Assalamu’alaikum pak ustadz,
Saya ingin bertanya mengenai warisan untuk isteri kedua.
Bagaimana hak nya untuk isteri kedua yang dinikahi beberapa tahun (misalnya 10 thn) setelah isteri pertama. Apakah isteri kedua ini berhak untuk mendapatkan harta yang didapatkan oleh suami beserta isteri pertama?
Apakah isteri pertama hanya mendapatkan harta selama menjadi isteri kedua saja, dalam kata lain tidak berhak mendapat harta dari suami dan isteri pertama?
Mohon penjelasan ustadz,
Apabila ada seorang wanita, dia mau dijadikan isteri kedua dan dia bersedia diberi belanja bulanan secukupnya, dalam arti kata dia bersedia untuk tidak dibagi harta atau nafkah secara adil. Apakah ini diperbolehkan menurut Al-Qur’an dan hadis?
Atas jawabannya saya ucapkan banyak terimakasih.
Wassalamu’alaikum,
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebelumnya perlu diketahui bahwa harta yang menjadi hak isteri sepenuhnya adalah hak milik isteri. Apakah isteri mendapatkannya sebelum menikah atau pun sesudah menikah, selama harta itu memang miliknya, maka harta itu adalah harta pribadi miliknya. Suaminya tidak punya hak apapun atas harta itu, kecuali isteri memberikannya secara jelas kepada suami.
Sumber harta milik isteri bisa bermacam-macam. Bisa dari warisan orang tuanya, atau dari hasil kerja keringatnya sendiri, bahkan termasuk juga harta dari mahar suaminya dan nafkah yang diberikan oleh suami. Begitu seorang isteri menerima pemberian harta dari suaminya, maka harta itu menjadi miliknya.
Hal yang sama berlaku juga padaharta suami, di manaharta itu milik suami dan tidak ada istilah harta milik bersama dalam sebuah rumah tangga. Semua penghasilan suami adalah milik suami, baik dari gaji, honor, bonus, hadiah, warisan atau pun keuntungan usaha. Selama harta itu milik suami, maka harta itu bukan milik isteri.
Harta suami akan menjadi milik isteri bila suami memberikan dan nilainya sesuai dengan nilai yang diberikan. Dengan demikian, harus ada serah terima harta dari suami kepada isteri. Mudahnya, harta suami tidak secara otomatis menjadi harta milik isteri juga.
Kalau suami memberi harta kepada isterinya, maka harta itu barulah menjadi harta milik isteri. Kalau tidak diberikan, maka harta itu bukan milik isteri.
Suami Wajib Memberi Nafkah kepada Isteri
Di balik dari kepemilikan masing-masing, ada satu hukum dasar yang pasti, yaitu bahwa suami punya kewajiban untuk memberikan nafkah kepada isteri. Dan sebelum nafkah, juga ada kewajiban untuk memberi harta lain yaitu mahar. Besarnya, nilainya, frekuensinya dan jadwal penyerahannya tidak diatur, diserahkan kepada kesepakatan masing-masing pihak.
Di luar dari nafkah, tidak ada ketentuan harta gono gini. Yang ada adalah harta menjadi milik masing-masing sesuai siapa yang mendapatkannya.
Misalnya, suami isteri patungan membeli rumah dari gaji masing-masing. Maka rumah yang mereka tempati itu memang milik mereka berdua, dengan nilai yang sepadan dengan saham masing-masing. Kalau terjdi perceraian, maka rumah itu dibagi dua sesuai dengan besar saham mereka.
Tetapi kalau rumah itu sepenuhnya dibangun dari harta suami, dan suami tidak pernah memberikannya kepada isteri, kecuali hanya memberi hak untuk sekedar tinggal dan menempati, maka rumah itu sepenuhnya milik suami. Seandainya terjadi perceraian, isteri harus angkat kaki dari rumah itu. Tidak ada cerita rumah harus dibagi dua.
Demikian pula kalau rumah itu dibangun dari harta isteri, sedangkan suami hanya sekedar menempati. Begitu terjadi perceraian, rumah itu tetap sepenuhnya milik isteri. Suami harus angkat koper dari rumah itu.
Tidak ada istilah harta suami harus dibelah dua untuk diberikan kepada isteri. Sistem hukum itu adalah hukum barat sekuler yang asing dan tidak dikenal di dalam agama Islam.
Warisan untuk Isteri
Al-Quran telah menetapkan bahwa jatah warisan untuk isteri adalah 1/8 atau 1/4 dari total harta suami, ketika seorang suami meninggal dunia. Berapa pun jumlah isterinya, tetapi yang jelas jatahnya memang sebesar itu.
Misalnya seorang suami meninggal dunia dan karena beliau punya anak keturuan waris, isterinya yang ada dua itu mendapat 1/8. Jadi 1/8 itu dibagi dua sama besar. Kalau isterinya ada tiga, maka 1/8 dibagi tiga. Dan kalau isterinya ada empat orang, maka jatah 1/8 itu dibagi empat sama besar.
Sama sekali tidak ada perbedaan dalam pembagian yang sama besar. Isteri pertama dengan isteri keempat, tetap dapat bagian yang sama besar.
Juga tidak dibedakan mana isteri yang punya anak dan mana isteri yang tidak punya anak. Tidak beda antara isteri yang dinikahi ketika ketika suami masih muda, miskin dan perjaka dengan isteri yang dinikahi ketika suami sudah tua, kaya dan punya isteri tiga.
Bahkan tidak dibedakan apakah sudah puluhan tahundinikahi ataukah baru dua menit dinikahi lalu suami meninggal dunia. Semuanya akan dapat bagian yang sama besar sebagai isteri. Yang penting posisinya harussebagai isteri yang sah secara hukum agama Islam, belum dicerai atau dikhulu’.
Isteri Pertama Punya Saham
Namun akan lain ceritanya bila di dalam harta suami ada hak milik isteri pertama. Katakanlah isteri pertama selama ini punya jasa dalam usaha yang dibagun bersama. Mungkin jasanya sebagai pemodal (pemilik saham), atau sebagai pekerja, atau apa saja.
Maka tentu saja ada hak di dalam harta milik suami untuk isteri pertama itu, bukan sebagai isteri tetapi sebagai rekan bisnis atau sebagai pegawai. Wajar kalau harus diperhitungkan, jangan mentang-mentang isteri, lalu dianggap buruh gratisan.
Dan sebagai isteri, ketika suami punya usaha di mana isteri diminta untuk ikut bergabung membantu, tentu saja harus ada hitung-hitugannya. Apakah sebagai pegawai, penasehat, konselor, penyandang sebagian dana, atau mungkin sebagai pembantu dan office boy. Semua harus diperhitungkan dalam bentuk kesepakatan.
Agar ketika nanti terjadi perceraian atau kematian, ada hitungannya yang sesuai dengan hak masing-masing.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc