assalamualaikum wrwb
Ustad saya pernah punya pengalaman pribadi ketika meminta bantuan untuk mencari pasangan hidup.
Ketika itu mr menyodori data seorang akhwat yang berkerja di seberang pulau. Dari segi ekonomi akhwat tsb dari sudah mapan sekali. Proses terus berlanjut cuma ketika di tengah proses ada keganjalan dimana saya dengan akhwat itu dipisah kan oleh jarak sedangkan saya di Jakarta punya penghasilan sendiri, biar hanya cukup untuk saya dan orangtua.MR saya menyarankan atau cenderung untuk memaksa supaya saya ikut bersama akhwat tersebut ke luar daerah dan saya tidak setuju dengan saran tersebut karena saya kehilangan sumber penghasilan sedangkan kalau pun ikut pindah dengan akhwat belum ada jaminan saya punya sumber penghasilan. Saya menolak dengan alasan bahwa suami itu punya harga diri di depan istri dan keluarga tapi mr menasehati bahwa saya harus ihklas dalam berniat ketika mau mencari istri.
1. Apakah tindakan saya ketika membatalkan proses taaruf ketika saya ingin mencari seorang istri karena Allah dianggap saya tidak ihklas?
2.Mungkin disini banyak ikhwan dan akhwat banyak yang menghindari dengan mr dari urusan jodoh disebabkan belum bijaksananya seorang mr sehingga madu takut untuk menolak ketika tidak sesuai dengan keinginannya?
wasallam
Wa’alaikum salam wr. wb.
Saudaraku Nito yang dirahmati Allah SWT, salah satu tugas seorang murobbi memang mencarikan jodoh untuk mad’unya. Akan tetapi murobbi tidak boleh memaksa mad’u, padahal sang mad’u kurang sreg dengan pilihan murobbinya. Disini perlu ada hubungan saling menghormati antara murobbi dengan mad’u. Murobbi menghargai keberatan mad’unya. Sebaliknya, mad’u juga perlu memberikan alasan-alasan yang syar’i dan masuk akaljikakeberatan dengan pilihan murobbinya.
Untuk menjawab pertanyaan Anda, jawaban saya seperti ini :
1. Pertanyaaan pertama tentang Anda yang menolak calon yang diajukan murobbi menurut saya penolakan Anda masih dalam taraf yang wajar dan tidak bisa disebut sebagai kurang ikhlas. Alasan Anda benar karena keberatan mengikuti tempat tinggal calon isteri dengan mengorbankan pekerjaan Anda. Seorang suami semestinya memiliki hak yan lebih dalam menentukan tempat tinggal. Sebaliknya, seorang isteri semestinya mengikuti tempat tinggal yang dimaui suaminya. Jika Anda mengikuti kemauan murobbi Anda untuk pindah ke tempat isteri, kewibaan Anda sebagai suami akan menurun di mata isteri. Sebab seorang suami semestinya menjadi qowwan (pemimpin) yang diikuti isteri, bukan sebaliknya. Wibawa Anda akan menurun juga karena untuk sementara waktu biaya hidup keluarga Anda akan ditanggung isteri. Belum lagi jika Anda sudah mendapatkan pekerjaan di tempat isteri tapi ternyata pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan kemauan Anda. Tentu Anda tidak akan nyaman bekerja. Padahal di tempat pekerjaan sekarang ini Anda sudah merasa nyaman bekerja. Semestinya murobbi malah mengarahkan agar calon isteri Anda bersedia pindah kerja ke tempat Anda. Jika ia adalah PNS (Pegawai Negeri Sipil) sebenarnya juga bisa dipindahkan mengikuti suami asalkan menempuh prosedur sesuai dengan peraturan PNS.
2. Pertanyaan kedua tentang mad’u sekarang ini banyak menghindar untuk dicarikan jodoh oleh murobbinya memang ada benarnya. Namun menurut saya kebanyakan alasan mad’u bukan karena takut menolak jodoh yang dipilihkan murobbinya, tapi lebih karena dua faktor, yaitu : waktu yang lama untuk dicarikan oleh murobbi dan keinginan subyektif mad’u yang berbeda dengan keinginan murobbinya. Kadangkala mad’u menghindar dicarikan jodoh oleh murobbinya karena waktu proses yang lama antara saat mengajukan keinginan untuk menikah sampai dicarikan jodoh oleh murobbinya. Waktu yang lama ini membuat beberapa mad’u tidak sabar, sehingga mereka memilih mencari jodoh melalui jalur lain. Lalu kalau sudah dapat baru memberitahu murobbinya. Sedang masalah keinginan subyektif mad’u biasanya adalah masalah kecantikan (untuk akhwat) dan masalah kemapanan (untuk ikhwan). Keinginan tersebut kadangkala segan disampaikan mad’u kepada murobbi karena mereka tahu hal tersebut sebenarnya bukan masalah prinsip dalam Islam, tapi bagi beberapa mad’u hal tersebut dijadikan syarat utama dalam memilih jodoh. Oleh sebab itu mereka merasa lebih aman kalau mencari sendiri. Baru setelah dapat tinggal meminta restu murobbi untuk jodoh yang telah dipilihnya sendiri.
Fenomena di atas sebenarnya adalah fenomena yang kurang baik dalam mencari jodoh. Solusinya adalah murobbi perlu cepat mencarikan mad’unya jodoh jika mad’unya sudah minta untuk dicarikan jodoh. Jangan melambat-lambatkan dengan alasan sibuk atau alasan lainnya. Seorang murobbi yang baik harus menyediakan waktunya untuk membantu mad’unya mencarikan jodoh dalam waktu sesingkat-singkatnya. Sedang keinginan subyektif mad’u yang ingin mencari jodoh yang cantik atau mapan adalah keinginan yang tidak syar’i jika dijadikan sebagai syarat utama. Dan jika keinginan ini mewabah di kalangan aktivis da’wah maka tujuan mulia menikah bagi aktivis da’wah akan bergeser menjadi pernikahan yang tidak istimewa lagi (tidak ubahnya seperti pernikahan orang-orang yang tidak memahami islam). Hal itu akan membahayakan masa depan gerakan Islam karena para kadernya menikah bukan karena faktor dien (agama), tapi faktor-faktor lain yang tidak prinsipil.
Demikian jawaba saya. Semoga Anda mendapatkan jodoh yang lebih baik di kemudian hari untuk bersama-sama dengan para aktivis da’wah yang lain membangun masyarakat yang Islami.
Salam Berkah!
(Satria Hadi Lubis)
Mentor Kehidupan