Dalam permasalahan imamah, Imam Syafi’i mengutip perkataan Imam Ali bin Abi Thalib ra yang menyatakan bahwa Imamah dalam Islam “Wajib ditegakkan dibawah kepemimpinan kaum Muslimin sehingga kalangan kafir pun dapat menikmati hak-haknya dengan baik, dengannya peperangan melawan musuh dicanangkan, stabilitas keamanan terjaga, kaum tertindas terlindungi dari pihak zalim, orang-orang yang baik dapat hidup tenang dan dapat terhindar dari ancaman orang-orang yang jahat. “Sebagaimana yang dianut oleh mayoritas ulama, Imam Syafi’i ra berpendapat bahwa imamah harus dipegang oleh kaum Quraisy. Menurut beliau, Imamah bisa saja terwujud tanpa baiat, jika memang terpaksa harus dengan cara seperti itu. Oleh karena itu diriwayatkan oleh muridnya yang bernama Harmalah bahwa sang Imam Syafii berkata “Setiap orang yang berasal dari kalangan Quraisy dan merebut kekhalifahan dengan cara kekerasan, kemudian masyarakat berkumpul dan mendukungnya, maka ia menjadi khalifah yang sah.”
Menurut Imam Syafi’i ra, ada dua kriteria yang dapat dijadikan patokan mengenai sahnya seorang menjabat sebagai khalifah;
- Orang yang akan menjadi khalifah harus berasal dari suku Quraisy
- Dukungan dan pengakuan masyarakat kepadanya, baik dukungan tersebut sebelum pengangkatannya sebagai khalifah seperti baiat, atau dukungan tersebut datang sesudah pengangkatannya, seperti seseorang yang berhasil mengalahkan pihak yang berkuasa dan merebut kekuasaan dan setelah itu mendapatkan pengakuan dan legitimasi dari rakyat
Terlihat dari pernyatannya di atas bahwa Imam Syafi’i tidak memberikan syarat lain kecuali bahwa khalifah tersebut harus berasal dari keturunan Quraisy, bukan Bani Hasyim. Disimpulkan dari sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata “Khilafa Rasyidin berjumlah lima, empat orang sebelumnya (Abu Bakar ra, Umar ra, Utsman ra, Ali ra), kemudian khalifah Umar bin Abdul Aziz. “Jika Imam Syafi’i mewajibkan bahwa pengangkatan khalifah harus berasal dari keturunan Bani Hasyim, tentu beliau tidak memasukkan Umar bin Abdul Aziz sebagai khilafah yang sah, Sebab Umar bin Abdul Aziz berasal dari keturunan Bani Umayyah dan khalifah yang berasal dari kalangan Bani Hasyim hanya satu yaitu Imam Ali ra.
Inilah pendapat popular Imam Syafi’i berkenaan dengan kepemimpinan di dalam Islam. Sementara itu, berkenaan dengan permasalahan siapa yang lebih layak menjadi khilafah setelah Rasulullah saw wafat, maka Imam Syafi’i berpendapat bahwa Abu Bakar ra lebih utama memegang jabatan kekhalifan dibandingkan dengan Imam Ali ra. Hal ini didasari oleh dua hadis Rasulullah saw berikut ini
Hadis Pertama: Dengan sanad yang tersambung langsung kepada Imam Syafi’I diriwayatkan bahwa suatu saat pernah seorang wanita mendatangi Rasulullah saw dan menanyakan sesuatu kepada beliau, kemudian Nabi saw memerintahkan wanita itu untuk kembali pulang ke rumahnya. Mendengar jawaban tersebut, wanita itu berkata,
“Wahai Rasulullah, jika aku kembali, aku khawatir tidak dapat bertemu lagi dengan anda (wanita itu mengisyaratkan kekhawatirannya akan kepergian Rasul ke sisi Allah SWT). Nabi menjawab, “Datanglah kepada Abu Bakar.”
Hadis ini merupakan sebuah isyarat dari Nabi saw bahwa Abu Bakar ra adalah orang yang akan menjadi pengganti setelah beliau wafat.
Hadis Kedua: Diriwayatkan dengan sanad yang langsung sampai kepada Imam Syafi’I ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ikutilah (jadikanlah sebagai teladan kalian) dua orang setelahku, Abu Bakar dan Umar”.
Berkenaan dengan permasalahan siapakah di antara empat khalifah pengganti Rasulullah saw yang paling utama, Imam Syafi’I ra menentukannya berdasarkan urutan pergantian khalifah, sehingga jika demikian yang paling utama adalah Abu Bakar, kemudian Umar, Utsman dan Ali ra. Selanjutnya dalam hal pertentangan yang terjadi antara Imam Ali rad an Muawiyah bin Abu Sufyan, maka Imam Syafi’I menganggap bahwa Muawiyah dan orang-orang yang mendukungnya adalah kaum bughat yang menurut Al-Quran wajib ditumpas habis, kecuali jika mereka kembali kepada jalan Allah. Oleh karena itu, dalam kitab as-Siyar beliau menegaskan bahwa sikap Imam Ali dalam menghadapi pihak bughat adalah hujah.
