Assalamualaikum,
Pak Ustadz, singkat saja pertanyaan saya, bagaimana pembagian waris apabila seorang ayah meninggal dunia meninggalkan seorang isteri dan anak-anak yang masih kecil-kecil (belum akil baligh)?
1. Apakah harta waris tetap dibagi sesuai syariah di mana anak-anak mendapat bagian masing-masing sesuai haknya menurut syariah atau semuanya jatuh ke ibunya (isteri almarhum)?
2. Kalau iya, apakah boleh harta warisan yang menjadi hak anak-anaknya dipakai oleh ibunya untuk membesarkan dan membiayai sekolah anak-anaknya tersebut hingga habis pada saat anaknya dewasa, atau yang dibolehkan hanya harta waris yang menjadi hak ibunya saja, sedang harta waris hak anak-anaknya harus tetap disimpan hingga anak-anaknya dewasa?
Terima kasih,
Wassalam,
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Jawaban soal pertama adalah bahwa setiap ahli waris harus dipastikan menerima harta dari muwarrits-nya. Muwarrits adalah seseorang yang wafat dengan meninggalkan harta (mauruts)yang dibagikan kepada ahli waris (waarits).
Ibu mendapat bagian sebesar 1/8 dari total nilai warisan, sisanya yang 7/8 menjadi hak anak-anak almarhum. Meski masih kecil-kecil, namun semua harus dipastikan mendapatkan haknya.
Tidak mengapa bila ibunya menyimpan uang itu untuk diberikan manakala anak-anak besar nanti. Lalu untuk kehidupan sehari-hari, si ibu berinfaq untuk anak-anaknya sendiri.
Sebenarnya si ibu sangat dibolehkan untuk menggunakan harta milik anak-anaknya untuk biaya mereka. Bukan menggunakan harta pribadi milik ibu. Sebab seorang ibu pada dasarnya tidak punya kewajiban untuk menafkahi anaknya. Berbeda dengan seorang ayah yang memang berkewajiban menafkahi.
Bila seorang ayah meninggal dunia dengan meninggalkan warisan untuk anak-anaknya, maka harta milik anak itulah yang sesungguhnya digunakan untuk biaya anak itu. Katakanlah bila anak itu dipelihara oleh orang lain, maka orang lain itu boleh menggunakan harta milik si anak yatim untuk biaya kehidupan anak-anak itu. Bahkan orang lain itu sendiri boleh numpang hidup dari rezeki anak yatim, sekiranya dia memang tidak punya penghasilan sendiri, namun dia bekerja sebaik-baiknya untuk mengurus dan menjaga serta mendewasakan mereka.
Bolehlah buat anak yatim ini mengambil harta peninggalan milik anak yaim itu dengan kadar yang wajar. Sebagaimana firman Allah SWT:
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang baik, hingga sampai ia dewasa. (QS. Al-An’am: 152)
Maksud dengan cara yang baik itu adalah sesuai dengan keperluan dan kebutuhannya, tidak dipakai dengan cara yang boros untuk kepentingan diri sendiri. Dia boleh mengambil harta anak yatim yang dipeliharanya, sekedarnya agar bisa menyambung hidup. Bukan untuk bersenang-senang, karena sudah ada ancaman yang berat.
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala. (QS. An-Nisa’: 10)
Namun bila yang memelihara anak yatim itu ibu mereka sendiri, tentu lebih baik. Karena ada kasih sayang seorang ibu yang tidak tergantikan. Dan biasanya, seorang ibu akan dengan sangat tulusnya memelihara anak-anak itu hingga besar, dengan hasil jerih payah keringatnya sendiri, tidak mau mengusik-usik harta milik anaknya sendiri yang berupa peninggalan dari ayahnya.
Begitlah sifat seorang ibu, dari jiwanya lahir sifat yang seperti sangat mulia. Padahal dia berhak menggunakan harta warisan milik anaknya untuk kepentingan anak itu, bahkan dia berhak mendapatkan ‘upah’ atas jasanya memelihara dan membesarkan anak-anaknya.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.