Assalamu’alaikum WR. WB.
Pak ustadz saya mau tanya, saya punya adik dia telah berzina tapi dia ingin bertaubat dan bertanggungjawab atas perbuatannya, dan menjadi bingung disaat ingin bertanggungjawab tapi dia dihadapkan pada argumentasi atau dalil dalil yang menerangkan sah dan tidaknya status pernikahan zinanya, trus harus bagaimana cara menjalani hidup berikutnya seandainya pernikahan itu tidak sah menurut agama, sementara tuntutan dari keluarga perempuan bersikeras untuk tinggal bersama pada adik saya ini sudah ingin meninggalkan zina dikhawatirkan dengan status pernikahannya dia. trus mengenai menafkahinya bagaimana.
Pak. Maaf ya kalo banyak bertanya masalahnya ini sangat urgen sekali bagi kami sekeluarga, terima kasih sebelumnya.
Ananda Hana yang dirahmati Allah SWT, saya turut prihatin atas kejadian yang menimpa adik Anda yang telah berzina. Zina memang perbuatan yang termasuk kategori dosa besar dalam Islam sehingga wajib dihindari. Allah berfirman : “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina” (QS. 25 : 68-69). Alhamdulillah, adik Anda ingin bertaubat, semoga taubatnya diterima Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam ayat selanjutnya dari ayat di atas : “kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. 25 : 70).
Lalu apakah adik Anda bisa menikahi perempuan yang telah dizinahinya? Setahu saya, di dalam Islam tidak ada larangan untuk menikahi perempuan yang telah dizinahi asalkan si perempuan tidak dalam keadaan hamil. Jika dalam keadaan hamil, para ulama berbeda pendapat tentang sah atau tidak pernikahannya. Namun saya pribadi cenderung pada pendapatnya yang menunda pernikahan sampai si perempuan melahirkan. Alasannya, selain karena pendapat ini dalil syar’inya lebih kuat, mungkin hikmahnya juga untuk menghindari kerancuan siapa bapak bayi tersebut. Yang kedua, mungkin hikmahnya juga karena si perempuan lebih labil dan emosional perasaannya ketika hamil sehingga dapat menganggu hubungan suami isteri ketika dalam suasana pengantin baru. Jika tidak dalam keadaan hamil sebaiknya segera dinikahi perempuan tersebut. Jalan ini menurut saya lebih baik daripada meninggalkan perempuan tersebut begitu saja, tanpa ada pertanggungjawaban.
Kemudian mengenai masalah nafkah, karena ini darurat bisa saja untuk sementara dinafkahi oleh orang tuanya masing-masing. Namun sebaiknya segera adik Anda bekerja sampingan (jika masih sekolah/kuliah) atau full time (jika sudah selesai sekolah/kuliah). Ia harus mau bertanggung jawab untuk mencari nafkah walau usianya mungkin masih terlalu muda. Yang penting ada kemauan, Insya Allah disitu akan ada jalan. Tidak usah memikirkan lebih dahulu gengsi dari pekerjaan tersebut dan berapa penghasilannya. Biarkan adik Anda berlatih untuk bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya, yakni dengan segera mencari nafkah. Bahkan di dalam Islam, wibawa seorang lelaki/suami dilihat dari seberapa besar tanggung jawabnya untuk menafkahi keluarganya. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (QS. 4 : 34).
Semoga jawaban saya ini bermanfaat untuk menyelesaikan masalah adik Anda.
Salam Berkah!
(Satria Hadi Lubis)
Mentor Kehidupan