Berikut fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah selaku mufti umum Saudi Arabia, ketua lembaga ulama besar Saudi Arabia dan ketua Idarotil Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta’ berkaitan dengan masalah jadwal waktu shalat dari kalender Ummul Quro tertanggal 22 Rajab 1417 H. Beliau mengatakan :
“Segala puji bagi Allah semata, dan shalawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga, dan para sahabatnya, adapun setelah itu.
Maka sesungguhnya tatkala banyak pembicaraan dari sebagian orang akhir-akhir ini tentang jadwal (waktu shalat) dalam kalender Ummu Quro, dan dikatakan bahwa terdapat kesalahan padanya, khususnya waktu shalat Subuh yang mendahului sekitar 5 (lima) menit atau lebih dibandingkan waktu yang sesungguhnya. Maka saya tugaskan panitia khusus dari kalangan para ulama untuk pergi keluar dari batas kota Riyadh, (tempat yang jauh) dari lampu-lampu/cahaya-cahaya (buatan), supaya mereka memantau terbitnya fajar, dan supaya diketahui sejauh mana tepatnya penentuan jadwal yang dimaksud dengan kenyataan.
Dan sungguh panitia khusus tersebut dengan kesepakatan mereka menetapkan bahwa jadwal waktu-waktu tersebut tepat/bersesuaian dengan terbitnya fajar, dan tidak benar apa yang disangka sebagian orang bahwa jadwal tersebut mendahului sebelum terbitnya fajar.
Dan untuk menghilangkan kerancuan/keraguan yang membuat sebagian orang ragu akan sahnya shalat mereka, maka inilah penjelasannya.
Allah maha memberi taufiq dan maha menunjuki kepada jalan yang lurus” [6]
a. Syaikh –rahimahullah- tuna netra sehingga tidak bisa mengamati sendiri, karena itu beliau murni percaya kepada tim tersebut, sebagaimana sahabat Ibnu Ummi Maktum Rodiallohu `anhu yang tidak adzan kecuali menunggu diberitahu oleh para sahabat yang melihatnya. Pada saat ada khilaf antara syaikh Ibn Baz yang tidak melihat fajar dengan syaikh Al-Albani yang melihat fajar, tentu sebuah sikap yang kurang inshaf manakala kita mengunggulkan orang yang tidak melihat fajar atas orang yang melihat fajar, apalagi tim yang dibentuk waktu itu yang melihat sekali tersebut telah dikritisi oleh Syaikh Dr. Sa’ad ibn Turki al-Khustlan yang mewakili Departemen Urusan Keagaamaan Saudi dalam Proyek Studi Mega.
Dalam penjelasannya tahun 1426 H/ 2005 M, syaikh al-Khutslan berkata:
ينبغي تنبيه النساء في البيوت أيضا أن لا يصلين إلا بعد نصف ساعة من الأذان ينبغي التواصي في هذه المسألة العظيمة المهمة المتعلقة بالعبادة ولا يقال في هذا تشويش بل هذا فيه تصحيح الخطأ الواقع يترك الناس على الخطأ ليس بالصحيح وأما اللجان التي خرجت قبل فكانوا يفتقدون الخبير معهم وكذلك المكان لم يكن مناسبا وكذلك لم يخرجوا إلا مرة تقريبا و هذه لا تكفي.
“Seyogyanya kaum wanita di rumah-rumah juga diingatkan agar mereka tidak menunaikan shalat subuh kecuali setelah 25 menit dari adzan. Seharusnya saling berwasiat dalam masalah agung yang penting ini, yang berkaitan langsung dengan ibadah. Tidak bisa dikatakan ini adalah tasywisy (mengacaukan) tetapi justru ini mengandung tashhih (koreksi) atas sebuah kesalahan yang terjadi. Membiarkan manusia berada di atas kesalahan bukanlah sikap yang benar. Adapun panitia yang keluar sebelumnya, maka mereka tidak ditemani oleh orang yang ahli (berpengalaman), begitu pula tempatnya kurang cocok, dan juga mereka tidak keluar kecuali hanya sekali, kira-kira, dan ini tidak cukup.” (ini ditransip dari kaset beliau, aw kama qola)
b. Syaikh Ibn Baz rahimahullah sangat berhusnuzhan kepada pembuat kalender dengan mengatakan:
إن الذين وضعوا التقويم هم أعلم منا بالتوقيت
“Sesungguhnya yang membuat kalender (ummul Qura) ini lebih alim dari kita.” sebagaimana yang diceritakan oleh Syaikh Ahmad an-Najmi (1429 H) –rahimahullah). Namun, ketika husnuzhan itu berhadapan dengan fakta, yaitu bahwa yang membuat kalender Ummul Qura ternyata tidak bisa membedakan antara dua fajar dengan baik, serta menambah satu derajat begitu saja dari keinginannya untuk hati-hati maka ia batal, dan yang benar adalah fakta.
