Eramuslim.com – Di antara tipe manusia yang sangat dibenci oleh Allah, hingga Allah memberikan hukuman sangat keras adalah raja atau presiden atau kepala negara atau pejabat pemerintah yang suka membohongi rakyatnya.
Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Ada tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, tidak Allah sucikan, tidak Allah lihat, dan bagi mereka siksa yang menyakitkan: orangtua yang berzina, raja yang suka berdusta, dan orang miskin yang sombong”. (HR. Ahmad 10227, Muslim 107, dan al-Baghawi 3591).
Kita berlindung kepada Allah dari karakter mereka. Anda bisa perhatikan, bagaimana kerasnya hukuman yang Allah berikan kepada mereka, tidak akan diajak bicara oleh Allah, tidak Allah sucikan, tidak Allah lihat, dan baginya siksa yang menyakitkan.
Anda bisa bayangkan ketika ada orang yang dihukum, dicampakkan ke dalam neraka, kemudian dia dilupakan dan tidak dipedulikan. Bagaimana dia bisa berharap untuk bisa selamat. Suatu hari, Hasan al-Bashri ulama besar zaman tabiin menangis.
Hingga para sahabatnya bertanya, “Apa yang menyebabkan anda menangis?” beliau mengatakan, “Aku takut, besok Allah akan membuangku ke neraka, kemudian dia tidak mempedulikanku”. (at-Takhwif min an-Nar, hlm. 34)
Mengapa hukuman mereka sangat berat?
Yang menjadi pertanyaan, mengapa mereka diberi hukuman sangat berat ketika melakukan pelanggaran seperti itu? Padahal yang namanya berzina, berdusta, atau sombong, juga dilakukan oleh manusia lainnya.
Jika kita perhatikan, tiga karakter manusia di atas, keadaannya sangat kontra dengan kesalahan dan dosa yang dia kerjakan. Karena faktor dan dorongan untuk melakukan kemaksiatan itu sangat lemah dibandingkan umumnya manusia.
Seperti yang kita tahu, umumnya manusia melakukan maksiat karena adanya dorongan kebutuhan. Pemuda berzina, karena dia tidak sanggup menahan nafsu birahinya. Orang terdesak yang berbohong, karena dia ingin menyelamatkan diri. Orang kaya yang sombong, karena merasa bangga dengan harta yang dimiliki. Berbeda dengan ketiga orang di atas, faktor-faktor itu hampir tidak ada.
Al-Qodhi Iyadh menjelaskan sebab hal ini. Sebabnya, karena ketiga orang di atas, melakukan maksiat seperti yang disebutkan, sementara dia sangat tidak membutuhkan maksiat itu, dan lemahnya dorongan untuk melakukannya. Meskipun semua orang tidak boleh melakukan maksiat, namun ketika ada orang yang sama sekali tidak ada dorongan untuk melakukannya, maka ketika dia melakukannya sama seperti orang yang menentang Allah dan meremehkan hak Allah, serta melakukan maksiat, bukan karena dorongan kebutuhan.
Kemudian al-Qodhi Iyadh merinci masing-masing. Orangtua, dengan kesempurnaan akalnya dan pengalamannya karena telah lama makan asam garam selama hidup, serta lemahnya kekuatan jima dan syahwat terhadap wanita, yang semua kondisi ini membuat dia malas melakukan hubungan badan yang halal, maka bagaimana lagi dengan zina yang haram? Namanya pendorong zina, masih muda, aktif, agresif, pengalaman kurang, dorongan syahwatnya besar karena lemah akal, dan usia yang masih remaja.
Demikian pula imam, apa yang ditakutkan terhadap rakyatnya, sehingga dia tidak butuh basa-basi, pencitraan dibuat-buat. Karena umumnya manusia melakukan basa-basi dengan dusta dan mengelabuhi orang yang dia takuti akan mengancamnya, atau karena dia ingin mendapatkan posisi dan manfaat dengan mendekat ke penguasa. Sementara penguasa, dia sama sekali tidak butuh berdusta.
Demikian pula orang miskin yang tidak memiliki harta. Umumnya penyebab orang bertindak sombong, bangga, dan merasa lebih tinggi dari orang lain adalah kekayaan dunia. Karena ini bisa ditampak-tampakkan, dan pemiliknya butuh untuk itu. Karena itu, ketika orang miskin sama sekali tidak memiliki modal untuk sombong, lalu mengapa dia sombong, dan meremehkan orang lain.
Kemudian al-Qodhi Iyadh mengakhiri keterangan beliau dengan mengatakan, “Sehingga perbuatan orang miskin yang sombong, orangtua yang berzina, dan penguasa yang suka berdusta hanya karena mereka meremehkan hak Allah taala. (Syarh Shahih Muslim, an-Nawawi, 2/117). [Ustadz Ammi Nur Baits/inilah]