal, kalbu, dan kebebasannya menjadi tumpul untuk sekedar dapat membedakan dan memilih secara tepat antara yang benar dan yang salah atau antara yang menyelamatkan dan yang mencelakakan.
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (QS, al-A’raf [7]: 179)
Kenyataan seperti itu boleh jadi mengindikasikan salah satu kelemahan eksistensialnya, terutama kelemahan biologisnya, yang dinyatakan oleh Sang Penciptanya sendiri. “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS, al-Nisa [4]: 28).
Menurut Erich Fromm, kelemahan itu antara lain merupakan perwujudan dikotomi-dikotomi eksistensial yang melingkupinya. Dikatakan pula bahwa manusia memiliki kutub positif dan kutub negatif yang mewakili realitas konkret yang mempengaruhi situasi kemanusiaannya.
Kelemahan manusia antara lain ditunjukkan pada ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan dirinya yang tanpa batas. Hal itu diciptakan dengan sengaja agar ia mengerti dan sadar bahwa dirinya adalah hamba Allah dan bahwa dunia ini adalah tempat tinggalnya yang sementara.
Dalam satu sisi kesadaran itu dapat mencegah dirinya terjerembab ke dalam dominasi sifat tiranik. “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (QS, al-‘Alaq [96]: 6-7).
Di sisi lain, kesadaran itu dapat pula menumbuhkan kesadaran yang lain bahwa dirinya memiliki peluang untuk berusaha meraih kelebihan derajat pasca kehidupan di dunia ini dan selanjutnya ia bekerja keras mempeoleh penyelesaian baru dan peningkatan kualitas dirinya hingga mencapai martabat tertinggi, yaitu taqwa.
Cara-cara kontradiktif yang ditempuh manusia antara lain ditampakkan dalam persepsi, sikap, dan perbuatannya terhadap sesuatu yang oleh agama dinyatakan sebagai dosa. Manusia dalam menyikapi dosa-dosa, baik dosa besar, apalagi dosa kecil, sangat beragam. Keragaman itu jelas mencerminkan perbedaan dalam mempersepsi sebuah perbuatan dosa serta suasana batin yang membentuknya.
Sebagian orang, mempersepsi dosa kecil sebagai dosa yang bisa diremehkan. Bahkan mereka tidak merasa berdosa ketika melakukannya. Akibatnya tidak sedikit di antara mereka yang terus melakukannya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Sebaliknya orang-orang yang telah mencapai kemajuan spiritualnya yang tinggi sangat menghindari segala sesuatu yang berbau dosa bahkan sesuatu yang tidak patut sekalipun.
Sesungguhnya persepsi, sikap, dan prilaku seseorang yang meremehkan dosa-dosa kecil mengandung tiga kesalahan. Kesalahan pertama adalah bersifat substansial, yaitu persepsi dan sikapnya terhadap dosa kecil yang seolah-olah bisa diremehkan yang menyebabkan dirinya terus-menurus melakukannya tanpa merasa berdosa.
Bukankah ketika kita melakukan dosa pada hakikatnya sedang menyalahgunakan hakikat karunia kebebasan kita sebagai makhluk moral? Kesalahan kedua adalah bersifat normatif, yaitu ketidakpeduliannya kepada siapa dirinya berdosa.
Bukankah ketika kita melakukan dosa, sekecil apa pun dosa itu, pada hakikatnya kita sedang melakukan pembangkangan terhadap kehendak Yang Maha Mulia, Maha Agung, dan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang?
Kesalahan ketiga adalah bersifat kesejarahan, yaitu membebani perjalanan jauh kita menuju Allah dengan beban sejarah berupa lumuran dosa. Bukankah para malaikat penjaga diberi tugas khusus oleh Allah swt untuk mencatat setiap amal perbuatan, ucapan, bahkan niat yang terbersit dalam hati setiap manusia?
Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS, al-Infithar [82]:10-12
Ketiga kesalahan tersebut bisa menenggelamkan seseorang ke dalam lumpur dosa disebabkan kelemahan dan ketidakmampuan mengawal dirinya dari melakukan maksiat. Sedangkan ketidakmampun itu jika dibiarkan tanpa upaya penguatan akan mendorongnya melakukan dosa-dosa besar. Rasulullah Saw bersabda, “Jauhilah dosa-dosa kecil karena apabila ia terkumpul pada diri seseorang lambat-laun akhirnya ia akan membinasakannya.”
