قَاتِلُواْ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللّهُ وَرَسُولُهُ وَلاَ يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُواْ الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ ﴿٢٩﴾ وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللّهِ وَقَالَتْ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُم بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِؤُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ ﴿٣٠﴾ اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ ﴿٣١﴾ يُرِيدُونَ أَن يُطْفِؤُواْ نُورَ اللّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللّهُ إِلاَّ أَن يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ ﴿٣٢﴾ هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ ﴿٣٣﴾ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ الأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ ﴿٣٤﴾ يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لأَنفُسِكُمْ فَذُوقُواْ مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ ﴿٣٥﴾
Perangilah orang-orang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah denga patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. Orang-orang Yahudi berkata, "Uzair itu putra Allah", dan orang-orang Nasrani berkata, "Al-Masih itu putra Allah". Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling? Mereka menjadikan alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai. Hai orang-orang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang bathil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dna perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa pedih, pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dahi mereka, lambung da punggung mereka (lalu dikatakan) pada mereka, "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (QS. At-Taubah [9] : 30-35)
Potongan ayat dalam surat at-Taubah ini bertujuan menegaskan hukum-hukum final tentang hubungan masyarakat Islam dengan ahlul Kitab, sebgaimana potongan ayat pertama darinya bertujuan menegaskan hukum-hukum final tentang hubungan masyarakat Islam dengan kaum musyrik di Jazirah Arab.
Apabila ayat-ayat di potongan pertama secara eksplisit menghadapi realita di Jazirah Arab pada waktu itu, berbicara tentang orang-orang musyrik didalamnya, dan mendefinisikan sifat-sifat, kejadian-kejadian, da peristiwa-peristiwa yang bersentuhan langsung dengan mereka, maka ayat-ayat di potongan kedua ini —yang hanya terkait dengan Ahli Kitab— bersifat umum dalam lafaz maupun maknanya, ia mencakup seluruh Ahli Kitab, baik mereka yang tinggal di Jazirah Arab maupun yang tinggal diluarnya.
Hukum-hukum final yang tercantum dalam potongan ayat-ayat ini mengandung tiga revisi mendasar terhadap kaidah-kaidah yang sebelumnya menjadi landasan hubungan antara orang-orang Islam dengan ahli Kitab, terutama orang-orang Nasrani. Sebelum itu telah terjadi beragam peristiwa dengan orang-orang Yahudi, namun hingga detik ini, sama sekali belum pernah terjadi satupun peristiwa dengan orang-orang Nasrani.
Revisi paling mendasar dalam hukum-hukum baru ini adalah perintah memerangi ahli Kitab yang menyeleweng dari agama Allah hingga merek amau membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk, tidak lagi bisa diterima dari mereka permintaan perjanjian damai dan gencatan senjata, kecuali yang didasarkan atas asas ini, asas pembayaran jizyah. Dalam keadaan seperti ini mereka berhak mendapatkan hak-hak orang hak-hak orang dzimmi mu’ahid (ahli Kitab yang memperoleh jaminan dan mengadakan perjanjian damai) dan mewujudlah perdamaian antara mereka dengan orang-orang Islam, sedangkan jika mereka rela Islam menjadi aqidah mereka lalu mereka memeluknya, maka mereka adalah bagian dari umat Islam.
Sungguh mereka tidak dipaksa memeluk Islam. Sebab, kaidah Islam yang permanen adalah "Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam". (QS. Al-Baqarah [2] : 256). Meski demikian, mereka tidak dibiarkan memeluk agama mereka (agama selain Islam) kecuali dengan membayar jizyah dan sesudah terjadinya perjanjian antara mereka dengan orang-orang Islam atas asas ini.
Revisi terakhir dalam kaidah-kaidah interaksi antara masyarakat Islam dengan ahli Kitab tidak akan bisa dipahami menurut tabiat aslinya kecuali dengan pemahaman yang mendalam dan tercerahkan, pertama-tama, tentang tabiat hubungan-hubungan final antara manhaj (methode) Allah dan manhaj-manhaj jahiliyah, sedang yang kedua, tentang tabiat manhaj pergerakan Islam, fase-fasenya yang banyak, dan sarana prasaranya selalu baru yang setara dengan realita kemanusiaan yang senantiasa berubah.
Tabiat hubungan-hubungan final antara manhaj Allah dan manhaj-manhaj jahiliyah adalah ketidakmungkinan hidup berdampingan kecuali dibawah naungan situasi kondisi dan prasyarat tertentu, landasannya adalah tidak boleh ada satupun penghalang-penghalang materialisme yang bersumber dari kekuatan negara, dari sistem hukum, dan dari situasi kondisi masyarakat di muka bumi yang berdiri tegak melawan maklumat umum yang dikandung Islam untuk membebaskan manusia dengan beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala semata dan keluar dari peribadatan manusia kepada manusia! Itu terjadi karena manhaj Allah ingin berkuasa, untuk mengeluarkan manusia dari penyembahan hamba kepada penyembahan Allah subahanau wa ta’ala saja —seperti maklumat umum Islam— sedangkan manhaj-manhaj jahiliyah ingin, dalam rangka memerptahankan eksistensinya, memberangus dan juga menumpas gerakan (yang bergerak di bumi dengan) manhaj Allah!