c. Syaikh telah melaksanakan tugasnya, dengan memerintahkan untuk dibentuk tim guna mengoreksi waktu fajar, namun usaha itu kiranya belum tuntas dan belum memuaskan.
d. Syaikh Abdul Muhsin Ubaikan (penasehat hukum di Kementrian Kehakiman Saudi, kemudian penasehat Kantor Kerajaan setingkat mentri, 1372-1430 H) rahimahullah berkata:
ان سماحة الشيخ عبدالعزيز بن باز – رحمه الله – لما وردت اليهكتابات من بعض مراكز الدعوة، وبعض أئمة المساجد حول وقت الفجر، لم يرفضإعادة النظر في التقويم، بل أمر بذلك، ومن ذلك الخطاب الذي وجهه سماحتهإلى وزير الحج والأوقاف برقم 182/1، وتاريخ 20/1/1412ه. المبني على خطابمدير مركز الدعوة والإرشاد في عرعر الذي لاحظ وجود فرق كبير في التوقيتبين أذان الفجر وطلوع الشمس في تقويم أم القرى بمنطقة عرعر، طالبا سماحتهاحالة ملاحظة فضيلة مدير مركز الدعوة إلى لجنة التقويم والإفادةبالنتيجة”.
“Sesungguhnya yang mulia Syaikh Abdul aziz ibn Baz –rahimahullah- ketika sampai kepada beliau surat-surat dari sebagian markaz-markaz dakwah, dan sebagian imam masjid seputar masalah waktu fajar, beliau tidak menolak untuk mengkaji ulang soal taqwim, bahkan beliau memerintahkan untuk itu. diantaranya adalah surat yang beliau layangkan kepada yang mulia mentri urusan Haji dan Waqaf dengan nomor 182/1, tertanggal 20/1/1412 H, yang didasarkan pada surat mudir markaz dakwah dan al-Irsyad di Ar’ur yang melihat adanya perbedaan besar dalam tawqit antara adzan subuh dan terbitnya matahari di taqwim Ummul Qura di kota Aqr-ur, seraya memohon kepada yang ,mulia agar mengalihkan catatan yang mulia mudir markaz dakwah kepada panitia taqwim dan melaporkan hasinya.”
وإنمايعول هذا الشيخ، ومن ينتهج نهجه على لجنة ليس فيها فلكي، بعثها سماحةالشيخ عبدالعزيز بن باز، كان القرار فيها لكبيرهم الذي خرج مرة، وقد وضعفي باله القناعة بالتقويم فلم يتحقق. ولما نوقش الذين كانوا معه، قالأحدهم إنه لا يعرف الفجر الصادق من الكاذب – على الطبيعة -، وأحدهم رجععنرأي اللجنة بعد أن وقف مع أهل خبرة لمراقبة الفجر، فاتضح له الخطأ. وقدوضحت بعد ذلك لسماحة الشيخ عبدالعزيز بن باز الأمر، وطلبت منه ان يكلفاللجنة المذكورة بالخروج معنا للتحقق من توقيت التقويم، فوافق – رحمه الله -، ولكن رفض كبير اللجنة، حتى إنني طلبت منه ذلك شخصيا فرفض، مما يدل علىعدم الحرص على تصحيح الخطأ.
