Golongan bawah tidak berkonotasi dengan orang-orang miskin yang melarat, tidak memiliki harta, tidak memiliki pangkat, tidak memiliki jabatan, tidak memiliki kedudukan, tidak memiliki ilmu, dan hina di mata manusia. Tetapi, yang dimaksud dengan golongan bawah itu, tak lain, manusia yang berbuat maksiat, gemar berbuat dosa, durhaka, dan menolak semua aturan dan hukum yang ditetapkan oleh Allah Azza Wa Jalla.
Allah Rabbul Aziz menciptakan makhluknya dibagi menjadi dua golongan, pertama golongan yang memiliki kedudukan tinggi ‘illiyyin’, dan kedua golongan yang memiliki kedudukan bawah (rendah), yang disebut ‘asfilin’. Maka, masing-masing manusia dapat memilih sesuai dengan tingkat pemahaman, apakah akan memilih menjadi golongan ‘illiyyin’ atau golongan ‘asfilin’. Masing-masing pilihan yang dilakukan manusia itu, pasti mempunyai akibat atas pilihannya itu.
Apakah manusia akan memilih menjadi golongan yang selalu taat, rukuk, sujud dan berkorban kepada Allah Azza Wa Jalla, yang akan mendapat sebutan ‘illiyyin’, atau sebaliknya memilih menjadi golongan yang selalu bermaksiat, durhaka, menolak hukum dan perintah Allah Azza Wa Jalla, yang akan mendapat sebutan ‘asfilin’.
Sesungguhnya Allah Rabbul Alamin akan menjadikan orang-orang yang taat itu, pasti akan mendapatkan kedudukan yang mulia, dan orang yang selalu bermaksiat dan menentang Allah Rabbul Alamin, pasti akan menjadi orang yang paling hina di dunia dan akhirat. Allah Rabbul Aziz akan menjadikan manusia yang taat kepada-Nya sebagai orang yang memiliki ‘izzah’ (harga diri-kemuliaan), dan sebaliknya perbuatan maksiat kepada-Nya sebagai orang yang tidak memiliki ‘izzah’ (harga diri-kemuliaan).
Abdullah bin Umar ra, Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam, bersabda :
“Aku diutus dengan pedang diantara masa sebelum kiamat, dan rezeki dijadikan dibawah bayangan tombakku. Allah menjadkan kerendahan dan kehinaan terhadap siapa saja yang melanggar perintahku”.
Setiap kali seseorang melakukan kemaksiatan, maka derajat seseorang akan urun dan turun, sampai ke tingkat ‘asfala safilin’ (yang paling rendah). Sebaliknya setiap kali seseorang melakukan ketaatan, maka tingkatnya akan naik dan akan terus naik, sampai ke tingkat yang paling tinggi ‘illiyyin’. Tetapi, terkadang dalam perjalanan kehidupan manusia itu, seseorang mengalami naik turun derajat.
Selanjutnya, sesungguhnya kedudukan manusia itu sangat ditentukan oleh perjalanannya secara umum, dan apa yang paling dominan dalam perjalanan hidupnya itu. Apakah manusia itu lebih sering melakukan ketaatan kepada Allah Azza Wa Jalla, atau sebaliknya kemaksiatan dalam rentang waktu kehidupannya. Jika manusia menghabiskan waktunya hanya untuk bermaksiat, menolak hukum, dan aturan syariah Allah Azza Wa Jalla, maka manusia akan menjadi golongan bawah ‘asfiliin’,dan mendapatkan azab di neraka secara kekal. Jadi kondisi ini yang akan menentukan manusia masuk golongan ‘ashabul yamin’ (golongan kanan) atau ‘ashabul syimal’ (golongan kiri), atau masuk ‘assabiqunal awwalun’ (golongan pertama-tama yang beriman), seperti digambarkan dalam surat Al-Waqi’ah.
Disinilah banyak jiwa-jiwa yang salah dan melampau batas. Ia tidak memahami hakikat sebenarnya. Ada seorang hamba yang turun derajatnya sejauh-jauhnya, melbihi jarak barat dan timur, antara langit dan bumi. Akan tetapi derajatnya tidak naik sejauh jarak turunnya.
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam :
“Sesungguhnya seorang hamba yang berbicara satu kata tanpa dipikirkan, ia terjun ke dalam neraka lebih jauh daripada timur dan barat”.
Apakah ada kenaikan derajat yang menyamai tingkat penurunan seperti ini? Penurunan derajat manusia adalah sebuah kewajaran yang pasti dialami, kaerna sebagian manusia ada yang turun derajatnya karena lalai. Jika manusia tersadar, maka ia akan kembali kepada derajat asalnya, atau bahkan mungkin akan lebih tinggi, tergantung tingkat kesadarannya. Ada juga seseorang yang turun derajatnya pada tingkat yang mubah, dan tidak berniat meninggalkan ketaatan.
