Assalamu ‘alaikum wr wb
Saya anak ke-9 dari 10 bersaudara dan anak laki-laki ke-3 dari 4 laki-laki bersaudara. Kedua orang tua kami sudah meninggal.
Namun semasa hidup mereka telah mewasiatkan tanah untuk dibagi rata kepada kami, bahkan telah ditentukan siapa mendapatkan bagian tanah yang mana. Tiga saudara di antara kami telah mendirikan bangunan di atas tanah bagiannya semasa orang tua kami masih hidup.
Apakah aturan seperti itu dibenarkan menurut agama?
Wassalamu ‘alaikum wr wb
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sesuai dengan judul pertanyaan Anda, masalah ini memang akan menjadi jelas manakala ditetapkan sebagai hibah atau waris.
Kalau ingin agar pembagian seperti yang Anda sebutkan itu dihalalkan agama dan dibenarkan syariat, sebaiknya diresmikan sebagai hibah dan bukan pembagian waris.
Mengapa harus dijadikan hibah?
Pertama, karena dalam hukum waris, anak laki-laki punya hak 2 kali lipat lebih besar dari hak anak perempuan. Kalau anak perempuan mendapat warisan senilai 1 Milyar misalnya, maka harus dipastikan bahwa anak laki-laki mendapat 2 Milyar.
Hal ini telah menjadi ketetapan samawi di mana Allah SWT langsung turun tangan dalam hal ini. Ketentuan itu sudah harga mati dari langit. Melawan atau coba-coba berani tidak menerapkannya, maka adzab Allah SWT telah menanti. Baik berupa dicabutnya keberkahan harta di dunia ataupun berupa siksaan adzab kubur yang pedih dan menyakitkan.
Saking seriusnya Allah SWT dalam ketetapannya ini, sampai-sampai ungkapannya di dalam Al-Quran pun lain dari biasanya. Allah membuka ayat ini dengan ungkapan bahwa Allah SWT telah berwashiyat.
Allah mewashiyatkan bagimu tentang (pembagian waris) anak-anakmu, yaitu bagian anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. (QS. An-Nisa’: 11)
Dan ayat ini kemudian ditutup dengan penguncian mati yang kita tidak bisa bergerak lagi.
Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa’: 11)
Berarti urusan ini bukan perkara main-main. Tidak ada kompromi lagi bahwa anak laki-laki harus mendapat jatah 2 kali lipat dari jatah yang diterima anak perempuan, kalau mau selamat dunia dan akhirat.
Agar orang tua dan anak-anak selamat dari adzab Allah SWT, hindarilah penerapan masalah ini sebagai pembagian warisan. Formulanya diganti saja menjadi pemberian hibah, agar tidak terkena pasal-pasal dan ayat-ayat maut.
Kedua, selama orang yang hartanya mau dibagi waris masih hidup, tidak ada istilah bagi-bagi warisan. Dalam hukum syariah, yang namanya warisan hanya dibagi-bagi manakala ada seseorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta yang punya nilai nominal. Dan dibagi kepada ahli warisnya dengan ketentuan pembagian langsung dari langit. Bukan hasil rekayasa dan pendekatan logika manusia.
Agama Islam tidak pernah mengenal seseorang yang masih hidup segar bugar membagi-bagi hartanya kepada ahli warisnya. Karena syarat terjadinya waris yang pertama kali adalah meninggalnya seseorang yang hartanya akan dibagi waris.
Kalau ada orang masih hidup lalu membagi-bagi hartanya, yang lebih tepat adalah hibah. Hibah adalah seseorang memberikan hartanya kepada pihak lain, baik ahli waris atau pun yang bukan ahli waris, berapa pun nilainya.
Tetapi sebagai konsekuensinya, pada saat pembagian itu pula harta tersebut sudah berpindah pemilik. Harta itu begitu dibagikan sudah bukan lagi milik yang memberi hibah. Tetapi secara sah dan resmi telah menjadi milik orang yang diberi hibah.
