Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Sebuah keluarga terdiri dari suami, isteri, dua orang anak lelaki dan seorang anak perempuan. Sejak pernikahan tahun 1954 telah melakukan pemisahan harta perolehan. Pendapatan gaji suami seluruhnya dikelola oleh isterinya, sedangkan suami sambil bekerja mencari tambahan pemasukan melalui bisnis yang tidak mengganggu pekerjaan utamanya.
Pada tahun 2005, isterinya wafat dan dana kelolaan ex gaji suaminya ternyata cukup besar. Dua bulan setelah wafat perhiasan emas dan berlian serta pakaian (kecuali perabot rumah tanggga dan dapur) diwariskan sesuai dengan ketentuan syariat Islam (QS. An-Nisa: 12), sedangkan deposito digunakan untuk melunasi hutang bank bagi anak lelaki tertua, sedangkan uang kas dan tabungan dimanfaatkan untuk biaya penguburan, tahlil, dan kekurangan zakat maal dana kelolaan isterinya.
Kelebihan harta kelolaan suami diinvestasikan pada harta tetap, penyertaan modal pada perusahaan serta modal usaha jual beli saham, dan alhamdulilah rizki pinjaman dari Allah SWT tersebut dimanfaatkan untuk:
1. Membantu kesulitan dana anak-anaknya setelah dewasa dan berumah tangga, baik untuk modal usaha, kekurangan beli harta tetap. dll. Namun karena bantuan terhadap setiap anak berbeda, maka untuk jumlah sebesar Rp 762 juta disepakati bersama dan dianggap sebagai uang muka warisan jika ayah mereka wafat.
2. Menghibahkan tanah/rumah yang sejak pembelian telah menggunakan nama anak-anak, juga menghibahkan modal pada perusahaan serta uang muka nadzar untuk biaya haji. Kepada mereka telah dihibahkan harta yang nilainya sama, baik kepada anak laki-laki atau wanita =3 x Rp 415 juta = Rp 1.245 juta.
Pola talangan/ hibah tersebut jauh berbeda dengan “ayah atau bunda” suami ataupun isteri yang tidak membagikan waris selama salah seorang ayah atau bundanya masih hidup sebagai penghargaan putra-putri kepada orang tuanya. Bahkan putra-putrinya dengan mengharapkan ridla Allah SWT rela menghajikan ibu-ibu mereka.
3. Penggunaan nama dalam harta tetap di samping atas nama suami sendiri, juga digunakan nama isteri dan ketiga anaknya, merupakan bentuk kasih sayangnya apabila ia wafat.
Tapi dengan mengharapkan ridla Allah SWT, beberapa di antaranya dihibahkan kepada putra-putrinya setelah ibunya wafat (butir ke-2), sedangkan aset yang menggunakan nama isterinya tetap menjadi milik suami.
Mengingat suami yang berumur 73 tahun masih memerlukan pendamping, atas persetujuan putra-putrinya suami menikah kembali. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, dibuat surat pernyataan oleh suami yang disetujui oleh putra-putri dan pasangannya, bahwa ahli waris yang berhak mewarisi hartanya bila suami wafat adalah dua anak lelaki, satu anak perempuan, dan isteri yang baru dinikahinya tahun 2006. Juga dicantumkan aset yang menggunakan nama suami maupun nama isterinya yang telah wafat yang akan diwariskan.
Pertanyaan:
1. Karena suami membutuhkan fresh money, apakah hasil penjualan aset suami yang menggunakan nama almh. isterinya perlu diwariskan kepada anak-anaknya?
2. Pemakaian aset suami yang menggunakan nama almh. isterinya apakah harus minta izin kepada anak-anaknya?
3. Perilaku anak yang bagaimana yang dimungkinkan seorang ayah atau ibu meruju’ di dalam hibah sebagaimana dalil dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar dengan perawi Abu Dawud, An- Nasai, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi (Fikih Sunnah bab Hibah/ruju’ dalam hibah XIV. 10 hal 182).
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Hamba ALLAH
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Pertanyaan anda lumayan panjang, agar tidak terlalu membingungkan, kami berupaya untuk menjawab apa yang menjadi point pertanyaanya saja. Semoga bisa membantu.
1. Warisan
Untuk jawaban masalah yang pertama, kami katakan bahwa sebenarnya pembagian warisan itu hanya dilakukan manakala orang yang hartanya mau dibagi waris sudah meninggal. Di dalam syariat Islam tidak dikenal bagi-bagi waris sebelum yang bersangkutan meninggal.
Bagi-bagi harta sebelum meninggal ada dua kemungkinan. Pertama, harta itu diberikan begitu saja, namanya hibah. Kedua, harta itu diwasiatkan, namanya wasiat. Tapi harta wasiat itu tidak berlaku buat ahli waris, maka yang berhak menerima wasiat hanyalah orang-orang yang bukan ahli waris. Dan disyaratkan tidak boleh lebih besar dari 1/3 dari total harta yang dimiliki.
Sedangkan yang namanya hibah adalah pemberian begitu saja, boleh kepada ahli waris dan boleh juga kepada selain ahli waris. Tidak ada ketentuan berapa besarnya, semua terserat kepada yang mau memberi.
Dan sebenarnya seorang anak yang menjadi ahli waris, apabila telah menerima hibah, tetap saja nanti berhak untuk mendapatkan harta warisan. Tapi yang harus dipastikan, harta warisan tidak boleh dibagi-bagi selama yang punya harta masih hidup.
