Pertemuan antara Islam dan Barat selalu saja penuh dengan konfrontasi. Sejarah bermula di era penjajahan, di mana pergerakan Islam, disokong kekuatan nasional lainnya, melawan Barat yang serakah. Pada periode ini, Islam hanya melihat satu kemungkinan: Barat adalah penjajah. Sedangkan Barat, untuk membenarkan penjajahan mereka, menganggap semua orang Islam adalah kaum barbar dan brutal. Inilah kesan pertama Islam yang diperkenalkan Barat pada masyarakatnya.
Babak kedua konfrontasi Islam dengan Barat adalah ketika berlangsung konflik Arab-Israel. Selama dua abad lamanya kemudian, Islam dan Barat menemukan arah yang baru. Hancurnya Soviet menjadi pemicu negara-negara Islam mulai mencari pelindung kepada Barat, yang dengan serta merta menyambutnya dengan tangan terbuka, terutama AS. Faktanya kemudian, Barat menelikung dengan menghancurkan semua kekuatan politik Islam dengan bantuan pemerintahnya sendiri—satu hal yang kemudian membuat Barat dijuluki “Pengkhianat”. Sampai sekarang, pola ini masih terus berlanjut dan berlangsung.
Pemerintah setempat melakukan hal yang lebih buruk lagi; mereka memberikan persepsi negatif tentang Islam di Barat. Mereka pun menguasai media dan menggelembungkan imej jika Islam adalah teroris, radikal, dan anti-demkorasi. Karena hal ini, Islam menjadi skeptis terhadap AS. Ditambah lagi dukungan AS terhadap Israel yang begitu gencar.
Akibatnya, kedua pihak antara Islam dan Barat melakukan aksi ‘sapu-bersih’ yang tidak seimbang. Di Barat, semua golongan Islam sama. Ikhwan tidak ada bedanya dengan Al Qaidah. Padahal, selain secara prinsip, organisasi, orientasi, pandangan, dan pola pemikiran pun berbeda. Di sisi lain, Islam pun kesulitan untuk mengenal Barat.
Memang ada perbedaan antara Uni-Eropa dan AS. Tetapi, Islam hanya mengenal AS cenderung lebih ekstrim dalam menilai Islam. Hal ini berdasarkan pada kepentingan jangka pendek di wilayah-wilayah tertentu, terutama mengenai Israel, minyak, dan pengendalian wilayah strategis yang penting. Sedangkan Uni-Eropa lebih tertarik pada isu demokrasi dan hak asasi. Tapi hal ini pun tak kurang buruknya dalam memanipulasi citra Islam. Uni-Eropa juga tidak kalah hebat dalam mendukung Israel.
Dalam hal ini, sangat penting untuk memahami Ikhwan sebagai gerakan yang moderat. Ikhwan selalu membuka dialog terhadap Barat. Tapi selalu saja ada halangan besar terhadap Ikhwan. Sokongan Barat terhadap rejim lokal ddalam alasan utama di balik semua itu. Pemerintahan Barat memilih bungkam terhadap berbagai kejahatan hak asasi yang dilakukan oleh rejim pemerintah. Begitu pula ketika terjadi pengadilan negeri menghukum para pembesar Ikhwan, di antaranya Khairat el Shater. Kemudian, tanpa alas an yang jelas, pemerintah membekukan semua aset yang dipunyai oleh Ikhwan. Mereka juga menangkapi ratusan anggota Ikhwan. Untuk semua itu, kita perlu ingat, Barat tidak melakukan apa-apa.
Pemerintahan Barat, terutama AS, harus mengklarifikasi posisi mereka mengenai demokrasi di Timur Tengah. Sepertinya tidak mungkin jika mereka mengatakan bahwa mereka begitu tulus mendukung demokrasi, sementara mereka masih saja terus memberikan dukungan kepada rejim-rejim setempat dalam melaksanakan tekanan dan ancaman kepada lawn politik mereka. Ini bukan saja merusak masa depan reformasi, tapi juga perdamaian keamanan internasional. Ini lah halangan dakwah terbesar Ikhwan, karena ketika Ikhwan menggulirkan reformasi tanpa kekerasan, isu radikal sudah menghadangnya
Barat harus menyadari bahwa gerakan demokrasi : “ Satu orang, satu suara ", dalam sebuah pemilihan akan menjadi sangat absurd, jika tidak menghasilkan perubahan di dunia Islam, yang sekarang mereka kuasai. Jika beberapa kawasan mereka kuasai, lalu cukup kuat rakyat mendukung Islam sebagai kekuasaan politik, tentu Barat akan segera menghancurkannya. Sejarah selalu menunjukan bahwa kita selalu saja dihalangi oleh kekuatan Barat, yang menginginkan ditegakkan nilai-nilai dan sistem islam, dan berangsur-angsur dilenyapkan jika gerakan Islam tidak terpilih lagi.
Terakhir, Barat harus juga menyadari bahwa dengan mendukung pemerintah diktator setempat, maka Barat melakukan pengkhianatan. Sementara memang para diktator ini rela untuk bekerja sama dengan pemerintah, karena hanya dengan begitulah mereka bisa tetap eksis. Jadi, ketika kita berbicara dialog anatar Islam dan Barat, maka kita memasuki “area abu-abu”. Kesalahpahaman akan selalu muncul, dan hanya akan mengancam semua orang.