Sekitar 4.000 tahun lalu, ketika Nabi Ibrahim prihatin melihat penguasa dan masyarakatnya yang tak kunjung mengerti kesesatan jalan hidup yang ditimbulkan berhala-berhala yang disembah mereka selain Allah Ta’ala.
Dakwah dan nasehat tak kunjug didengar dan dimengerti. Ibrahim mencoba masuk ke dalam persoalan itu agak lebih dalam, yakni menghancurkan semua patung itu, kecuali yang terbesar ia tinggalkan berdiri.
Tujuannya tak lain agar dapat kesempatan berdialog dengan lebih terbuka dengan para pemuja patung-patung itu. Ibrahim akan berdialog dengan logika sederhana dan sangat mudah dimengerti oleh siapa saja yang mempunyai sedikit intelektualitas dan fitrah yang masih bersih.
Dengan demikian Ibrahim berharap bahwa para penguasa dan masyarakatnya sadar akan kekeliruan fatal yang mereka lakukan dalam kehidupan dunia yang sementara ini yang berefek buruk di akhirat nan abadi.
Target Ibrahim untuk berdialog itu tercapai, namun hasilnya nihil. Ibrahim belum berhasil mengetuk hati nurani dan pikiran kaumnya untuk menyadari kebatilan yang mereka yakini dan sembah selama ini dan kemudian kembali kepada fitrah manusia sejati, yakni mentauhidkan Rabbul ‘Izzah yang menjadi misi utama dakwah Ibrahim dan para Nabi Allah lainnya.
Sebaliknya, sebuah lelucon dan cara berfikir yang tidak bermutu dipertontonkan oleh penguasa dan masyarakat Ibrahim yang sudah kecanduan menyembah berhala.
Bagaimana tidak? Saat mereka mendengar jawaban Ibrahim terkait tuduhan penghancuran patung-patung itu seperti, “Ia berkata : Bukankah yang besar itu yang melakukannya? Tanya saja mereka jika mereka bisa bicara”. {QS. Al-Anbiya’ : 63}.
Mereka malah berkata : “Kemudian mereka menundukkan kepala mereka, (tertegun sejenak sambil berkata), Andakan tahu mereka tidak bisa bicara?”. Nah, saat itulah esensi pesan yang akan disampaikan Ibrahim mendapatkan momen terbaiknya. Lalu Ibrahim berkata : “Loh, kenapa kalian menyembah (tuhan-tuhan) selain Allah yang tidak bisa memberi manfaat dan mudarat pada kalian sedikitpun? Celakalah kalian dan apa saja yang kalian sembah selain Allah. Apakah kalian tidak berakal?”. {QS. Al-Anbiya’ : 66 & 67}
Mendengar argumentasi Ibrahim yang sangat sederhana namun memiliki makna yang dalam dan kejujuran fitrah itu bukannya mereka sadar, melainkan panik dan kehilangan akal serta kendali diri sambil berkata : “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kalian (tuhan kok dibantu?) jika kalian benar-benar hendak berbuat (sesuatu terhadap tuhan-tuhan kalian itu)”. {QS. Al-Anbiya’ : 68}.
Inilah bentuk kebodohan dan ketumpulan hati, pikiran dan fitrah orang-orang yang sudah menikmati ubudiah (pengabidian) kepada berhala. Bersikap frontal, ekstrim dan bahkan melakukan teror terhadap para Nabi dan pengikut mereka yang setia mendakwahkan ajaran tauhid dan keimanan. Kondisi seperti itu terekam sepanjang sejarah para Nabi dan Rasul, tak terkecuali saat Nabi Muhammad Saw. diutus menjadi Rasul akhir zaman. Kasus berhalaisme sepanjang zaman sama saja, kendati para pelakunya berbeda.
Memang, secuil fakta di atas terjadi lebih dari 4.000 tahun lalu. Bagaimana pula kondisi sekarang di mana kita hidup di abad 21 yang sedang mengalami revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi super canggih ini?
Di samping itu, sebagian gerakan dakwah sudah pula memasuki era politik praktis dan mencicipi sebagian kecil kekuasaan dan kenikmatan dunia. Di mana letak berhalaisme di abad 21 ini? Apakah memang ada atau tidak?
Sebelum kita masuk kepada fenomena berhala abad 21, ada tiga hal penting yang perlu kita garis bawahi agar kita bisa melihat fenomena berhalaisme abad 21 ini dengan nyata :
Pertama, kondisi intelektualitas, fitrah dan mentalitas para penguasa dan masyarakat yang sudah terjerumus ke dalam kubangan berhalaisme adalah bermasalah, bahkan sudah rusak sehingga tidak bisa lagi mencerna al-haq atau kebenaran yang dibawa para Nabi dan Rasul.
Kedua, kerusakan intelektualitas, fitrah dan mental tersebut melahirkan tindakan ektrim dan bahkan terorisme terhadapa para pembawa al-haq tersebut, kendati terhadap para Nabi dan Rasul yang berakhir pada konspirasi pengusiran dan pembunuhan terhadap mereka.
Ketiga, berhala-berhala itu lahir sebagai rekaan khayalan para penganut berhalaisme, kemudian diteruskan begitu saja oleh generasi berikutnya sebagai tradisi. Bicara soal patung, paling maksimal patung-patung itu diterima akal sehat hanya pantas sebagai hiasan dan dijadikan mainan atau boneka anak-anak, bukannya dianggap tuhan yang memberi manfaat dan mudarat sehingga pantas pula disembah. Secara logika sehat dan fakta, mustahil bukan?
Namun, dibalik mempertuhankan patung-patung itulah para penguasa dan pengusaha memperoleh kenikmatan dunia berupa harta, tahta dan wanita. Bagi masyarakat awam, dengan mengabdi kepada patung-patung itulah mereka menemukan ketentraman jiwa yang palsu yang sesungguhnya mereka mengabdi kepada penguasa dan tokoh masyakat yang berpengaruh saat itu.
Kalau kita cermati dengan baik tiga poin tersebut di atas, maka terlihat dengan jelas kesamaan kondisi zaman Nabi Ibrahim 4.000 tahun lalu (dan juga saat Nabi Muhammada Saw. diutus jadi Rasul), dengan zaman sekarang; abad 21. Bahkan berhala di abad 21 ini lebih berfariasi. Kesamaan kondisi tersebut memperjelas bagi kita akan keberadaan berhala-berhala abad 21 dengan nyata. Di antaranya :
1. Berhala hukum dan sistem hidup (undang-undang).
Di zaman Ibrahim dan juga saat para Nabi lain diutus Allah, hukum yang berlaku dan menjadi sistem hidup adalah tradisi-tradisi dan undang-undang peninggalan nenek moyang, kendati sama sekali tidak berdasarkan wahyu dari Allah dan tidak pula berdasarkan ilmu yang benar.
Di zaman sekarang juga sama, yang menjadi aturan dan undang-undang yang mengatur kehidupan kaum Muslimin adalah peninggalan nenek moyang, bahkan dari Yunani kuno seperti demokrasi, dari penjajah Eropa seperti Belanda, Inggris, Prancis dan sebagainya, maupun berasal dari wilayah lokal. {QS. Al-Maidah/5 : 104, Yunus/10 : 78 dan Luqman/31 : 21}. Menurut Allah, sebagai Tuhan Pencipta mereka, bahwa manusia yang tidak mau berhukum kepada hukum dan peraturan ciptaan Allah adalah kafir, zhalim (syirik) dan fasik serta jahiliyah. {QS. 5 : 44, 45, 47 dan 50}
2. Berhala tokoh dan pemuka masyarakat.
Di zaman para Nabi, para tokoh dan pemuka masyarakat menjadi berhala yang disembah (ditaati) masyarakat. Para tokoh dan pemuka itu akan menjadi berhala-berhala tatkala masyarakat mengikuti dan mentaati mereka dalam memusuhi dan melawan para Nabi serta ajaran Tauhid mereka.
Hampir mayoritas para tokoh dan pemuka masyarakat pada waktu para Nabi ditus Allah, baik formal seperti Namrud dan Fir’aun, maupun yang informal seperti orang Azar (ayah Ibrahim), anak dan istri Nabi Nuh, Istri Nabi Luth, Qarun, Haman, Samiri, Abu Lahab, Abu Jahal dan sebagainya, menjadi otak pembangkangan terhadap para Rasul Allah.
Dalam Al-Qur’an, para tokoh dan pemuka masyarakat seperti itu disebut dengan istilah “al-Mala’”. Sedangkan sifat mereka yang menonjol disebut “al-Mutrafun”(orang-orang yag berfoya-foya hidupnya), “Al-Mustakbirin” (orang-orang yang sombong karena menolak ajaran Tauhid dan kebenaran yang dibawa para Nabi) dan “Akabir Al-Mujrimin (konspirator-kospirator ulung).
Yang menarik adalah, penolakan mereka terhadap ajaran Tauhid para Nabi itu bukan karena mereka tidak faham, melainkan karena ketakutan atas kehilangan kekuasaan, jabatan, harta dan berbagai bonafiditas jahiliyah lainnya seperti status sosial, menjadi orang terhormat dan sebagainya.
Sebab itu mereka menuduh para Nabi dengan berbagai tuduhan yang sangat buruk, seperi gila, tukang sihir, perusak negeri (teroris) dan sebagainya, dan bahkan sampai melakukan konspirasi pengusiran dan pembunuhan.
Di zaman sekarang, kita juga melihat dengan nyata tidak sedikit para tokoh dan pemuka masyarakat, baik formal maupun informal yang menolak mentah-mentah ajaran Tauhid para Nabi, khususnya syari’at Nabi Muhammad Saw dan menuduh para penyerunya dengan berbagai tuduhan seperti ektrimis, fundamentalis, teroris dan sebagainya, bahkan memerangi mereka dengan undang-undang yang diciptakan.{QS. Al-A’raf / : 60, 66, 75, 88, 90, 109 dan 127, Hud/11:27, Yusuf/12: 43, Al-Mukminun/23 : 24 dan 33, An-Naml/27 : 29 dan 32, Al-Qashash/28 : 20 dan 37 dan Shad/38 : 60}
3. Berhala Pemuka Agama (Ulama).
Di zaman sebelum Nabi Muhammad Saw. diutus, khususnya di kalangan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani), terjadi penghambaan dan ibadah kepada para pemuka agama (Ulama).
