Imam Ibnu Al-Qayyim rahimahullâh mengatakan, para ulama sepakat bahwa secara umum jihad hukumnya fardhu ‘ain. Artinya setiap muslim wajib melakukan jihad, baik laki-laki maupun perempuan; baik dengan hati, lisan, harta benda, maupun tangan. Adapun jihad berperang dengan mempertaruhkan nyawa hukumnya fardhu kifâyah. Artinya jika sekelompok muslim telah melakukannya, maka gugurlah kewajiban berjihad atas seluruh muslim lainnya.
Namun jihad ini akan menjadi fardhu `ain pada tiga kondisi, pertama, jika jihad telah diserukan secara umum. Kedua, jika musuh memerangi negeri kaum muslimin. Dan ketiga, jika seorang muslim atau muslimah sedang berada di medan perang.
Jihad sangatlah penting untuk menjaga eksistensi umat Islam sebagai umat yang kuat, disegani, dan tidak menjadi objek keserakahan musuh yang membencinya. Oleh karena itu Allah mencela orang-orang yang malas dan tidak mau berjihad. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انفِرُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الأَرْضِ أَرَضِيتُم بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الآخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلاَّ قَلِيلٌ ﴿٣٨﴾
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu, ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia Ini (dibandingkan dengan kehidupan) akhirat hanyalah sedikit." (QS. Al-Taubah: 38).
Jihad merupakan ajaran Islam yang paling agung setelah dua kalimah syahadat. Karena jihad adalah bukti loyalitas dan ungkapan cinta pada Islam. Dan jihad secara umum mencakup seluruh aspek kehidupan, yang bertujuan untuk menegakkan masyarakat Islami dan membangun Daulah Islamiah yang ideal. Oleh karena itu, tabiat dakwah Islam tak pernah terpisah dengan kata jihad.
Orang-orang yang melakukan jihad ini adalah para mujahid. Bagi mereka, duduk berpangku tangan adalah penyakit bahaya terhadap dakwah. Mereka juga meyakini bahwa diam dan istirahat merupakan dua hal yang paling berat.
Ciri-ciri mujahid sejati adalah selalu berfikir untuk menegakkan Islam, memiliki kepeduliaan yang tinggi. Seluruh gerak-geriknya, sikapnya, istirahatnya, perkatannya, obrolannya, keseriusannya, candaannya tetap tidak mengeluarkannya dari spektrum jihad.
Imam Syahid Hasan Al-Banna mengatakan, "Di antara jihad adalah membuncahkan perasaan untuk berkeinginan kuat membangkitkan Islam dan kemuliaannya. Merindukan kegemilangannya. Menangis karena sedih melihat kondisi umat Islam yang lemah, terhina, dan terus terluka terhadap segala sesuatu yang tidak diridai Allah dan Rasul-Nya."
Jalan jihad itu panjang dan butuh pengorbanan serta kerja keras. Jadi setiap muslim harus terbiasa menanggung beban dan berkorban, sehingga mampu melewati tingkatan-tingkatan jihad dengan baik.
Tingkatan Jihad
Tingkatan jihad paling rendah adalah menentang dengan hati, sedangkan tingkat paling tinggi adalah berperang fî sabîlillâh. Di antara keduanya ada jihad dengan lisan, tulisan, tangan, berkata benar secara tegas di hadapan penguasa zhalim, dan lainnya. Semakin tinggi tingkatan dakwah maka akan semakin tinggi usaha jihad yang dibutuhkan, dan semakin tinggi pula bayaran yang harus dikeluarkan, sehingga dengan itu akan semakin tinggi pula ganjaran yang akan Allah berikan; di dunia, apalagi di akhirat. Beberapa tingkatan jihad adalah sebagai berikut:
Tingkatan Pertama: Jihad Melawan Hawa Nafsu
Aplikasinya dengan terus mempelajari kebenaran, mengetahui halal haram, dan mengarahkan nafsu pada ketaatan di jalan Allah. Di antara hak Allah dari hamba-Nya adalah taat pada-Nya dan tidak bermaksiat, mengingat Allah dan tidak melupakan-Nya, bersyukur pada-Nya dan tidak kufur. Semua ini hanya bisa dilakukan secara optimal dengan jihad, sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Mujahid adalah orang yang berjihad mengendalikan nafsunya untuk taat kepada Allah, sedangkan muhajir (orang yang melakukan hijrah) adalah mereka yang menjauhkan dirinya dari hal yang dilarang Allah Swt..” (HR. Ahmad).
Jihad nafsu merupakan tangga pertama. Barangsiapa yang tidak mampu menempuh tangga ini maka ia tidak layak meniti tangga berikutnya.
Tingkatan Kedua: Jihad Mengamalkan Ilmu
Karena ilmu tanpa amalan tidak bermanfaat bahkan menghancurkan. Bila ilmu tidak diamalkan maka Islam hanya teori, pengetahuan, dan pemikiran. Dan ilmu ini tidak akan mampu dijalankan secara optimal kecuali dengan berjihad melawan nafsu dan semangat untuk terus beramal. Ini adalah manhaj para sahabat.
