Ass. Wr. Wb.
Ustadz, kita dapat menemui hukum mawaris dalam Al-Qur’an secara komplit dan jelas sekali. Namun pelaksanaannya mudah-mudah sulit, atau sulit-sulit mudah. Hal ini dikarenakan berkaitan erat dengan sistem kepemilikan (Hak milik) barang, hak dan tanggung jawab dalam keluarga (mulai dari keluarga inti, sampai ke anak cucu, keponakan, dan sebagainya, atau keluarga besar), sampai ke tanggung jawab negara terhadap warganya.
Yang ingin saya tanyakan adalah adakah kitab atau buku yang menguraikan secara jelas sistem keluarga dalam Islam. Sehingga, bila ada kasus, kita dengan mudah dapat merujuknya.
Contoh Kasus:
Seorang suami melarang isterinya untuk bekerja. setelah nikah beberapa tahun, karena suatu sebab, suami menceraikan isterinya. Otomatis si isteri tidak punya apa-apa. Untuk mencari uang sendiri, wanita tersebut mengalami kesusahan. Nah, siapa yang harus bertanggung jawab terhadap wanita tersebut, jika dia tidak punya orang tua lagi, atau orang tuanya sudah sangat tua dan tidak mampu menafkai wanita tersebut?
Ini hanya contoh kecil kasus.
Terima kasih Ustadz
Wass. Wr. Wb.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Di dalam masyarakat Islam yang ideal, seharusnya ada baitulmal. Nah para janda baik yang ditinggal mati oleh suaminya atau yang diceraikan, maka baitulmal akan menjadi penanggung nafkahnya.
Alternatif lain adalah dari suaminya sendiri dari sejak masih berstatus suami isteri.
Barulah alternatif ketiga, wanita itu boleh bekerja di luar rumah. Setidaknya untuk menafkahi dirinya sendiri. Bila tidak ada baitulmal atau uang dari suami.
Wanita Bekerja
Sebenarnya ketika seorang wanita bekerja di luar rumah dan mendapat gaji, wanita itu sedang kehilangan hak istimewanya sebagai wanita mulia dan terhormat.
Lho kok begitu?
Karena sebenarnya dari sisi harta dan kepemilikannya, seorang wanita punya hak istimewa dalam Islam. Seorang wanita tidak pernah disunnahkan, apalagi diwajibkan, untuk mencari nafkah untuk dirinya sendiri. Kalau dia masih punya ayah, maka nafkahnya ditanggung oleh ayahnya. Dan kalau dia sudah bersuami, maka nafkahnya ditanggung oleh suaminya.
Konsep Nafkah
Nafkah adalah pemberian harta dari suami kepada isteri, di mana harta itu bukan milik bersama melainkan harta itu kemudian menjadi milik isteri.
Namun yang selama ini lebih sering terjadi adalah seorang suami menyerahkan gajinya kepada isteri untuk keperluan hidup. Di mana gaji itu seolah-olah bukan milik isteri, melainkan milik berdua. Sehingga isteri tidak mendapat apa-apa dari gaji suami.
Seharusnya, isteri dapat jatah khusus untuk dirinya, entah untuk ditabung atau dibelanjakan, di mana dia punya account khusus yang wajib terus dibayarkan oleh suami, di luar semua kepentingan rumah tangga. Sebab di luar nafkah isteri, suami tetap wajib membiayai semua keperluan hidup seperti makanan, pakaian, rumah dan keperluan rumah tangga yang lain.
Intinya, seorang isteri harus mendapat ‘gaji’ tersendiri, di luar kebutuhan rumah tangga. Dan kalau isteri pandai menabung, maka dia akan punya tabungan yang utuh, sebab dia tidak harus mengambil tabungannya untuk membiayai keperluannya. Mau makan, sudah ada yang wajib memberinya makan. Mau pakaian, sudah ada yang wajib memberinya pakaian. Mau tempat tinggal, juga sudah ada yang wajib memberinya tempat tinggal. Sementara ‘gaji’ nya utuh sebagai isteri.
Dan pemberian nafkah ini didasarkan pada ayat Al-Quran Al-Kariem.
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. An-Nisa’: 34)
Mahar
Selain ada nafkah juga ada mahar. Boleh dibilang kalau hal itu dilakukan sebelum akad nikah atau menuju ke arah pernikahan, namanya mahar. Dan bila setelah nikah, namanya nafkah.
Tapi kedua-duanya jelas sekali, sepenuhnya nafkah itu adalah harta dari suami untuk diberikan sepenuhnya kepada isteri. Jadi begitu nafkah diberikan, harta itu kemudian 100% milik isteri.
Lucunya, kebiasaan di negeri kita, para wanita hanya diberi mahar berupa seperangkat alat shalat yang nilainya tidak lebih dari 100 ribu perak. Padahal mahar ini sebenarnya bisa berfungsi besar, yaitu sebagai ‘uang jaminan’ buat isteri dari suami, untuk serius menjalankan rumah tangga.
Kira-kita semacam DP atau uang muka, atau uang deposit. Seperti ketika anda mau menabung di bank, setidaknya anda harus punya sejumlah uang dulu misalnya 1 juta. Hanya bedanya, mahar ini sudah menjadi hak milik isteri, tidak akan dikembalikan.
Maka secara tradisi, nilainya cukup besar. Dan karena saking besarnya, sehinga banyak orang yang kemudian berlomba-lomba main besar-besaran dalam maharnya. Untuk itu Islam mengajurkan agar jangan terlalu mahal. Tetapi juga bukan berarti harus selalu murah sekali, seperti sendal jepit atau cincin dari besi.
Kasus wanita yang dinikahkan hanya dengan sendal, cincin besi atau bacaan Quran sebenarnya hanya pengecualian saja. Intinya, mahalnya mahar bukan hal yang mutlak. Dansama sekali tidak ada ketentuan bahwa mahalnya mahar menjadi tidak boleh.
Maka untuk mencari titik keseimbangan, perlu disekapati nilai mahar di awal sebelum pernikahan. Intinya, seandainya suami tiba-tiba menceraikan, maka isteri tidak akan kelabakan di PHK. Sebab di tangannya sudah ada uang jaminan yang cukup untuk membiayai hidupnya kemudian.
Karena maharnya berupa rumah kontrakan 20 pintu, atau angkot 10 unit, atau saham di perusahaan, dan seterusnya. Dari mahar itu saja, seorang wanita sudah bisa hidup terus.
Dan mahar itu tidak mengapa kalau mahal, sebab dalam Islam, mahar itu bisa dihutang. Kalau suami keberatan untuk membayar mahar sekaligus, maka dia boleh membayarnya dengan sistem kredit. Seperti mengkredit motor, mobil, atau rumah.
Dan yang menarik, seorang suami tidak akan pernah berpikir main menceraikan isterinya begitu saja, kalau ketika bayar maharnya saja sudah sedemikian berat. Pastilah suami akan berpikir 1000 kali sebelum menceraikan isterinya. Sebab berarti dia akan kehilangan haknya. Hitungannya, dia rugi besar.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc