Assalamualaikum wr. wb. ustadz,
Afwan ana akan bertanya bertanya singkat saja, ,
Ana adalah orang yang cukup lama berada dalam jamaah dakwah kampus. sejak awal ana perhatikan, beberapa kali teman – teman ana yang lebih dulu terjun ke dalam dakwah ini sering menyebut – nyebut soal istilah "single fighter." ana pun tidak luput dari julukan ini.
Yang ingin ana tanyakan adalah, kenapa sekarang banyak istilah single fighter? Baikkah istilah tersebut banyak dipopulerkan? Jika tidak, lantas apakah yang sebaiknnya kita lakukan?
Yang ana pahami, seseorang dikatakan single ketika orang lain tidak menemukan seseorang yang berada di didekatnya dalam kehidupan sehari – hari. bukankah setiap diri kita adalah "fighter" (baca: pejuang or mujahid)? Lantas kenapa bisa ada yang single (sendiri)? Bukankah ukhuwah adalah tiang kuat pengokoh dari sebuah jamaah? Berarti seharusnya tidak ada yang namanya "single" lagi kan? Berarti bukankah hal tersebut seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi saudara2nya yang lain, mungkin ada hak – hak saudaranya yang terabaikan, sehingga ia menjadi "single"?
Yang lebih miris lagi adalah ketika saudara ana "single fighter" yang lain, menjadikan ke"single"annya sebagai alasan untuk bertindak yang ‘kurang’ syar’i.. sebagai alasan karena kurangnya ukhuwah yang ia dapatkan dari saudara2nya yang lain..
Lantas apa yang sebaiknya kita lakukan?
Afwan ustad kalau ada kata-kata yang kurang berkenan,
Jazakallah atas jawabannya
Wassalamualaikum wr. wb.
Ananda Asy Balufida yang dirahmati Allah SWT, Istilah "single fighter" kurang lebih diartikan sebagai beban kerja yang dikerjakan sendiri dengan tidak (tanpa) melibatkan orang lain. Single fighter bisa terjadi karena faktor keadaan di mana memang tidak ada orang lain yang dapat membantunya atau karena faktor individu, di mana ia sangat sulit mempercayai orang lain untuk bekerjasama, sehingga semua tugas dan pekerjaan di kerjakan dengan sendiri atau karena rekan-rekannya tidak mau membantu dengan berbagai alasan.
Sebagai contoh, seorang ibu dengan tiga anaknya yang masih kecil ditinggal mati oleh suaminya, sehingga ia menjadi single fighter dalam mengurusi anak dan rumahtangganya. Hal ini karena faktor keadaan di mana ia tidak mempunyai seorang suami sebagai tulang punggung keluarga.
Sebaliknya, di sebuah organisasi, si Fulan yang diamanahkan sebagai seorang ketua sering merangkap tugas-tugasnya dengan bagian lainnya. Di samping memimpin rapat, ia juga harus mengetik notulensi rapat bahkan sampai menghubungi narasumber bila ada kegiatan yang harus dilaksanakan.
Kita mungkin dapat memaklumi bila single fighter tejadi karena faktor keadaaan, di mana hal itu merupakan faktor eksternal yang diluar kendali manusia. Namun kita harus mempertanyakan bilamanasingle fighter terjadi dikarenakan faktor individualis, apalagi bila terjadi di tempat yang disebut sebagai "ladang dakwah."
Benar apa yang Anda katakan bahwa dalam kacamata dakwah, hal ini terjadi karena kurangnya ukhuwah antar pengurus, tidak terkoordinirnya barisan-barisan dakwah yang dapat membagi tugas dan perannya secara proporsional. Bukankah dalam shalat jama’ah di samping ada imam juga ada muadzinnya?
Bila hal tersebut dikarenakan faktor mental seseorang yang kurang bisa mempercayai orang lain untuk melaksanakan tugas yang diembannya, maka saatnya ia harus belajar mempercayai orang lain. Delegasikan apa-apa yang memang sudah menjadi hak dan kewajibannya. Misalnya bila ia seorang bendahara, berilah ia kepercayaan untuk mengelola keuangan sesuai dengan job desk dan peraturan yang berlaku, dan sebagainya.
Pererat rasa ukhuwah di antara pengurus, dengan selalu melakukan pertemuan rutin yang dapat lebih mengenal karakteristik dari masing-masing sehingga kita dapat mengetahui apa kelebihan dan kekurangan yang dimiliki saudara kita.
Ukhuwah buka hanya bekerjasama semata tetapi juga bagaimana kita harus dapat meningkatkan rasa ukhuwah terebut, tidak hanya saling mengenal tetapi juga bagaimana kita saling memahami dan saling bantu membantu memecahakan segala persoalan yang ada secara sinergi sehingga dapat mencapai sasaran yang diinginkan dengan hasil yang efektif.
Di ladang dakwah, kita tidak boleh reaktif dalam mendapatkan amal-amal yang mulia ini, tetapi kita harus Proaktif menyambut dan mengambil pahala-pahala yang terbentang luas di depan mata kita. Tanyakan pada ketua atau pengurus yang lain apa yang dapat kita bantu di organisasi ini, lalu kita tunaikan amanah itu dengan sebaik-baiknya.
Kita juga tidak bisa menyerahkan segala urusan organisasi semuanya kepada ketua atau pimpinan, tetapi kita harus dapat melaksanakan dan menunaikan apa yang telah menjadi tugas kita dan apa yang saja yang harus dilakukan sesuatu mandata yang diberikan.
Kesimpulannya adalah, kembali kepada masing-masing kita untuk berbuat yang terbaik bagi dakwah ini. Jangan biarkan terjadi beban kerja yang "ngejomplang." Di satu sisi ada saudara kita yang merasa keberatan dengan beban kerjanya yang begitu banyak, namun disisi lain banyak mereka yang mengaku aktivis dakwah namun menjadi "penggangguran dakwah" bahkan banyak waktu luangnya dihabiskan dengan kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat sama sekali.
Semoga bermanfaat