Sedangkan tabiat manhaj gerakan Islam adalah menghadapi realita manusia ini dengan sebuah gerakan yang setara dengannya atau dengan yang lebih unggul darinya, dalam fase-fase yang tidak sedikit, yang punya sarana dan prasarana yang beragam. Hukum-hukum temporal dan hukum final dalam hubungan antara komunitas Islam dan komunitas-komunitas jahiliyah merepresentasikan sarana dan prasarana yang ada dalam fase-fase itu.
Dalam rangka mendefinisikan tabiat hubungan ini, ayat-ayat al-Qur’an dalam potongannya surat at-Taubah ini mendefinisikan hakikat sesuatu yang diyakini ahli Kitab, ia menegaskan bahwa sesuatu itu adalah kemusyrikan, kekafiran, dan kebatilan. Ia mendahuluinya dengan menyebutkan perisitwa-peristiwa yang menjadi landasan hukum ini, baik dari realita iktikad-iktikad ahli Kitab dan keseuaian serta kesamaan antara mereka dengan orang-orang kafir yang terdahulu maupun dari perilaku-perilaku dan tindakan-tindakan nyata mereka.
Adapun ayat-ayat diatas menegaskan tentang hal-hal sebagai berikut:
Pertama, mereka tidak beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala dan hari akhir.
Kedua, mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya.
Ketiga, mereka tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah Subhanahu wata’ala).
Keempat, ada diantara orang Yahudi yang mengatakan, "Uzair putra Allah", dan ada dari orang Nasrani yang mengatakan, "Al Masih putra Allah" dan mereka, dalam hal dua perkataan mereka ini, meniru perkataan orang-orang kafir sebelum mereka yang terdiri atas para paganis Yunani, paganis Romawi, paganis India, paganis Mesir, atau orang-orang kafir lainnya. (Perlu diketahui bahwa Trinitas dikalangan para pemeluk Nasrani dan klaim Allah punyai anak dari mereka atau dari pemeluk Yahudi dicomot dari paganisme-paganisme terdahulu, bukan berasal dari ajaran asli Nasrani atau Yahudi.)
Kelima, mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, sebagaimana mereka menjadikan al-Masih sebagai Tuhan. Dan mereka, dengan melakukan semua itu, telah menyelisihi perintah yang diberikan kepada mereka untuk menauhidkan Allah Subhanahu wata’ala dan tunduk kepada-Nya semata, dan mereka, karena tindakan ini adalah orang-orang yang musyrik!
Keenam, mereka memerangi agama Allah Subhanahu wata’ala dan hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, dan mereka, karena tindakan ini, adalah orang-orang yang kafir!
Ketujuh, banyak dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani yang memakan harta orang banyak dengan cara yang batil serta menghalangi-halangi manusia dari jalan Allah.
Atas dasar sifat-sifat dan definisi tentang hakikat sesuatu yang diyakini ahli Kitab ini, ayat-ayat diatas menetapkan hukum-hukum final yang menjadi landasan bagi semua jenis hubungan antara mereka dengan orang-orang yang beriman kepada agama Allah dan yang melaksanakan manhaj Allah.
Tampak demikian jelas bahwa penegasan hakikat sesuatu yang diyakini ahli Kitab ini adalah sesuatu yang mengagetkan, dan ia berbeda dengan ketetapan-ketetapan sebelumnya dalam al-Qur’an tentang mereka, sehingga kaum orientalis, misionaris, dan antek-anteknnyapun dengan mudah mengatakan dan menuduh Rasulullah Shallahu alaihi wassalam mengubah pendapat-pendapatnya dan hukum-hukumnya tentang ahli Kitab tatkala ia telah merasa kuat dan mampu untuk menandingi mereka!
Namun, telaah ulang yang objektif terhadap ketetapan-ketetapan al-Qur’an, baik yang Makkiyah ataupun Madaniyah, tentang ahli Kitab, memperlihatkan dengan jelas bahwa tidak ada sesuatupun yang berubah pada sudut pandang asli Islam terhadap iktikad-iktikda ahli Kitab yang ketika ia datang, ia mendapati mereka memedominasinya!
Islam mendapatkan penyelewengan dan kebatilan mereka, mendeapati kemusyrikan ahli Kitab dan kekafiran mereka terhadap agama Allahyang benar, bahkan terhadap apa yagn diturunkan kepada mereka dan terhadap bagian yang dianugerahkan kepada mereka sebelum itu. Wallahu’alam.