Kondisi seperti ini,bila manusia itu kembali kepada ketaatan, kemungkinan kembali secara utuh. Kemungkinan manusia kembali kepada ketaatan di masa awalnya, dan mungkin juga kembali ke tingkat yang lebih tinggi. Karena ketika ia kembali mungkin dengan ‘himmah’ (kemauan) yang lebih kuat atau dengan ‘himmah’, tidak naik dan tidak turun. Ada juga penurunan derajat manusia, karena maksiat atau dosa kecil dan besar. Dalam kondisi seperti ini, ketika kembli pada ketaatan, manusia membutuhkan tobat nasuha atau tobat yang benar dan bersih dan jujur.
Soal maksiat, ibaratnya, seperti orang yang bekerja dan memiliki harta yang setiap hari bertambah. Setiap kali hartanya bertambah, maka bertambah pula keuntungan yang diperoleh. Pada saat seseorang melakukan maksiat dan perbuatan dosa, maka keuntungan dan peningkatan itu terhenti, namun masih memiliki saldo awal. Jka ia kembali memulai beramal baik, maka mulai pula peningkatan, tetapi diantara keduanya ada jarak yang jauh sekali.
Menurut Ibnu Qayyim Aljauziah, “Perbedaan tingkat tersebut tergantung tingkat tobat yang dilakukannya, kesempurnaannya, tingkat pengaruh maksiat yang ia lakukan, berupa perasaan kehinaan dan kerendahan diri dihadapan Allah,dan tingkat kembali kepada Allah Azza Wa Jalla, kehati-hatian, tingkat ketakutannya kepada Allah Rabbul Alamin, dan tangisannya, karena takut kepada-Nya. Hal itu terkadang menjadi penguat, sehingga seorang yang bertobat kembali ke tingkat yang lebih tinggi, sehingga kondisinya setelah bertobat lebh baik dari sebelulm melakukan kesalahan, ujar Ibn Qayyim.
Dalam hal kesalahan yang dilakukannya bisa merupakan rahmat baginya, karena kesalahan dalam hal ini adalah obat yang keluar dari kepercayaan diri dan amalnya. Akibatnya, ia menjad lebih merendah, khusyu’, dan mudah terenyuh (peka), di hadapan Allah Azza Wa Jalla. Ia lebih makrifat (mengetahui kekusaan) Allah, lebih menyadari kebutuhan akan penjagaan dan pengampunan-Nya.
Kesalahan yang ia lakukan mampu membangkitkan kekuatan jiwanya dan semangat dari hatinya untuk melakukan ketaatan kepada Allah, menghentikan kesombongannya dihadapan Allah atau menganggap dirinya lebih dari orang lain, dan menghentikannya di tempat perberhentian orang yang ‘khattain tawaabin’ (orang yang kerap salah dan cepat tobat), malu kepada-Nya, menundukkan kepalanya, menundukan pandangannya terhadap hal-hal yang dilarang, dan menganggapnya sebagai dosa besar, mengakui kekurangannya, ketercelaan dirinya, dan mengakui bahwa hanya Alah Azza Wa Jalla yang berhak memiliki sifat sempurna dan berhak dipuji, yang ditaati dengan setia. Sebagai diungkapkan seorang penyair :
Ia mengutamakan Allah dengan kesetiaan dan pujian, Dan ia memalingkan diri dari hal-hal yang mendatangkan celaan pelaku..
Manusia harus berkeyakinan bahwa semua nikmat yagn berasal dari Allah harus dianggap sangat baik bagi dirinya. Saat orang melakukan dosa atau maksiat sekecil apapun, ia harus ingat bahwa ia berhadapan dengan Yang Mahaagung dan Besar, yang tidak ada yang lebih besar daripada-Nya. Ia berhadapan dengan Yang Mahamulia, dan tiada yang lebih mulia daripada-Nya. Ia berhadapan dengan Pemberi nikmat dari ylang kecil hingga yang besar.
Tentu, salah satu yang yang termasuk dalam perkara yang paling buruk dan hina adalah ketika kita melakukan hal-hal yang hina dihadapan orang yang besar, pemimpin, atau pembesar. Bagaimana, jika yang besar itu adalah Allah Azza Wa Jalla? Layakkah manusia melakukan perbuatan yang hina dihadapan Allah Rabbul Alamin, yang menciptakan, mematikan,dan yang memberikan rezeki kepada manusia?
“Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap, dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorangpun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya Ia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun”. (al-Fathir:41). Wallahu’alam.