Asalamu Alaikum Wr, Wb.
Kang Satria yang saya hormati,
Saya udah beberapa kali menguatkan untuk bisa bersabar dengan menghadapi suatu masalah, bahkan sampai sekarang saya masih bisa bersabar, tapi saya rasakan malah dengan kesabaran saya itu orang yang menjadi masalah itu malah melunjak. Nah saya yang mau tanyakan apakah kesabaran ada batasnya, atau haruskah saya bertindak sesuai kelakuannya.
Wa’alaikum salam wr. wb.
Saudaraku Zhafar Maliawan yang dimuliakan Allah SWT, sabar adalah salah satu sikap mulia seorang muslim. Begitu mulianya bersabar maka ia merupakan salah satu kriteria orang yang tidak merugi hidup di dunia ini. “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. 103 “ 1-3). Keutamaan sabar banyak sekali, diantaranya membuat kita tidak mudah stres, mudah bersyukur, mampu mengambil keputusan lebih bijaksana, disenangi dalam pergaulan, cermin kerendahan hati, membuat orang menjadi berwibawa dan membuat hati menjadi tenang. Pendek kata Allah mencintai orang-orang yang sabar. Sebaliknya, membenci orang yang tidak sabar.
Apakah kesabaran ada batasnya? Jawabannya adalah tergantung dari jenis kesabarannya. Imam Ghazali dalam bukunya “Ihya Ulumuddin” menyebutkan ada tiga jenis kesabaran, yaitu kesabaran terhadap keinginan bermaksiat, kesabaran terhadap nikmat yang diperoleh, dan kesabaran terhadap musibah/ujian hidup. Untuk jenis sabar yang pertama dan kedua (sabar terhadap maksiat dan sabar terhadap nikmat), menurut saya merupakan kesabaran yang tidak ada batasnya. Artinya, kita harus bersabar selama-lamanya. Berbuat maksiat sampai kapanpun harus ditahan/dikendalikan. Begitu juga sabar terhadap nikmat, dalam artian bersyukur dan tidak sombong harus dilakukan terus menerus. Namun sabar terhadap musibah, menurut saya ada batasnya. Musibah datang akibat perbuatan kita sendiri, akibat perlakuan zalim orang lain, atau akibat takdir Allah SWT. Jika musibah itu merupakan takdir dari Allah SWT, seperti meninggalnya orang yang kita sayangi, maka kita harus sabar selama-lamanya. Namun jika musibah itu akibat perbuatan kita, misalnya kecelakaan karena kita sembrono membawa kendaraan, maka kita harus segera instrospeksi dan memperbaiki diri (tidak sabar dengan musibah tersebut). Begitu pula jika musibah itu karena perlakuan orang lain, maka kita harus membela diri. Tidak diam saja. Itulah yang dilakukan Rasulullah saw ketika beliau dizalimi terus menerus oleh musuh-musuhnya. Setelah bersabar selama 10 tahun di periode Mekah dizalimi, beliau akhirnya membela diri pada periode Madinah dengan cara memerangi orang-orang yang telah menzalimi beliau dan para sahabatnya. “Dan ( bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri.
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim” (QS. 42 : 39-40). Di ayat ini, Allah SWT menyebutkan bolehnya kita membela diri apablia diperlakukan zalim oleh orang lain, tetapi sabar dan memaafkan adalah pilihan lain yang lebih baik.
Lalu pertanyaannya adalah apa batasan kesabaran yang mengharuskan kita membela diri dari perlakuan zalim orang lain. Sebab kalau dibiarkan, maka perlakuannya semakin zalim (ngelunjak). Batasannya adalah :
1. Apabila perlakuan tersebut telah membahayakan fisik kita secara langsung. Misalnya, membela diri ketika ada seseorang yang menyerang kita dengan menggunakan senjata tajam. Rasulullah saw berperang karena musuh-musuh Islam telah melakukan tindakan penyiksaan dan pembunuhan kepada para sahabatnya.
2. Apabila perlakuan tersebut telah menjadi fitnah yang diyakini banyak orang. Kita tidak boleh diam saja ketika difitnah dan fitnah tersebut diyakini kebenarannya oleh banyak orang. Rasulullah saw berperang juga karena fitnah yang dilakukan musuh-musuh Islam sudah kelewat batas (menuduh Rasulullah sebagai tukang sihir, pembohong dan Islam adalah ajaran yang menyesatkan).
Di luar kriteria itu sebaiknya kita bersabar dan memaafkan, karena sabar dan memaafkan adalah sikap untuk menghindari konflik dan permusuhan.
Semoga saudaraku Zhafar Maliawan dan kita semua diberikan kesabaran dalam menghadapi berbagai riak kehidupan
Salam Berkah!
(Satria Hadi Lubis)
Mentor Kehidupan