Assalamu’alaikum ustadz!
Alhamdulillah ana (akhwat) sudah tarbiyah sejak SMA. Sedikit banyaknya ana jadi tahu bagaimana proses pernikahan bagi seorang yang tarbiyah. Namun yang kemudian jadi fikiran bagi ana adalah apa memang iya jodoh kita itu harus dari murabbi? Kalau misalnya kita punya kecendrungan hati dan yakin dengan akhwat ataw ikhwah tersebut kemudian berniat menikah, apa itu salah? Bukannya menikah itu adalah solusi bagi permasalahan hati, daripada menimbulkan fitnah?
Ana pernah punya pengalaman, ada seorang ikhwah yang mau ta’aruf dg ana. Ceritanya… Kami bertemu dalam sebuah kegiatan. Bagi ana tidak ada yang spesial dari pertemuan itu. Biasa saja. Hanya saja tidak bagi ikhwah tersebut. Ana tidak tahu apa dia melihat sesuatu dalam diri ana atau ada hal yang lain, yang pasti kami sejujurnya tidak benar-benar saling kenal. Dia kemudian mencari informasi tentang ana. Dan setelah dia istikharah dan merasa yakin, dia ngajak ana ta’aruf. Ajakan itu memang dikatakan langsung ke ana, bukan lewat MR. Ana juga tidak tahu apa alasan dia seperti itu. Katanya kalau ana setuju dia akan bilang ke MR nya untuk memfasilitasi. Dan nanti MR dia yang akan menghubungi MR ana.
Tapi setelah sampai ke MR, ternyata MR ana "marah." Beliau mengatakan bahwa tidak seharusnya ikhwah tersebut mengambil langkah seperti itu. Intinya dari dialog ana dengan MR ana waktu itu adalah tidak boleh ada rasa suka terlebih dahulu. Kalau memang siap untuk menikah, maka MR lah yang akan mencarikannya. Pertanyaan ana, apa memang harus seperti itu? Bukannya kalau ada seseorang yang sudah punya kecendrungan hati, seharusnya mereka memang dinikahkan? Rasa suka itu kan fitrah, dia akan menjadi salah kalau diarahkan ke jalan yang salah. Tapi ikhwah itukan ngajak menikah, bukan pacaran?
Wa’alaikum salam wr, wb.
Ananda Miska yang dimuliakan Allah SWT, sebenarnya cara menikah tidak mesti harus melalui perantara MR (murobbi), tetapi meminta izin atau restu MR perlu dan harus (bukan sekedar memberitahu MR seperti yang dilakukan ikhwah yang ingin ta’aruf dengan Anda). Hal itu karena MR sebagai guru ngaji kita tentu memiliki pertimbangan-pertimbangan tertentu ketika kita memilih jodoh. Hargailah MR kita dengan cara menerima masukan-masukan darinya. Mereka adalah “orang tua kedua” kita (menurut Imam Ghazali). Banyak orang tua hanya menyelamatkan kita dalam kehidupan dunia (karena mereka tidak mengerti Islam), tetapi MR kita menyelamatkan kita di dunia dan akhirat (karena mereka mengajarkan kita tentang Islam sebagai bekal keselamatan hidup di dunia dan akhirat).
Adapun cara-cara mencari jodoh yang sesuai dengan aturan Allah SWT ada dua, yaitu :
1. Melalui perantara (salah satunya murobbi).
Perantara bukan hanya murobbi, tapi bisa juga orang-orang shalih di sekitar kita, termasuk orang tua, dan teman-teman kita. Mereka bisa menjodohkan kita dengan orang yang dianggap layak untuk kita.