Salah satu bentuk kebinasaan yang paling tragis, sebagai akibat meremehkan dosa kecil, ialah keterjerembaban dalam tragedi yang oleh Rasulullah Saw disejajarkan dengan “tragedi belalang” seperti diungkapkan dalam sabdanya, “Perumpamaanku dengan kamu sekalian seperti seorang laki-laki yang menyalakan api, lalu kupu-kupu dan belalang-belalang berjatuhan ke dalamnya sedang laki-laki itu berusaha menghalanginya agar tidak terjerembab ke dalamnya. Aku (Rasulullah Saw) memegangi ujung-ujung kain kalian agar tidak terjerembab ke dalam api akan tetapi kalian cenderung melepaskan diri.” (HR, Muslim).
Istighfar, memohon ampun, sehubungan dengan dosa yang dilakukan manusia, termasuk dosa kecil, adalah sikap yang tepat buat kelangsungan eksistensinya sebagai makhluk yang memikul beban amanah ibadah dan risalah. Ia adalah tangga bagi peningkatan martabat kemuliaannya dan jalan keluar bagi pembebasan dirinya dari kemungkinan mengalami “tragedi belalang”..
Sebab kecenderungan bertaubat menyerah diri kepada Allah dan memohon ampunan-Nya adalah sifat utama yang dimiliki oleh orang-orang beriman. “Orang-orang yang apabila mengerjakan perbauatan keji atau menganiaya diri sendiri lantas mereka ingat akan Allah lalu memohon keampunan terhadap dosa-dosa mereka- dan siapakah pula yang berkuasa mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedangkan mereka mengetahui.” (QS, Ali Imran [3]:135)
Semakin cepat kesadaran seseorang terhadap kesalahan dan semakin cepat memohon ampun kepada-Nya, semakin cepat pula penyembuhannya. Menurut Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-Hasanah wa al-Sayyi`ah istighfar yang paling utama adalah tertuangnya kesadaran dalam bentuk pengakuan seperti diungkapkan dalam doa yang disebut sayyidul istighfar. “Aku mengaku nikmat-Mu yang tercurah kepadaku dan aku mengaku atas dosa-dosaku.”
Kesadaran itulah yang mendorong seseorang merespon seruan Allah agar berlomba-lomba menuju ampunan-Nya “Dan berlomba-lombalah kamu kepada keampunan dari Tuhan kalian dan berlomba-lombalah mencari surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa” (QS, Ali Imran [3]: 133).
Semakin dalam kita menyelami dan menghayati ampunan-Nya, semakin terbuka kebijakan dan kepuasan dalam ampunan-Nya.
Dalam al-Qur`an, Allah Swt seringkali menggandengankan tauhid dengan istighfar. Hal itu jelas menunjukkan bahwa istighfar merupakan refleksi kesadaran diri seseorang akan Tuhannya Yang Esa dan Maha Kuasa, yang harus disembah dengan setulus-tulusnya.
“Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” (QS, Muhammad [47]: 19).
“Agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa khabar gembira kepadamu daripada-Nya. Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.” (QS, Hud [11]: 2-3)
Memilih waktu yang tepat untuk memohon ampunan Allah Swt memiliki keutamaan tersendiri. Malam adalah saat-saat paling hening untuk khusyu’ dalam memohon ampunan-Nya dan saat itu pula Allah membukakan rahmat-Nya.
“Tiap malam Allah swt turun ke langit dunia hingga sepertiga malam terakhir dan berfirman: barangsiapa yang berdoa maka Aku mengabulkannya, barangsiapa yang meminta maka Aku akan memberinya, dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka Aku akan mengampuninya." (HR, Bukhari)
Dengan terbukanya kebijakan dan kepuasan dalam ampunan-Nya pada diri seseorang, ia akan semakin sadar akan rahmat dan kemurahan-Nya yang menyebabkan dirinya semakin yakin atas karunia kemudahan yang akan diraih mengiringi ampunan-Nya. "Barangsiapa membiasakan istighfar maka Allah menjadikan jalan keluar dari segala kesulitannya, memberi kemudahan dari segala kesusahannya dan melapangkan rezeki yang tidak ia duga." (HR, Abu Daud).
Oleh sebab itu Rasulullah Saw sendiri selalu beristighfar dan mengamalkannya terus menerus kendatipun Allah swt sudah mengampuni dosanya baik yang telah lalu maupun yang terkemudian. Bahkan dalam hadis riwayat Bukhari dijelaskan bahwa Rasulullah tidak kurang memohon ampun kepada Allah 70 kali setiap harinya. Wallahu A’lam.