Assalamualaikum wbt,
Saya pelajar dari Malaysia ingin bertanya soalan. Saya mempunyai seorang akhwat yang baru saha bernikah beberapa bulan yang lepas. Masalahnya reputasi dakwahnya semakin menurun, keproaktifannya dan sikap mandirinya semakin merosot selepas pernikahannya. Hal ini membuat kami teman sehalaqahnya runsing. Sudah refer pada murobiyah namun akhwat tersebut masih belum dapat mengatasi masalahnya. Dia masih sibuk memikirkan masalah peribadinya. Untuk pengetahuan ustaz, dia bernikah dengan ikhwah yang juga aktif dengan kegiatan dakwah.
Persoalannya, apakah yang boleh kami lakukan sebagai teman sehalaqah untuk membantunya kembali pada zaman kegemilangannya?
Bantuan dari ustaz amat dialu-alukan.
Jazakallahu khairan katsira.
Wassalam.
Wa’alaikum salam wr wb.
Ukhti Syaima’ yang saya hormati, salam saya sebelumnya untuk Ikhwan dan akhwat di Malaysia.
Menikah merupakan salah satu titik kulminasi dari perjalanan dakwah seorang aktivis. Titik kulminasi lainnya adalah memilih pekerjaan dan memilih tempat tinggal. Yang dimaksud titik kulminasi di sini adalah bahwa pilihan dalam tiga hal tersebut (memilih jodoh, memilih pekerjaan, dan memilih tempat tinggal) sangat menentukan kemajuan atau kemunduran aktivitas dakwah seorang da’i.
Meningkat atau menurunnya aktivitas dakwah seorang da’i setelah menikah tergantung dari bagaimana ia memilih pasangannya. Jika pasangannya adalah orang yang mampu memberi motivasi dan paham terhadap dakwah, maka dakwah dari sang da’i tersebut akan meningkat. Sebaliknya jika pasangannya adalah orang yang tidak bisa memberi motivasi dakwah, bahkan “merongrong” pasangannya untuk meninggalkan dakwah, maka dakwah dari aktivis tersebut akan menurun. Apalagi jika sang da’i tersebut tidak mampu membina pasangannya, maka semakin terpuruk ia dari jalan dakwah.
Karena itu, sebelum menikah penting sekali diteliti seberapa jauh tingkat pemahaman calon pasangan kita terhadap dakwah. Penelitian ini bisa dilakukan pada saat ta’aruf (perkenalan) atau dengan mencari informasi sebanyak mungkin melalui orang yang mengenal calon pasangan kita. Sebab salah memilih pasangan dapat membuat kita futur (melemah) dari jalan dakwah.
Cara mengatasi peserta yang menurun aktivitas dakwahnya setelah menikah adalah dengan memberikan motivasi kepadanya untuk bersemangat kembali berdakwah. Katakan kepadanya bahwa menikah bukanlah alasan untuk menurunkan aktivitas dakwah, justru seharusnya menjadi alasan untuk meningkatkan aktivitas dakwah. Karena logikanya, setelah menikah ada partner yang bisa saling membantu untuk memperlancar dakwah.
Hal ini juga berlaku untuk akhwat. Bukan alasan bagi akhwat setelah menikah untuk menurunkan aktivitas dakwahnya dengan alasan prioritasnya sekarang beralih ke keluarga. Yang diperlukan bagi akhwat bukan pengurangan aktivitas dakwah, tapi pengaturan aktivitas dakwah, sehingga keluarga dan dakwah di luar rumah tetap dapat terlayani dengan baik.
Suatu hal yang ironi, jika para akhwat memiliki pandangan harus menurunkan aktivitas dakwahnya di luar rumah setelah menikah. Jika kebanyakan akhwat meninggalkan dakwah di luar rumah karena menikah, lalu siapa yang mendakwahi para wanita? Apakah ikhwannya? Atau diserahkan pada akhwat pemula yang belum nikah? Atau diserahkan pada segelintir ummahat (akhwat yang menikah) yang memiliki kemampuan “super”? Tentu hal ini tidak akan baik bagi perkembangan dakwah. Karena itu, menikah seharusnya justru dijadikan sarana untuk meningkatkan –paling tidak mempertahankan– aktivitas dakwah yang telah dilakukan.
Untuk itu, dibutuhkan kerjasama antara suami isteri dalam memperlancar dakwah masing-masing. Dibutuhkan dari kedua belah pihak kemampuan untuk membimbing dan memberi motivasi kepada pasangannya agar selalu berdakwah. Bukan sebaliknya, saling melemahkan dan menjauhkan pasangannya dari dakwah.
Semoga bermanfaat