Ibnul Qayyim al-Jauziah, mengatakan tak layak seorang hamba, menunda-nunda dalam melakukan taubat. Melakukan taubat dari dosa merupakan kewajiban yang harus dilakukan. Tidak boleh ditunda. Apabila seseorang menundanya, melakukan penundaan berarti ia telah melakukan pelanggaran.
Tak ada satupun manusia yang akan tahu kapan saat datang kematian. Apabila saat datang kematian, tak dapat manusia menundanya. Betapapun manusia itu memiliki kekuasaan, harta kekayaan yang tak terhingga, atau hidup diantara istana-istana yang dikelilingi oleh para pengawal, tak dapat mencegah akan datangnya kematian. Bagaimana manusia akan mengakhiri kehidupannya? Dengan lumuran dosa, maksiat, durhaka, serta dalam kekafiran, dan tak pernah meminta ampun dan taubat kepada Rabbnya?
Sesungguhnya, bila manusia telah melakukan taubat dari suatu dosa, maka manusia masih berkewajiban melakukan taubat yang lain lagi, yaitu bertaubat dari menunda taubat. Betapa banyaknya manusia yang menunda-nunda taubat, dan tidak mau menyadari hakekat dosa yang mereka lakukan setiap hari, bahkan setiap detik, tetapi masih belum mau bertaubat, dan menganggap tidak perlu bertaubat atas segala dosa yang telah dilakukannya.
Manusia selalu menganggap dirinya bersih, tanpa dosa, tidak bersalah, dan benar, serta tidak peduli terhadap kehidupannya. Banyak orang-orang yang mengerti hakekat ‘din’ (Islam), tetapi justru sangat berani berbuat dosa, dan tidak mau bertaubat. Manusia yang lebih mengerti syariat lebih sering melanggar syariat Allah Azza Wa Jalla, dan merasa apa yang dilakukan itu benar, karena telah tertipu oleh hawa nafsunya.
Kadang-kadang kesadaran itu datangnya sangat terlambat. Kesadaran datang, saat manusia sudah tidak dapat keluar lagi dari kubangan dosa dan perbuatan durhaka. Manusia menjadi tawanan kesesatannya, dan diperbudak oleh hawa nafsunya, serta menjadi hamba setan. Perbuatannya yang mengikuti, ‘khuthuwatis syaithon’, justru diyakini sebagai sebuah kebenaran, dan menuju jalan ridho-Nya. Padahal, manusia itu telah dibelenggu oleh sifat-sifat setan, dan sebenarnya telah masuk perangkap setan, serta tidak mampu lagi membedakan antara yang haq dan bathil.
Menurut Ibnul Qayyim al-Jauziah, tidak ada yang dapat menyelamatkan manusia, kecuali melakukan taubat secara umum, dari dosa-dosa yang diketahuinya dan tidak ketahuinya. Manusia itu hakekatnya tak pernah dapat terbebas dari dosa. Setiap saat manusia itu membuat dosa. Dosa-dosa yang tidak diketahuinya tersebut lebih banyak, dibandingkan dengan dosa yang diketahuinya. Manusia tidak akan dapat terbebas dari hukuman dari Allah Azza Wa Jalla, atas segala perbuatannya. Tidak ada lagi gunanya melakukan penyesalan ketika manusia sudah di akhirat, dan berada dihadapan ‘yaumul hisab’.
Manusia tidak akan dapat kembali ke dunia untuk mendapatkan ‘fursoh’ (keringanan), kembali ke dunia untuk melakukan kebaikan, sebagai bentuk penyesalannya, karena tidak pernah mau bertaubat agar segala kejahatan dan dosanya, ketika manusia masih hidup di dunia. Banyak diantara mereka yang sombong dihadapan Allah Azza Wa Jalla, menantang dengan kesombongannya, dan bersedih ketika mereka sudah berada di ‘padang mahsyar’ bersama dengan manusia lainnya, yang melakukan dosa.
Karena itu, manusia yang sombong tidak mau bertaubat, tergolong manusia yang menyekutukan Allah Azza Wa Jalla, dan menganggap dirinya benar, serta tidak melakukan kesalahan dalam hidup ini.
Nabi Sallahu Alaihi Wa Sallam, bersabda :
“Kemusyrikan dikalangan umat ini lebih samar daripada rayapan (merayapnya) seekor semut”. Lalu Abuk Bakar bertanya, “Bagaimanakah cara menyelamatkan diri darinya, wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Ucapkanlah : Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari memperseku-kan-Mu dengan sesuatu yang akau ketahui, dan aku mohon kepada-Mu dari sesautu yang tidak akan ketahui”.
Inilah istighfar dari sesuatu yang diketahui Allah sebagai dosa, sedangkan hamba tidak mengetahuinya. Baginda Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, selalu mengucapkan istighfar, dan berdzikir, serta bermunajat, mohon ampun kepada Rabb-Nya, padahal Beliau memiliki sifat yang ma’shum, yang dijamin dijaga dari perbuatan dosa, tetapi tidak sombong dihadapan Allah Azza Wa Jalla, dan selalu menyadari bahwa dirinya seorang hamba, yang ‘dhaif’, dan tidak terlepas dari dosa, dan mohon ampun serta taubat.
Dalam hadhistnya Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam, bersabda :
“Ya Allah, ampunilah kesalahanku dan kebodohanku, dari berlebih-lebihanku dalam urusanku, dan apa yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah keseriusanku dan permainanku, kekhilafanku, dan kesengajaanku, semua itu ada padaku. Ya Allah, ampunilahy apa yang telah aku lakukan dan apa yang aku tunda, apa yang aku sembunyikan, dan apa yang aku lakukan dengan terang-terangan, dan apa saja yang Engkau lebih mengetahui daripada aku. Engkau adalah Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau”.
Begitulah rintihan do’a yang disampaikan oleh Baginda Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Salam, tanpa henti, dan terus bermunajat serta memohon ampun dan bertaubat.
Dalam hadist yang lain, disebutkan :
“Ya Allah, amunilah dosaku semuanya, yang kecil dan yang besar, yang tidak sengaja dan yang sengaja, yang sembunyi-sembunyi dan yang terang-terangan, yang pertama dan yang terakhir”.
Ungkapan do’a dan taubat yang disampaikan oleh Baginda Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, terus mengalir, padahal Beliau manusia yang ma’shum, kekasih Rabb-nya, dan telah dijamin masuk surga-Nya, tetapi menyampaikan taubatnya. Wallahu’lam.