Abi Abdurrahman Al-Silmi berkata, “Usman bin Affan, Abdullah ibnu Mas’ud, dan sahabat lainnya ketika mereka mempelajari 10 ayat dari Rasulullah maka mereka tidak menambah pelajaran ayat lainnya sebelum mereka benar-benar mengetahui dan mengamalkannya. Mereka mengatakan, "Kami mempelajari ilmu sekaligus amal."
Tingkatan Ketiga: Jihad Menyebarkan Dakwah Islam
Dakwah berarti mengajarkannya kepada orang-orang yang belum mengetahuinya. Tingkatan jihad ini sangat penting, apalagi ketika kerusakan, kemaksiatan, kelalaian telah menggurita di masyarakat. Hukum Allah telah hilang dari muka bumi. Berjihad di jalan dakwah ini mengharuskan menanggung beban yang berat, hinaan, tidak berleha-leha, mengetahui secara yakin yang didakwahkan, dan berjihad hanya untuk meninggikan kalimat Allah.
Tingkat Keempat: Jihad Menaklukkan Godaan Setan
Ibnu Qayyim membagi dua tingkatan ini, [1] Jihad melawan syubhat (menangkal segala hal yang menyebabkan sesorang ragu dalam keimanannya). [2] Jihad melawan keinginan yang menghancurkan dan syahwat. Jihad pertama adalah dengan keyakinan dan jihad kedua adalah dengan kesabaran.
Allah telah memperingati manusia terhadap perang melawan godaan setan. Dalam surat Al-Hijr Allah berfirman yang artinya,
قَالَ رَبِّ بِمَآ أَغْوَيْتَنِي لأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الأَرْضِ وَلأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ ﴿٣٩﴾ إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ ﴿٤٠﴾
"Iblis berkata, ‘Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang ikhlas di antara mereka.’" (QS. Al-hijr: 39-40).
Ibnu Qayyim mengatakan, "Sesungguhnya jihad melawan nafsu lebih dahulu dari pada jihad berperang melawan musuh. Barang siapa yang tidak mampu berjihad melawan nafsunya terlebih dahulu; mengerjakan perintahnya dan meninggalkan larangnnya, maka ia tidak berhak untuk berjihad berperang melawan musuh." (Zâdul Ma‘âd).
Setelah itu, tingkatan jihad paling tinggi adalah berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang belum Allah beri kesempatan (taufîq) untuk melakukannya, maka hendaknya ia mencintai para mujahidin dengan sepenuh hati. Mendukung mereka dengan segenap pikiran. Jangan sampai tidak mencintai para mujahid, karena hal ini menyebabkan kerasnya hati dan mendapatkan azab dari Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah yang terkandung dalam surat Al-Taubah ayat 91-93.
Realita Umat Islam yang Memilukan
Umat Islam saat ini masih jauh dari pendidikan jihad yang komprehensif. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal: pertama, kaum sufi yang memahami ibadah secara sempit dan meninggalkan bentuk jihad lainnya. Padahal Islam menolak rahbaniyah (ibadah ruhiah saja seperti yang dilakukan pendeta). Islam juga melarang umatnya untuk memisahkan diri dari masyarakat.
Terkait hal ini, salah seorang sahabat berjalan bersama Rasul dan melewati sebuah tempat yang terdapat mata air tawar yang sangat jernih. Sahabat tersebut pun berkata pada Rasulullah, "Andai saja saya bisa ber-uzlah (memisahkan diri dari masyarakat) dan menetap di dekat air jernih ini." Rasulullah pun bersabda, "Jangan kau lakukan itu. Sesungguhnya derajat berjihad di jalan Allah lebih baik dari pada shalat di rumah selama 70 tahun. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu dan memasukkanmu ke dalam surga?! Berperanglah di jalan Allah, sesungguhnya barangsiapa yang berperang di jalan-Nya hingga hembusan nafas terakhir maka telah berhak atasnya surga."
Kedua, partai politik yang tidak mempedulikan jihad. Tidak sedikit politikus yang menjadikan jihad diluar program-program kegiatan mereka. Ketiga, universitas yang tidak mencantumkan materi jihad dalam kurikulumnya.
Hal-hal seperti ini membuat pemuda Islam tumbuh dalam kondisi jauh dari pendidikan termahal dalam agamanya dan jantung Islam. Bahkan ia jauh dari rahasia kemuliaannya dan titik kekuatannya. Dan pendidikan itu tidak lain dan tidak bukan adalah pendidikan jihad dengan makna yang konprehensif dan integral sebagaimana yang telah dipaparakan di atas.
Akhirnya kita harus teguh di jalan Allah, karena dalam surat Al-A’raf Allah menjanjikan,
قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللّهِ وَاصْبِرُواْ إِنَّ الأَرْضَ لِلّهِ يُورِثُهَا مَن يَشَاء مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ ﴿١٢٨﴾
"Musa berkata kepada kaumnya, ‘Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa saja yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-A’raf: 128). (sn/ikh)