Yth Ust H Ahmad Sarwat Lc yang di Muliakan Allah.
Ani anak yang paling bungsu di antara 10 bersaudara (3 laki dan 7 wanita). pada tahun 1986 (umur ani waktu itu 11 thn) sebelum ayahnyaani meninggal beliau bepesan kepada isterinya (ibu ani), pada waktu itu ada satu orang kakak mendengar wasiat itu, "Rumah yang ditempati diberikan ke Ani",
Tahun 2001 tanpa dipaksa ibunya menulis surat di atas segel menguatkan isi wasiat yang diucapkan suaminya sebelum meninggal "Rumah yang ditempati diberikan ke Ani."
Tahun 2007 ibunya meninggal, umur Ani sekarang 38 tahun sudah berkeluarga dan menempati rumah tersebut bersama keluarga. Perlu diketahui bahwawarisan ada-ada rumah selain yang ditempati ani ada juga satu rumahyanglebih besar i yang harganya 6 kali lipat dari harga rumah yang ditempai Ani.
Pertanyaan:
- Bagaimana kedudukan wasiat itu apakah ani berhak untuk mendapatkan rumah yang ditempati sesuai wasiat yang diucapkan orang tuanya, dan ada beberapa saudaranya tidak setuju katanya wasiatnya tidak sah karena tidak dihadiri semua anaknya.
- Apakah betul wasiat kalau tidak dihadiri semua ahli waris, wasiat itu tidak sah?
- Apakah Ani berdosa apabila memaksakan untuk mendapatkan rumah yang ditempati sesuai wasiat tersebut.
Terima kasih atas bantuannya.
Assalamu a’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Tentu keinginan ayah Ani untuk memberikan rumah tempat tinggalnya kepada harus dipahami sebagai bentuk kasih sayang yang tulus antara orang tua dan anak. Apalagi Ani anak bungsu, perempuan lagi.
Biasanya seorang ayah memang punya kasih yang lebih kepada si bungsu puteri. Itu manusiawi sifatnya.
Namun ada hal yang juga perlu diperhatikan, yaitu teknis pemberian rumah itu. Seandainyasi ayah semasa hidupnya menyerahkan rumah itu kepada Ani seratus persen, dengan langsung membalik nama dan meresmikan pemberiannya, tentu tidak akan berdampak secara hukum.
Seorang ayah berhak memberikan hartanya kepada anaknya, berapa pun nilainya. Yang penting ayah masih sehat saat beliau menyerahkan harta itu. Ini namanya hibah atau pemberian. Hibah sangat berbeda dengan wasiat. Wasiat belum merupakan penyerahan sepenuhnya, baru sekedar janji akan memberi. Itu syaratnya kalau si pemilik harta sudah mati.
Maka dalam kasus Ani, karena penyerahan rumah itu lewat wasiat, maka muncul banyak masalah. Masalahnya bukan pengucapan wasiat itu tidak dihadiri oleh ahli waris yang lain. Tetapi secara hukum memang ahli waris tidak berhak mendapat harta lewat cara wasiat. Islam sendiri yang mengharamkannya sejak dini.
Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini:
Tidak ada wasiat buat ahli waris
Hadits ini kita pahami bahwa ahli waris hanya akan mendapat harta dari orang yang mereka warisi lewat sistem pembagian warisan. Dan tidak dibenarkan bila lewat wasiat. Yang boleh menerima harta lewat wasiat hanyalah orang-orang yang bukan termasuk ahli waris. Atau ahli waris yang termahjub secara hirman (100%).
Jalan Tengah
Namun untuk tetap menghormati keinginan sang ayah, sebenarnya masih bisa dicarikan jalan tengah. Apalagi harta peninggalan ayah bukan hanya sebuah rumah yang sedang diributkan.
Caranya dengan membagi warisan sesuai dengan syariah Islam terlebih dahulu. Pembagian ini sebenarnya lebih untuk mendapatkan nilai harta yang menjadi hak masing-masing ahli waris, tidak harus ditetapkan jenis hartanya.
Nanti bila sudah ditemukan dan mulai dibagikan, bisa diupayakan untuk bagian si bungsu adalah rumah yang diwasiatkan. Asalkan nilai rumah itu sepadan dengan nilai hak warisan.
Kalau tidak sepadan, maka harus dengan cara membelinya. Misalnya, hak si bungsu dalam pembagian warisan adalah 200 juta. Sementara nilai taksir rumah itu 300 juta, maka si bungsu harus mengeluarkan 100 juta untuk membayar kelebihan nilai rumah itu kepada ahli waris lainnya.
Wallahu a’lam bishshawab, Wassalamu a’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc