Assalamu’alaikum Wr Wb
Semoga Ustadz selalu dalam lindungan ALLAH SWT…Amin…
Saya langsung saja kepada perjalan hidup saya yang sangat memalukan yang telah seringkali mengguncang “Arsy” nya ALLAH.
Saya telah menikah sekitar 10 th yang lalu dan dikaruniai 3 orang anak laki-laki serta keluarga kami Alhamdulillah harmonis meskipun pasti ada suka dukanya dalam mengarungi bahtera rumah tangga kami.
Awal pernikahan kami tersangkut dengan adat istiadat yang cukup rumit dari kedua belah pihak keluarga sehingga menemui jalan buntu. Akhirnya isteri saya yang sekarang menyusul saya ke daerah tempat saya bekerja dan selanjutnya kami menikah dengan wali hakim, tetapi sebelum akad nikah wali hakim tersebut menghubungi ayah mertua saya per telepon, yang menerangkan bahwa dia akan menikahkan anak gadisnya dengan saya dengan alasan bahwa ayah mertua saya dianggap “kurang” memudahkan urusan pernikahan anak gadisnya sendiri, ditodong seperti itu ayah mertua saya dengan berat hati akhirnya merelakan anaknya dinikahkan oleh wali hakim tersebut.
Singkat cerita lahirlah anak pertama kami di perantauan yang jauh dari keluarga. Susah senang kami hadapi bersama.
Setelah beberapa tahun kemudian kami kembali ke kota asal kami untuk memulai hidup di sekitar orang-orang yang kami cintai, banyak sekali cerita “miring” tentang cara pernikahan kami, semuanya kami hadapi dengan sabar dan tawakal. Alhamdulillah financial kami di “cukup” kan oleh Allah SWT.
Berbekal dari surat Al-Baqarah 216
Diwajibkan atas kamu berperang, Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
Sekarang “buah” dan hikmah dari cara pernikahan kami tersebut diawali dengan perkenalan saya dengan seorang gadis. Dari awal perkenalan saya, isteri saya mengetahui bahwa si gadis telah tertambat hatinya kepada saya dan sayapun tidak menampiknya.
Sejak awal berhubungan dengan si gadis dia mengetahui “status” saya, sudah berkeluarga dan mempunyai 3 orang anak. Hubungan kami pada awalnya berlandaskan syari’i dan kami sangat menjaga sekali hal-hal yang dilarang oleh agama.
Si gadis berjanji dan bersumpah setulus hati tanpa paksaan serta dengan menyebut nama ALLAH bahwa dia bersedia menjadi isteri saya. Kami mengeyampingkan status isteri pertama & kedua karena di hadapan ALLAH yang dinilai adalah ketaqwaannya bukan statusnya.
Saya memang berniat untuk menikahinya dan menjadi salah satu ibu bagi anak-anak saya.
Selama 3 tahun saya berhubungan dengan dia dan selama itu pula saya dengan susah payah meyakinkan isteri saya bahwa saya berniat untuk poligami asal isteri saya menyikapinya dengan “dewasa & bijaksana” dan akhirnya saya mendapat “lampu” hijau dari isteri saya.
Bahkan isteri saya bersedia melamarkan si gadis ke ayahnya untuk menjadi isteri saya.
Akhirnya kami terjebak oleh bujuk rayu syetan laknatullah, gayung bersambut si gadis merelakan jiwa dan raganya pada saya. Sehingga kami sering berzina dan hubungan ini telah berlangsung sekitar 1 tahun.
Sebelum saya berzina dengannya saya ajak dia beberapa kali untuk menikah secara resmi di KUA, tapi dia bilang belum siap, dengan alasan ayahnya tidak setuju kalau anaknya jadi isteri ke dua.
Saya tetap melakukan “kewajiban” dengan isteri tanpa ada masalah yang berarti. Isteri saya tidak tahu kalau saya telah sering berzina dengan si gadis.
Permasalahan yang timbul sekarang si gadis ragu dengan keputusannya menikah dengan saya, yang menurut saya alasannya adalah pertama karena status saya, kedua karena tidak ada izin dari ayahnya serta akan membuat ayahnya kecewa sekali jika dia bersedia menikah dengan saya.
Dimasyarakat kita yang umumnya hipokrit, dia dianggap merebut suami orang padahal saya sudah menjelaskan ke dia bahwa isteri saya dapat menerima dia apa adanya, isteri saya akan menyikapinya dengan dewasa/bijaksana.
Akhirnya si gadis terus menghindar dari saya, ini yang membuat saya merasa “terpuruk” dengan dosa-dosa yang telah saya/kami lakukan.
Sebahagian besar laki-laki akan menerima keputusan ini dengan suka cita agar tidak melanjutkannya ke pernikahan dan lepas tanggung jawabnya, tapi saya sangat takut dengan azab ALLAH saya datangi ayahnya, mengutarakan niat saya untuk menikahi anaknya, tapi sayang beliau menolak saya… untuk menjadi suami dari anaknya.
Apa yang mesti saya lakukan sekarang untuk meyakinkan semua yang bersangkutan dengan perkara ini?!?
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk“(QS. Al-Qashash:56)
Apakah janji dan sumpah dengan menyebut nama ALLAH akan hapus begitu saja setelah taubat, sementara yang di beri janji kurang Ikhlas menerimanya…karena berdasarkan (QS. An Nahl 91), (QS. Ash Shaff ayat 2-3), (QS. Al-Israa’ ayat 34), (QS. Al-Maa-idah ayat 1) Serta sesuai janji Allah
“Jika engkau memutuskan harapan saudaramu, maka diakhirat nanti Allah akan memutuskan harapanmu” (HR Bukhari Muslim).
"Orang Muslim itu adalah saudara orang muslim lainnya, dia tidak mendzaliminya dan tidak menelantarkannya" (HR Bukhari Muslim).
Mu’adh ibn Jabal pernah bertanya kepada Nabi Muhammad (S. A. W.), "Ya Rasulullah, apakah kita akan diminta pertangung-jawaban terhadap setiap kata yang kita ucapkan?" Ia (S. A. W.) menjawab, "’Tsakilatuka Ummuka’ (ekspresi bhs. Arab), seseorang akan dilempar (dengan muka di bawah) ke dalam api neraka hanya karena apa yang diucapkannya!" (H. R. Ahmad, Tirmidhi, Ibnu Majah)
Saya sangat yakin Allah itu Maha Adil, karena semua kesalahan hambanya pastinya akan dipertimbangkan sebaik-baiknya dan tidaklah dirugikan meski sebiji zarrah, dan Allah juga Maha Pengampun yang pastinya akan mengampuni hambanya yang sungguh-sungguh mau bertobat. Saya percaya bahwa Allah-lah yang akan selalu menjaga kita. Allah-lah yang lebih tahu mana yang terbaik untuk kita.
Semoga taubatan nashuha saya dan dia diterima oleh ALLAH SWT…InsyaAllah…Amin…
Besar harapan saya agar saya segera diberi Tausyiah dalam urusan ini…
Sesuai janji Allah SWT:
"Mudahkanlah urusan saudaramu, maka Allah akan memudahkan urusanmu.."
Robbana Allahuma robbana… Dzolamna anfusana, Wa illam taghfirlanaa Watarhamna Lanakunanna Minnal Khosiriin.
Jazakumullah Khoirn…
Wa Barokallah Fikum
Hamba Allah yang dikasihi Allah SWT, sungguh berat dan berliku cobaan yang Anda alami, saya turut prihatin dan empati dengan apa yang terjadi. Namun percayalah bahwa Allah tidak akan membebani persoalan di luar kesanggupan hamba-Nya (QS. 2: 286).
Jika kita cermati persoalan yang dihadapi, maka ada tiga pihak yang terlibat di sini dan ketiganya perlu disikapi dengan bijaksana. Pihak pertama adalah isteri Anda yang sekarang ini dengan setia mendampingi Anda. Bersedia menikah dengan awal yang sulit (tanpa restu orang tuanya), bahkan sekarang ini “siap” untuk menerima kehadiran isteri kedua.
Pihak kedua adalah Anda sendiri sebagai seorang suami dan bapak dari tiga anak. Serta pihak ketiga, yakni gadis yang Anda cintai, tetapi kini ragu-ragu untuk menjadi isteri kedua dan pihak keluarganya yang juga tidak setuju jika anaknya menjadi isteri kedua.
Untuk isteri Anda, menurut saya sikap yang perlu diambil adalah tetap menyayangi dan menghormati dia karena pengorbanannya yang begitu besar untuk Anda. Jangan sakiti ia, misalnya dengan menceritakan hubungan Anda yang sudah terlalu jauh dengan gadis tersebut (berzina). Sampai kapan pun jangan pernah menceritakannya walau Anda mungkin diliputi rasa bersalah kelak karena tidak terbuka/ jujur pada isteri Anda.
Sekali Anda cerita, mungkin isteri akan menerimanya tetapi ia akan sakit hati berkepanjangan dan akan sulit hilang, serta rasa hormatnya kepada Anda akan jauh berkurang. Selesaikan masalah Anda sendiri tanpa melibatkan isteri.
Perlakukan hadits yang Anda kutip (dalam bagian pertanyaan di atas) terutama untuk isteri Anda sendiri. "Orang Muslim itu adalah saudara orang muslim lainnya, dia tidak mendzaliminya dan tidak menelantarkannya" (HR Bukhari Muslim).
Untuk diri Anda sendiri, saran saya sebaiknya Anda segera bertaubat dan jika sudah bertaubat jadikan taubat tersebut sebagai taubatan nasuha (taubat yang sesungguhnya) yang tidak akan diulangi lagi pada sisa usia Anda. Sungguh Anda perlu bersyukur kepada Allah karena telah diberi rezeki yang cukup, isteri yang sholih dan mau berkorban. Semestinya rasa syukur tersebut diwujudkan dalam bentuk taat kepada Allah dan cukup dengan cinta isteri Anda.
Namun saya melihat bahwa Anda telah diuji dengan cinta/ketertarikan pada gadis lain, sehingga akhirnya terjerumus pada perbuatan yang dilarang Allah SWT. Untuk menyelesaikan masalah ini ada dua solusi yang bisa dilakukan.
Pertama, menutup ‘petualangan’ Anda dengan taubat nasuha dan merasa cukup dengan cinta isteri. Tinggalkan gadis tersebut selama-lamanya. Apalagi gadis tersebut juga sudah keberatan untuk menjadi isteri kedua Anda.
Tentang janjinya dahulu yang bersedia untuk menjadi isteri Anda, lupakanlah. Mungkin situasinya sudah berbeda antara dulu dan sekarang. Mungkin sekarang ia lebih realistis melihat tantangan dari keluarganya. Bagi Anda juga lupakanlah cinta Anda kepadanya.
Memang ini berat, apalagi disertai rasa bersalah karena telah menzinahinya (ada keinginan untuk bertanggung jawab), tetapi percayalah tidak semua taubat harus disertai dengan pertanggung jawaban kepada orang lain. Apalagi jika orang tersebut keberatan untuk dipertanggung jawabkan oleh Anda. Insya Allah taubat Anda kepada Allah akan diampuni-Nya dan sudah cukup untuk menutup lembaran kelam ini dan menggantikannya dengan lembaran baru yang lebih baik di masa depan.
Solusi kedua, adalah dengan menikahinya. Islam tidak melarang seorang laki-laki untuk berpoligami. Namun, menurut saya solusi ini lebih sulit untuk dilakukan karena ada ketidaksetujuan dari orang tuanya (bapaknya). Walau pun alasan orang tuanya untuk menolak Anda tidak syar’i menurut Islam (hanya karena tidak mau anaknya menjadi isteri kedua), akan tetapi kita harus realistis bahwa masyarakat kita memang masih memandang miring terhadap poligami.
Jika pun Anda memaksakan kehendak (misalnya dengan cara menikahi anaknya melalui wali hakim seperti yang terjadi pada isteri Anda dahulu), namun saya melihat sang gadis juga punya faktor-faktor keberatan tersendiri untuk menikah dengan Anda (mungkin faktor tersebut tidak diungkapkannya kepada Anda, tetapi mungkin karena rasa cintanya kepada Anda tidak seperti dulu lagi).
Belum lagi kalau Anda menikah dengan dia akan ada persoalan baru yang menghadang, yakni mempertemukan dua hati (isteri Anda dan gadis tersebut) agar harmonis hubungannya. Pengalaman dari suami-suami yang sudah berpoligami menunjukkan ternyata tidak mudah untuk mempertemukan isteri-isterinya dalam sebuah harmonisasi hubungan. Apalagi jika salah satunya sudah ada keberatan sejak awal, baik dari dirinya atau pun keluarganya.
Sedang untuk pihak ketiga, yaitu sang gadis beserta keluarganya perlu diselesaikan dengan cara: tanyakan untuk terakhir kalinya apakah sang gadis dan keluarganya masih mau menerima Anda sebagai suaminya. Jika tetap tidak mau, hentikan upaya Anda. Anda sudah cukup berusaha untuk meyakinkan dia dan keluarganya bahwa poligami sah menurut Islam.
Hormati keberatan dari sang gadis atau keluarganya walaupun alasan tersebut kurang logis dan kurang syar’i menurut Islam. Jangan memaksakan kehendak untuk menikahinya atas nama cinta atau atas nama ingin bertanggung jawab.
Saya khawatir niat tersebut akan berbelok menjadi pemuasan hawa nafsu semata yang dikendalikan oleh syetan yang terkutuk. Namun jika sang gadis atau keluarganya menerima Anda dan bisa Anda yakinkan bahwa Anda sungguh-sungguh mencintainya dan siap untuk menjadi suami bagi kedua isteri Anda secara adil, maka sah-sah saja jika Anda berpoligami.
Demikianlah saran saya dan mohon maaf jika saran ini kurang berkenan di hati Anda. Sungguh berbahagialah Anda mempunyai isteri yang setia dan mau melapangkan dada terhadap keinginan-keinginan Anda selama ini. Lepas dari apakah Anda bisa menikahi gadis tersebut atau tidak, saya bertausiyah agar Anda dapat mencintai isteri Anda dengan cinta yang tulus dan memperlakukannya dengan sebaik-baiknya. “Orang yang terbaik di antara kalian adalah orang yang paling baik terhadap isterinya” (Al-Hadits).