Inilah beberapa pendapat Imam Syafi’I tentang permasalahan imamah dan perselisihan yang terjadi di antara para sahabat ra, Meski demikian, sebagaimana kaum Muslim yang lain, Imam Syafi’I ra sangat mencintai keluarga Nabi saw dan keturunannya yang suci dan diberkahi. Perasaan ini pula yang terpatri di seluruh hati kaum Muslim yang ikhlas. Ketakjubannya terhadap sosok Imam Ali ra ini merupakan satu hal yang sudah menjadi rahasia umum pada saat itu. Di sebutkan bahwa dalam suatu kesempatan beliau pernah menyebut nama Imam Ali ra dalam majelisnya. Kemudian ada seorang laki-laki yang berkomentar, “Sesungguhnya penyebab utama berpalingnya orang-orang dari Imam Ali ra adalah sikap tegas beliau sendiri yang tidak peduli kepada siapa pun. Mendengar pernyataan tersebut sang Imam menjawab, “Ada empat perkara jika salah satu dari keempat perkara tersebut ada dalam diri seseorang, maka ia berhak untuk tidak peduli kepada orang lain; pertama adalah seorang yang zuhud, dan orang yang zuhud tidak peduli dengan dunia dan orang- orang yang tertipu dengannya. Kedua adalah orang yang berilmu, dan orang yang berilmu tidak akan peduli dengan cercaan orang lain yang bodoh. Ketiga adalah orang yang berani, dan orang yang berani tidak akan peduli terhadap siapa pun yang dihadapinya. Keempat adalah orang yang mulia. Orang yang mulia tidak akan peduli dengan penilaian siapa pun.”
Dalam kesempatan lain Imam Syafi’I mengomentari sosok Imam Ali ra dengan berkata; “Imam Ali ra adalah seorang yang mempunyai pengetahuan khusus dan mendalam tentang Al-Qur’an dan fiqih, Beliau pernah didoakan secara khusus oleh Nabi saw dan ditugaskan oleh Nabi saw menjadi qadhi untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di tengah masyarakat. Di saat perkara yang dipersengketakan tersebut di ajukan lagi kepada Nabi saw, Nabi saw tetap memutuskan sebagaimana yamh diputuskan oleh Imam Ali ra.
Mengenai pendapat Imam Syafi’I ra yang menjadikan sikap Imam Ali ra dalam memerangi kalangan bughat sebagai hujah, hal ini tercatat dalam buku beliau al Umm dan dalam buku-buku lainnya yang menerangkan dasar-dasar mazhabnya.
Imam Ahmad bin Hanbal ra juga mengisahkan sikap Imam Syafi’I yang demikian. Al- Abiri dalam bukunya manaqih asy-syafi’I,
Imam Ahmad ra pernah dikabarkan bahwa Yahya bin Muin menyebut Imam Syafi’I sebagai seorang yang beraliran Syiah. Kemudian Imam Ahmad bertanya kepada yahya bin Muin, “Dengan dasar apa Anda mempunyai kesimpulan demikian?” Yahya menjawab, “Saya telah melihat buktinya dalam buku- buku karya Imam Syafi’I, yaitu pada saat beliau berbicara tentang cara menyikapi kaum bughat. Dalam permasalahan tersebut, dari awal sampai akhir pembahasan, Imam Syafi;I berhujah dengan sikap Imam Ali ra. “Imam Ahmad bin Hanbal ra menjawab, “Anda aneh sekali. Jika tidak berhujah dengan sikap Imam Ali ra, dengan sikap siapa lagi Imam Syafi’I berhujah dalam permasalahan ini? Bukankah pemimpin Islam yang pertama kali berhadapan langsung memerangi kaum bughat adalah Imam Ali ra?” Mendengar jawaban Imam Ahmad tersebut, Yahya malu karena pernyatannya tuduhannya itu.
Demikianlah, kami melihat sosok Imam Syafi’I senantiasa berada pada posisi tengah dan selalu bersikap moderat dalam mengemukakan pendapat-pendapatnya. Imam Syafi’I ra sangat mencintai dan kagum dengan sosok kepribadian Imam Ali ra. Beliau menganggap sikap Imam Ali ra dalam memerangi kalangan bughat sebagai hujah. Meski demikian, perasaan tersebut tidak membuatnya lebih mengutamakan Imam Ali ra dibandingkan dengan Abu Bakar, Umar dan Utsman ra. Bahkan jika ada orang yang menyebutkan permasalahan ini, beliau akan menyebutkan kecintannya kepada Imam Ali ra lalu melanjutkan pernyatannya dengan mengatakan. “Akan tetapi, sejarah tidaklah sebagaimana yang kita harapkan”. (Dinukil dari kitab Imam As Syafi’i sejarah dan pemikirannya)