Syaikh Ubaikan melanjutkan:
“Sesungguhnya syaikh ini dan orang yang mengikuti manhajnya mengacu pada lajnah yang tidak memiliki seorang ahli falak pun di dalamnya, yang diutus oleh yang mulia Syaikh Abdul Aziz ibn Baz, yang mana keputusannya ada di tangan “pembesarnya” yang keluar hanya sekali, sedangkan ia telah meletakkan dalam benaknya rasa kepuasaannya tentang taqwim, jadi ia tidak meneliti. Ketika orang yang bersamanya diajak diskusi, maka salah seorang mereka berkata: Sesungguhnya ia tidak mengetahui fajar shadiq dari fajar kadzib- diatas alam- Salah seorang mereka kembali meninggalkan pendapat panitia (tersebut) setelah berdiri bersama orang-orang yang berpengalaman dalam mengobservasi fajar, maka jelaslah kesalahan itu baginya. Saya sudah menjelaskan perkara ini setelah itu kepada Yang mulia syaikh Abdul Aziz ibn Baz. Saya meminta kepada beliau agar memerintahkan panitia tersebut keluar bersama kita untuk membuktikan kebenaran jadual shalat menurut taqwim. Maka beliau setuju- rahimahullah- akan tetapi “pembesar” panitia itu menolak, hingga aku secara pribadi meminta kepadanya, namun ia tetap menolak. Ini suatu hal yang menunjukkan kurangnya tekad untuk meluruskan kesalahan.” (disiarkan dalam harian al-Riyadh, Rabo, 23 Ramadhan 1426 H/ 26 Oktober 2005 H, edisi 13638 (http://bayenahsalaf.com/vb/showthread.php?p=11175)
e. Syaikh Ibn Baz –rahimahullah- dalam masalah ini mewakili studi lama yang tidak akurat. Beliau mengikuti pandangan lama bahwa jarak antara fajar shadiq dan terbit matahari adalah 90 menit (s=22 derajat). Beliau berkata:
أما الفجرالصادق فهو الذي يمتسح جنوباً وشمالاً في جهة الشرق ويزداد نوره، هذا هوالصبح متى طلع هذا الفجر فهذا هو الذي يفصل بين الخيط الأبيض والخيطالأسود، هذا هو الخيط الأبيض، الصبح، وهو ينتشر، ويتسع ويزداد نوره حتىيتم ضوؤه، ويزول آثاره وتزول آثار الليل، ويستمر إلى طلوع الشمس، والغالبمثل ما ذكرت أن ما بينهما ساعة ونصف تقريباً هذا ما ذكره أهل الخبرة
“Adapun fajar shadiq maka ia menyebar ke selatan dan utara di arah timur, dan bertambah cahayanya. Inilah subuh. Kapan fajar ini muncul maka ia yang memisahkan antara benang putih dan benang hitam. Inilah benang putih, subuh. Ia menyebar, meluas dan bertambah cahanya hingga sempurna cahayanya, dan hilanglah pengaruhnya, hilanglah pengaruh malam. Ia berlangsung terus hingga terbit matahari. Biasanya seperti yang engkau sebut (yaitu penanya dari Mesir) bahwa antara keduanya adalah satu jam setengah kira-kira. Ini yang dikatakan oleh orang yang ahli.” [2]
f. Meskipun Syaikh condong kepada studi lama namun beliau memliki sikap yang menghormati orang-orang yang mengoreksi, bahkan menasehatkan agar iqamahnya diundur dari adzan. Iqamat menurut syaikh yang terbaik adalah 25 menit setelah terbitnya fajar (artinya setelah 30 menit dari adzan depag RI). Beliau berkata:
لكن الأفضل والأحسن أن يؤديها في حال الغلسبعد طلوع الفجر بنصف ساعة، نصف إلا خمس حواليها يكون هناك غلس وهناك ضياءالصبح واضح.
“Akan tetapi yang utama dan yang terbaik adalah melaksanakan shalat subuh pada waktu ghalas (akhir gelap malam yang bercampur cahaya fajar shadiq), setengah jam setelah terbitnya fajar, setengah kurang 5 menit, sekitar itu di sana ada ghalas dan ada cahaya pagi yang nyata.”[3]
Jadi menurut beliau 25 menit setelah adzan kalender adalah waktu ghalas, waktu gelap remang-remang karena bercampur dengan cahaya putih dan merah fajar shadiq, waktu fajar shadiq menyebar di ufuk, itulah waktu yang tepat untuk melaksanakan shalat subuh, sebagaimana Rasulullah Sholallohu `alaihi wa sallam dulu melaksanakannya.
Mengapa Syaikh Bin Baz menyarankan agar iqamat diundur 25 menit? Salah satu alasannya adalah supaya benar-benar yakin bahwa shalat subuh kita tepat pada waktunya. Syaikh Said ibn Ali al-Qhahthani berkata: Saya mendengar yang mulia mengatakan:
((المراد لا تعجلوا حتى يتضح الصبح حتى لا يخاطر بالصلاة))
“Yang dimaksud (dengan hadits asfiru bilfajri) adalah janganlah kamu cepat-cepat (melaksanakan shalat subuh) hingga tampak jelas subuh itu, supaya tidak berspekulasi dengan shalat (subuh).”