Dalam salah satu syarat pembagian warisan, disebutkan yang paling pokok adalah wafatnya waarits. Waartis adalah orang yang hartanya akan dibagi-bagikan kepada para ahli waris. Bila orang tersebut belum meninggal, tidak pernah ada cerita bagi-bagi harta warisan.
Dan kalau dipaksanakan, sebenarnya para ahli waris justru malah tidak berhak mendapat harta warisan. Sebagaimana dalam kaidah bagi waris:
Siapa yang terburu-buru untuk mendapatkan suatu harta (sebelum waktunya), maka dia dihukum dengan cara diharamkan dari menerima harta itu.
Maka seorang anak yang membunuh ayahnya karena ingin mendapat harta warisan, padahal ayahnya masih hidup segar bugar, akan kehilangan haknya dari menerima harta warisan dari ayahnya.
Namun meski tidak sampai membunuh ayahnya sendiri, tetap saja tindakan memaksa untuk membagi warisan adalah tindakan durhaka dan sangat tidak tahu sopan santun.
Seharusnya seorang anak membantu ayahnya, karena ayahnya telah menjadi penyebab keberadaan dirinya di muka bumi. Apalagi bila kehidupan sang anak telah sukses. Amat sangat wajar bila anak-anak membantu orang tuanya, entah dengan cara memberi uang, rumah, mobil, atau dibiayai naik haji. Bkan sebaliknya, malah terus menerus menuntut harta yang tidak ada habisnya.
2. Penggunaan Asset
Seseorang yang memiliki harta secara mutlaq (al-milkut-taam), maka dia punya kuasa penuh untuk membelanjakan hartanya itu. Sama sekali tidak dibutuhkan izin dari siapa pun, apalagi kepada para calon ahli warisnya.
Adapun tentang asset itu di atas-namakan orang lain, entah isterinya atau siapa pun, kembali kepada kesepakatan. Kalau sekedar pinjam nama, sementara kedua belah pihak sama-sama sepakat bahwa harta itu tetap milik yang empunya, maka hukumnya kembali sesuai dengan realita yang ada.
Kalau seorang suami memiliki aset tapi di atas-namakan isterinya, sementara suami isteri itu sepakat bahwa harta itu tetap milik suami, maka hukumnya jelas dan tegas, bahwa harta itu milik suami, bukan milik isteri.
Kalau pun nama isteri dipakai, bila si isteri mau dan setuju, tentu masalahnya sudah selesai.
Sedangkan anak-anak sebagai calon ahli waris, tentu tidak bisa menuntut, karena harta itu masih merupakan harta ayah mereka. Dan sang ayah, sama sekali tidak memerlukan izin dari anak-anaknya untuk memanfaatkan harta yang 100% milik dirinya sendiri.
Bahkan sebaliknya, harta anak merupakan harta ayah juga. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
أنت و مالك لآبيك
Kamu dan hartamu adalah milik ayahmu.
Jadi yang berhak justru ayah, bukananak. Seorang ayah malahsangat berhak menggunakan harta anak-anaknya, meski harta itu bukan hasil pemberiannya, tapi hasil jerih payah dan hasil keringat si anak. Sebab anak itu berasal dari ayah. Maka harta anak-anak merupakan harta ayah juga.
Tidak ada cerita seorang ayah harus minta izin kepada anak-anaknya untuk menggunakan harta yang merupakan miliknya pribadi.
3. Meruju’ Hibah
Barangkali yang dimaksud dengan istilah merujuk hibah adalah seseorang yang telah terlanjur menghibahkan hartanya kepada seseorang lalu tiba-tiba membatalkan hibahnya dan mengambil kembali hartanya.
Dalam hal ini, secara umum memang hukumnya tidak boleh, karena seperti orang yang menelan kembali ludahnya. Dan hal itu disebutkan di dalam hadits Rasulullah SAW:
Perumpamaan orang yang memberi sedekah lalu mengambil kembali sedekahnya itu seperti seekor anjing yang sedang makan, ketika kenyang dia muntahkan isi perutnya lalu dimakannya kembali muntahnya itu." (HR Abu Daud, Ibnu MAjah, An-Nasai dan Atitirmiziy)
Namun dalam kasus tertentu, harta yang sudah dihibahkan itu bisa saja diambil kembali dan tidak termasuk seperti hadits di atas. Salah satu pengecualian itu adalah hibah dari seorang ayah kepada anaknya. Karena anak adalah merupakan harta si ayah juga, maka bila ayah pernah menghibahkan sesuatu kepada anaknya, boleh bagi ayah untuk mengambil kembali hibah itu sesukanya, kapa saja dia mau.
Dalilnya adalah sabda nabi SAW berikut ini:
Dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak halal bagi seseorang memberi suatu pemberian atau menghibahkan sebuah harta hibah, lalu dia mengambilnya kembali, kecuali seorang ayah yang mengambil kembali hibah dari anaknya". (HR Ashabussunan)
Selain itu, secara logika juga telah jelas bahwa seorang anak tidak akan lahir ke muka bumi tanpa keberadaan seorang ayah. Maka dalam kaidah disebutkan bahwa seorang anak adalah milik ayahnya. Begitu juga harta seorang anak sebenarnya termasuk harta milik orang tuanya. Maka harta seorang anak halal bagi ayahnya.
Di dalam sebuah hadits disebutkan:
Dirimu dan harta yang kamu miliki adalah hak milik ayahmu.
Dengan demikian, seorang ayah bukan hanya berhak mengambil kembali hibah yang telah diberikan kepada anaknya, bahkan ayah berhak untuk mengambil harta milik anaknya sendiri, karena pada hakekatnya harta anak adalah harta milik orang tuanya.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc