"Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." (QS.18:28)
Ayat tersebut mengingatkan kaum muslimi akan hakikat kemenangan bahwa kemenangan yang harus diperjuangkan bukankan kemenangan harta, kedudukan atau limpahan materi. Kemenangan yang hakiki adalah kemenangan akidah tauhid atas syirik, kemenangan iman atas kufur, kemenangan taat kepada Allah atas taat kepada manusia, kemenangan hak atas kebatilan.
Secara historis taujih rabbani tersebut ditujukan kepada hamba pilihan yang terpelihara dari dosa dan bersih dari kesalahan. Muhammad saw. Jika Raulullah saw saja diingatkan untuk bersabar dalam membela agama Allah, sesungguhnya yang sangat memerlukan taujih ini adalah kita sebagai umatnya.
Ketika para pembesar Quraisy tampil di hadapan Rasulullah saw dan mengharapkan beliau menyediakan waktu khusus untuk mereka. Ketika itu, Rasulullah saw berbisik dalam hatinya untuk memanfaatkan kesempatan tersebut demi kepentingan dakwah, sebab dengan dukungan para pembesar, apa yang sedang beliau dan para sahabat perjuangkan bisa mudah tercapai, kucuran dana, keamanan politik, popularitas mereka dan fasilitas-fasilitas yang lainnya.
Namun ternyata, bisikan tersebut mendapat teguran langsung dari Allah. Artinya sebaik-baik ijtihad manusia tanpa disertai bimbingan ilahi akan membawa kepada kerugian.
Allah swt lewat ayat di atas memerintahkan Rasulullah saw untuk menahan diri dari berbagai keinginan yang, tidak diragukan sangat bermanfaat bagi kepentingan umat dan kemenangan dakwah, yaitu menerima permintaan para pembesar Quraisy untuk bersama-sama membangun Negara Madinah.
Di samping itu, beliau tidak mungkin terjebak dalam permainan politik dan termakan konspirasi mereka jika mereka melakukannya.
Namun demikian, taujih rabbani tersebut turun untuk mengingatkan beliau agar tidak mengikuti keinginan tersebut, sebab kemenangan akidah tidak dapat diraih dengan kedudukan atau kekayaan. Beliau malah diperintah untuk tetap bersama para sahabatnya yang senantiasa berdzikir dan
bertaqarrub kepada Allah, walau secara strata ekonomi dan status sosial lebih rendah daripada pembesar Quraisy tersebut. Rasulullah saw
adalah seorang hamba yang paling dikabulkan setiap doanya.
Dalam diktum ilahi tersebut, beliau diperintah untuk tetap bersama orang-orang yang selalu berdoa agar tetap sabar dalam mengahadapi ujian yang manis. Jika tingkat Rasulullah saw saja diperintah untuk selalu bersama para sahabatnya dalam segala aspek kehidupan, apakah kita diperbolehkan mengharapkan kemenangan Islam dengan memanfaatkan kedudukan seorang pejabat atau dengan mengharapkan kucuran dana, dengan dalih bahwa memperjuangkan Islam perlu dana dan fasilitas yang banyak?
Ayat di atas mengingatkan kepada kita bahwa kemenangan yang sebenarnya bisa diraih oleh mereka yang selalu berdzikir, taqarrub kepada Allah, dan akrab dengan ayat-ayatNya. Kemenangan dalam AlQuran tidak pernah mengutamakan jabatan atau harta.
Dan, kemenangan sama sekali tidak dapat diukur dengan kemenangan politik sebab kemenangan politik, kadang dapat membawa keburukan. Kemenangan politik baru akan berbuah menjadi kemenangan hakiki (dakwah) jika para politisinya selalu berada di tengah-tengah umat yang berjuang hanya mencari ridha Allah, hanya ketika para politisinya bukan orang-orang yang lalai.
Karena jika mereka lalai hidupnya mengikuti tuntutan hawa nafsu, akan berpandangan sempit dan dangkal karena lebih mementingkan kenikmatan sesaat daripada kehidupan akhirat, sibuk berusaha mati-matian untuk mendapat kekayaan dan kedudukan duniawi sesaat.
Islam tidak akan tegak kecuali dengan tampilnya orang-orang shalih yang senantiasa dekat dengan Allah dan bergerak melakukan amal jamai (teamwork) bersama ahli dzikir. Wallahu’alam