Inilah sejarah kehidupan kaum muslimin yang kelam dan menyedihkan. Yaitu fenomena bergesernya wala’ (loyalitas), dan jika perhatikan para pemimpin kaum muslimin, maka akan kita temukan tidak ada seorang pun diantara mereka yang bebas dari wala’ kepada orang-orang kafir, kecuali mereka yang telah diberikan rahmat.
Firman Allah Azza Wa Jalla :
“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapatkan siksaan yang amat pedih. (Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (An-Nisaa’ : 138-139)
Ibnu Jarir berkata, “Diantara sifat orang-orang munafik – seperti dikatakan Allah Ta’ala kepada Nabi-Nya – “Wahai Muhammad, beritakan kepada orang-orang yang telah bersumpah kepada orang-orang kafir untuk menentang-Ku dan mengingkari agama para wali-Ku (kaum Anshar dan seterunya), dan agama orang-orang mukmin, apakah dengan begitu mereka mendapat kekuatan? Apakah mereka hendak mencari kekuatan dan penolong dan meninggalkan orang-orang yang beriman kepada-Ku? Maka sesungguhnya segala kekuatan itu berada disisi Allah”.
Selanjutnya, Ibnu Jarir menegaskan, “Orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai teman-teman penolong dengan maksud mencari kekuatan, sesungguhnya mereka adalah dungu dan tidak sempurna. Seharusnya, mereka mencari teman-teman penolong dari orang-orang mukmin. Merekalah yang akan mendapatkan pertolongan dan kemuliaan dari Allah Ta’ala, Dzat yang mempunyai kemuliaan dan kekuatan. Dzat yang memuliakan siapa saja yang dikehendaki=-Nya dan menghinakan siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah Ta’ala akan menolong mereka dan memberi kekuatan kepada mereka”, tambah Ibnu Jarir.
Aisyah RA mengkisahkan dalam sebuah hadist bahwa ada seorang lelaki dari kalangan musyrikin bertemu dengan Nabi Shallahu Alaihi Wassalam, dan ingin ikut berperang bersama-sama bersama beliau, kemudian beliau bersabda kepadanya, “Pulanglah, sesungguhnya kami tidak akan pernah meminta pertolongan kepada orang musyrik”.
Kemenangan tidak akan mungkin digantungkan dengan pertolongan dan berteman dengan orang-orang kafir, yang mereka sudah terang-terangan memusuhi kaum muslimin. Hal ini seperti juga dikemukakan oleh Ibnu Jarir, yang dengan sangat tegas, yang memberikan komentar firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nashrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu)”, mengatakan, “Orang-orang yang mengambil orang-orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin, maka ia digolongkan sebaai pengikut orang kafir”, ucapnya.
Karena orang yang orang lain sebagai pemimpin, maka ia akan selalu bersamanya, bersama keyakinannya dan bersama apa yagn diridhai pemimpinnya. Jka ia telah ridha kepadanya dan agamanya, berarti ia telah mengesampingkan segala hal yang ia benci dari sifat-sifat orang kafir.
Kebijakan hukum yang dibuat pemimpin tersebut tentu menjadi kebijakan hukum orang yang mengikutinya. As-Syaukani, berpendapat, “Penyakit hati yang ada dalam hati membuat mereka (Yahudi dan Nashrani) melakukan dosa besar dengan mengangkat orang-orang kafir sebagai pemimpin mereka, hingga mereka pun jatuh ke dalam kekufuran”. Bahkan, ada dari kalangan mereka yang menyerukan adanya persaudaraan hakiki antara Yahudi, Nashrani dan Muslimin dengan jalan ‘tauhidul adyan’ (penyatuan agama) yakni persatuan agama-agama dengan satu aqidah.
Dengan adanya wala’ (loyalitas) kebanyakan orang-orang muslim kepada para penguasa dan pemerintahan yang tidak berpegang hukum Allah (kafir), juga mengakibatkan sampai pada tingkat bersikap bara’ (berlepas diri) dari kaum muslimin sendiri. Tidak lagi mau menerima kaum muslimin, dan menjadikan mereka sebagai teman, dan penolong, serta memusuhi mereka dengan permusuhan yang keras.
Banyak kaum muslimin yang berwala kepada orang-orang kafir, meskipun hanya pada tingkat yang rendah sekalipun – seperti, mengagumi para pemimpin sekuler, mencintai para aktor, artis, seniman, musisi, dan mengidolakan terhadap mereka. Meniru gaya hidup mereka, dan menggunakan ciri-ciri yang mereka gunakan, dan berbangga dengan tata cara hidup orang-orang kafir itu.
Tindakan seperti itu berarti membenci setiap muslim yang berpegang teguh kepada perintah-perintah Allah, orang yang menjauhi segala larangan-Nya. Sikap itu, sekaligus menebar kebencian, permusuhan, perlawanan dan melakukan upaya melepaskan diri dari orang-orang mukmin. Upaya ini baik yang dilakukan oleh mayoritas penguasa serta para pejabat pemerintah kaum muslimin – atau ketidak beranian mereka menampilkan diri didepan publik.
Tentu, yang paling memprihatinkan, kefasikan wala’ (loyalitas) dewasa ini telah bergeser timbangannya, hingga mencapai ke taraf bara’ (berlepas diri). Bahkan hanya sedikit kaum muslimin yang dewasa ini yang mampu berlepas diri dari kecenderungan wala’ (loyalitas) kepada orang-orang kafir, sehingga mereka membenci kaum mukminin yang berpegang teguh dengan keimanannya. Kemudian memberkan stempel dan gelar yang sangat buruk bagi mereka dengan sebutan, seperti ektrimis, fundmentalis, teroris, dan menjadi sasaran kampanye yang tujuan menghancurkan mereka.
Allah Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk kepada Allah.Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah, itulah yang pasti menang”. (Al-Maidah : 55-56)
Adanya loyalitas baru seperti terhadap nasionalisme, pemikiran-pemikiran dan ajaran sekuler ‘la diniyah’, yang membawa pada tarap kehidupan materialisme yang sangat destruktif, sekarang menjadi ‘ilah-ilah’ baru, yang menutupi jiwa kaum muslimin, sampai kemudian mereka meninggalkan agamanya. Inilah sebuah fenomena yang menyedihkan saat ini. Wallahu ‘alam.