Ibnu Katsir menjelaskan: Ketika ‘Adi Ibnu Hatim, seorang Kristen datang ke Madinah menemui Nabi Muhammad Saw. sedangkan di lehernya terdapat kalung salib dari perak. Lalu Rasul Saw, membaca surat Attaubah ayat 31: “Mereka menjadikan Ahbar (Ulama Yahudi) dan Ruhban (Ulama Nasrani) sebagai tuhan yang disembah…”. Lalu ‘Adi berkata : Mereka itu bukan menyembah para ulama itu… Nabi menjawab : Benar, mereka mengharamkan apa yang dihalalkan (Allah) dan menghalalkan apa yang diharamkan (Allah), lalu mereka (masyarakatnya) mengikutinya, maka yang demikian itu adalah beribadah kepada mereka (para Ulama).
Imam Assa’dyi berkata : Mereka meminta nasehat (pendapat kepada tokoh-tokoh agama dan pada waktu yang sama mereka meninggalkan Kitabullah. Yang demikian itu juga termasuk mengabdi dan menyembah kepada mereka.
Saat ini kita menyaksikan betapa banyak manusia, khususnya kaum muslimin yang hanya mengandalkan pendapat para ulama dan tokoh mereka dalam berbagai masalah agama dan kehidupan dan tidak mau merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasul Saw. dengan dalih mereka adalah orang-orang yang baik dan paham agama.
Padahal kalau kita pelajari dengan baik, pendapat dan fatwa mereka banyak sekali yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul Saw, seperti masalah hukum (halal dan haram), undang-undang, politik, pemerintahan, kepemimpinan, wala’ (loyalitas), baro’ (disloyalolitas) dan sebagainya.
4. Berhala Partai dan kelompok atau Jama’ah.
Berhala macam ini mirip dengan berhala pemuka agama (Ulama), yakni sudah ada sejak masa para Nabi terdahulu. Partai atau kelompok (jama’ah) akan menjadi berhala bagi para anggota dan pengikutnya bila partai, kelompok atau jamaah itu sudah tidak lagi mengikuti kitabullah dan sunnah Rasul Saw. dalam tujuan, prinsip, asas, strategi, cara, program dan sebagainya, kendati hanya sebagiannya saja.
Dalam Al-Qur’an, partai itu hanya terbagi dua; Partai Allah {Al-Maidah/5 : 56 dan Al-Mujadilah/58 : 22 } dan Partai Setan {Al-Mujadilah/58 : 19}. Di antara ciri-ciri Partai Allah ialah : loyalitas penuh pada Allah, Rasul dan Orang beriman {Al-Maidah/5 : 56}, tidak berkasih sayang (apalagi berkoalisi) dengan orang-orang yang membangkang kepada Allah dan Rasul-Nya kendati mereka itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara dan keluarga mereka sendiri {Al-Mujadilah/58 : 22}. Sedangkan di antara kriteria partai Setan itu ialah : Program kerja dan strateginya didominasi oleh setan sehingga tidak lagi ingat Allah dan Kitab-Nya {Al-Mujadilah/58 : 19}.
Jadi, setiap partai, kelompok atau jama’ah yang tidak mengikuti ajaran Islam secara total atau mengandung unsur durhaka kepada Allah, kendati hanya sebagian saja, berarti partai, kelompok atau jama’ah tersebut telah mengikut langkah setan dan mentaatinya. Ketaatan kepada setan tersebut dalam Al-Qur’an disebut “menyembah setan”. {QS.Maryam/19 ; 43 – 45}.
Berdasarkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut, kita dapat memahami bahwa saat ini tidak sedikit partai yang sudah menjadi berhala-berhala yang disembah (ditaati) oleh para anggota dan pengikutnya. Hal tersebut disebakan tidak lain adalah karena menganggap dan meyakini kebenaran semua yang dirumuskan dan dijalankan partai adalah kebenaran yang tidak boleh dipertanyakan atau didiskusikan.
Padahal, banyak sekali yang bernuansa durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya serta berbau ketaatan kepada setan, seperti mencintai dan memberikan wala’ kepada para pembakang Allah dan Rasul-Nya, meyakini dan menerapkan sistem jahiliyah dalam kehidupan dan sebagainya.
Sesungguhnya berhala-berhala abad 21 ini tidak kalah banyaknya dengan berhala-berhala kuno zaman dahulu, bahkan cenderung bervariasi dan muncul dengan tampilan yang sangat halus dan menipu.
Menurut hemat kami, empat macam berhala abad 21 seperti yang dijelaskan di atas, merupakan berhala-berhala yang paling berbahaya bagi keimanan kaum Muslimin dan tegaknya syri’at Islam di negeri mereka. Semoga Allah selalu memelihara iman dan kepahaman kita. Amin.