Oleh : Abdullah Azzam
Berbuat kerusakan di muka bumi kebanyakan bermula dari keinginan seseorang untuk berkuasa dan memerintah, suka menyombongkan diri dan senang menonjol. Kesemuanya bermula dari tingkatan yang paling rendah sampai kepada tingkatan yang paling tinggi. Dimana di sana akan terbentuk ikatan dosa, sumber kejahatan dan kubangan fitnah. Ibnu Mas’ud atau Hudzhaifah Ra mengatakan :
“Sesungguhnya pada pintu istana para sultan (penguasa) terdapat fitnah seperti tempat menderumnya unta.”
Mereka, yakni orang orang salaf, memperingatkan umat supaya jangan mendatangi penguasa jika di dalam hati mereka tidak ada maksud menasehati atau mencegah dari penyimpangannya, jika di dalam hati mereka tidak ada niat menjauhi harta kekayaannya.
Jika engkau bermaksud untuk memasuki pintu istana Negara dan mendatangi mereka, maka ada dua hal yang harus engkau hindari dan jauhi : harta kekayaan mereka dan pemberian mereka. Sebab perkataanmu akan jatuh tak bernilai dalam sekejab begitu dinar dari tangan sultan jatuh ke tanganmu.
Sebagaimana perkataan syaikh Said Al Halbi Rahimahullah , ketika Ibrahim Pasya datang ke negeri Syam, ketika itu Syaikh Sa’id dikelililingi oleh para muridnya, sedang memberikan pelajaran kepada mereka. Ibrahim Pasha masuk masjid di tempat pengajian tersebut, namun Syaikh Sa’id tidak mengacuhkannya , dia tetap mengajarkan dan menjulurkan kakinya. Melihat sikap yang ditunjukkan Syaikh Sa’id itu, maka Ibrahim Pasya pun keluar. Darahnya mendidih dan kemarahannya berkobar. Lalu ia mengambil sekantung uang dan memberikan kepada pelayannya serta berkata,”Letakkan ini di pangkuan Syaikh itu !” (Kantung uang inilah yang membuat banyak leher menekuk dan menunduk, kantung inilah yang membuat mulut tersumbat sehingga agama Allah dipetikemaskan). Maka pelayan tadi datang dan meletakkan kantung uang tersebut di pangkuan Syaikh Sa’id. Namun oleh Syaikh Sa’id , kantung tadi diangkat dan diberikan lagi kepadanya seraya mengatakan,” Katakan kepada tuanmu, bahwa orang yang menjulurkan kakinya tidak akan menjulurkan tangannya !”
Mereka, para penguasa melihat orang orang yang mengambil harta mereka dengan pandangan sinis dan melecehkan, dengan nafsu mereka, dengan kegeraman hati mereka. Mereka berusaha untuk memuaskan hati para ulama dengan cara memberi hadiah kepada mereka sehingga para ulama mendiamkan kebatilan mereka dan membiarkan kezhaliman mereka. Para penguasa tadi melihat mereka tak ubahnya seperti binatang ternak yang berkumpul manakala diiming imingi seikat rumput dan lari bercerai berai manakala digertak oleh pengawal mereka.
Pernah suatu ketika Khalifah Al Manshur mengunjungi Sufyan Ats Tsauri. Lalu dia mengatakan kepadanya, “ Hai Sufyan, apa yang menjadi hajatmu?”
“Engkau dapat memberikannya padaku? Jawab Sufyan.
“Ya” Jawan Al Manshur.
Lalu Sufyan berkata,”Janganlah kau datang kepadaku sampai aku mengirim utusan kepadamu, dan janganlah mengirim seorang utusan padaku sampai aku sendiri yang minta.”
Maka Al Manshur berkata seraya membalikkan badan dan kembali pulang,” Semua burung dapat kami jinakkan dan saya tangkap kecuali Sufyan”.
Penguasa menganggap ulama adalah burung ?! . Penguasa memandang manusia bahkan para ulama adalah hewan, bagai ayam ayam kampung yang kemudian mereka bisa pelihara dengan makanan mereka dan kemudian mereka menyembelihnya kapan saja mereka mau. Orang orang saleh mengetahui ini semua. Mereka benar benar mengetahui dan memahaminya dari dasar hati mereka. – Syaikh Abdullah Azzam-