2. Mencari sendiri tanpa melalui pacaran.
Cara yang kedua ini mungkin sulit bagi sementara orang. Bagaimana bisa mencari jodoh sendiri tanpa melalui pacaran? Bukankah pacaran merupakan sarana untuk mengenal calon pasangan kita? Lalu dapatkah dijamin kita akan cocok dengan pasangan kita jika tidak melalui pacaran? Jawabannya adalah : bisa!. Bisa menikah tanpa pacaran dan bisa cocok sampai hayat di kandung badan. Nenek moyang kita telah mempraktekkan hal tersebut sejak lama dan terbukti cocok. Bahkan sekarang ini malah kita menyaksikan sendiri bahwa angka perceraian semakin tinggi, justru ketika budaya pacaran menjadi umum dalam masyarakat kita. Ternyata pacaran tidak menjamin kecocokan dalam berumah tangga. Jadi, cocok atau tidaknya kita dengan pasangan bukan karena pacaran, tetapi karena kesiapan untuk menerima pasangan kita apa adanya. Walau tidak pacaran, tetapi hati dan mental kita lebih siap (ikhlas) untuk menerima kekurangan dari pasangan, maka rumah tangga kita akan langgeng sampai akhir hayat. Sebaliknya, walau pacaran bertahun-tahun tapi ternyata mental dan hati kita tidak siap menerima kekurangan pasangan, maka pernikahan akan mudah bubar dalam waktu yang singkat.
Cara mencari sendiri tanpa pacaran adalah dengan cara ‘menembak’ (langsung mengutarakan keinginan untuk menikahi orang yang kita taksir). Contohnya adalah ketika Khadijah ra meminta Nabi Muhammad saw untuk menikahinya. Cara ini biasanya didahului dengan mencari informasi tentang orang yang akan kita “tembak” tersebut. Cara mencari informasinya bisa melalui teman akrabnya, gurunya, dan orang-orang terdekat dengannya. Cara yang ditempuh harus smooth (halus), sehingga tidak terkesan terlalu agresif. Lalu dilanjutkan dengan memberikan sinyal kepada orang yang kita taksir tersebut apakah ia siap untuk kita ajak menikah. Kalau sinyalnya positif, maka kita bisa menyampaikan hasrat kita kepadanya. Bisa melalui perantara atau bisa juga langsung mengutarakan kepadanya. Kalau diterima alhamdulillah dan kalau pun ditolak jangan sakit hati.
Baik cara pertama maupun kedua seharusnya ditempuh dengan meminta izin dan restu murobbi dan jangan hanya sekedar memberitahu murobbi. Jangan jadikan urusan pernikahan Anda sebagai masalah pribadi yang tidak ada hubungannya dengan dakwah. Menikah berarti membentuk rumah tangga Islami, dan rumah tangga Islami adalah dasar terbentuknya masyarakat Islam. Jadi pernikahan dalam Islam adalah masalah sosial, bukan masalah pribadi. Itulah sebabnya di zaman Nabi, beliau sebagai kepala negara turun tangan langsung menikahkan para sahabat (umat Islam) waktu itu.
Sekarang ini, akibat ghozwul fikri (perang pemikiran), mencari jodoh dianggap sebagai hak pribadi semata dan melupakan pertimbangan sosial (pertimbangan orang-orang di sekitarnya). Atas nama cinta mereka memaksakan diri menikah dengan orang-orang yang menurut pandangan sosial sebetulnya tidak cocok untuk menjadi jodoh mereka. Atas nama cinta, mereka rela merusak hubungan dengan orang tua dan keluarga besar karena menikah dengan orang yang beda agama atau beda akhlaq (life style). Hal ini tidak benar. Mencari jodoh dan menikah dalam Islam adalah masalah sosial. Jadi perlu melibatkan banyak orang untuk dimintai pertimbangan, termasuk salah satunya dalah murobbi kita. Bahkan pertimbangan murobbi perlu menjadi pertimbangan utama dalam memilih jodoh karena murobbi adalah orang yang tahu tentang Islam dan tahu tentang baik buruknya kita (orang tua kadangkala tahu tentang baik dan buruknya kita, tetapi belum tentu tahu tentang Islam). Pertimbangan murobbi biasanya dihubungkan dengan kemaslahatan agama (sebaliknya pertimbangan orang tua kadangkala hanya berdasarkan pertimbangan duniawi belaka).
Disinilah peran murobbi menjadi penting dan tidak bisa diabaikan dalam memilih jodoh bagi ikhwan dan akhwat yang sudah tarbiyah.
Salam Berkah !
(Satria Hadi Lubis)
Mentor Kehidupan