Untuk kondisi di zaman sekarang ini, agar sebuah hibah menjadi sah dan tidak berpotensi menimbulkan konflik di masa mendatang, maka haruslah dipenuhi syarat-syarat berikut:
1. Surat Pernyataan Hibah
Orang yang akan memberikan hartanya kepada orang lain sebagai hibah harus menandatangani surat pernyataan di atas kertas bermaterai. Di atas pernyataan itu dijelaskan jenis hartanya, nilainya, kepada siapa ditujukan pemberian itu.
Selain itu, pernyataan itu harus mendapatkan persaksian dari pihak lain yang dipercaya. Dan terutama sekali juga harus ditandatangani oleh para calon ahli waris si pemberi hibah. Agar di kemudian hari tidak muncul masalah.
Jadi agar hibah tidak berpotensi konflik, surat pernyataan harus dibuat secara sah dan resmi.
2. Pengurusan Surat Kepemilikan
Setelah surat pernyataan hibah ditandatangani oleh semua pihak yang terkait, yang harus dilengkapi adalah pengurusan surat bukti kepemilikan atas suatu harta.
Misalnya, ketika seorang ayah menghibahkan rumah kepada anaknya, maka hibah itu baru sah dan resmi secara hukum manakala surat-surat kepemilikan atas rumah itu sudah diselesaikan. Misalnya, sertifikat tanah itu sudah di balik-nama kepada anaknya.
Dan bila yang dihibahkan berupa kendaraan bermotor, maka STNK dan BPKB harus di balik nama pada saat penghibahan itu.
3. Penyerahan Harta
Bila harta itu berupa uang tunai, maka baru bisa disebut hibah kalau memang sudah diserahkan secara tunai. Bukan sekedar baru dijanjikan.
Sebagai pihak yang diberikan hibah, sebaiknya jangan merasa sudah memiliki harta kalau harta itu secara pisik belum diserahkan. Kalau baru sekedar omongan, janji, keinginan, niat dan sejenisnya, harus disadari bahwa semau itu belum merupakan pemindahan kepemilikan.
Bila Baru Dijanjikan Tapi Penyerahannya Setelah Meninggal
Ada sebagian orang yang menjanjikan bila nanti dirinya meninggal dunia, maka harta-harta yang dimilikinya akan diserahkan kepada si fulan dan si fulan. Inilah yang disebut dengan istilah washiyat.
Namun agar washiyat ini menjadi sah dan resmi secara hukum, ada syarat dan ketentuannya.
1. Ahli Waris Tidak Boleh Jadi Penerima Washiyah
Syariat Islam telah mengharamkan para ahli waris menerima washiyat dari orang yang mereka warisi. Hal itu ditegaskan oleh dalil-dalil syar’i bahwa:
لا وصية لوارث
Tidak ada washiyat bagi ahli waris
Mengapa ahli waris tidak berhak untuk menerima harta lewat washiyat?
Jawabnya karena para ahli waris telah menerima harta lewat warisan. Dan harta dari warisan sudah menjamin bahwa ahli waris itu menerima harta. Dia tidak perlu lagi menerima harta lewat washiyat.
2. Nilai Washiyat Maksimal 1/3 Total Nilai Harta
Haram bagi seseorang untuk berwashiyat dengan seluruh hartanya. Dan hal itu terjadi di masa Rasulullah SAW. Seorang shahabat nabi yang bernama Sa’ad bin Abi Waqqash berniat untuk mewashiyatkan 2/3 hartanya. Maksudnya bila dirinya nanti meninggal dunia, 2/3 dari harta yang dimilikinya akan diserahkan ke baitulmal.
Mendengar niatnya, Rasulullah SAW melarangnya. Sehingga Sa’ad mengurangi jumlah nilai yang akan diinfaqkan menjadi separuhnya. Namun lagi-lagi Rasululullah SAW melarangnya. Terakhir, shahabat yang dermawan ini mengatakan kalau begitu bagaimana dengan 1/3 nya?
Rasulullah SAW kemudian berkata, "Ya, sepertiga saja. Dan sepertiga itu cukup besar (banyak)."
Maka para fuqaha dengan berlandaskan kepada dalil ini menyimpulkan bahwa nilai washiyat itu maksimal adalah 1/3 dari nilai total harta yang dimiliki. Sisanya yang 2/3 (duapertiga) menjadi hak para ahli waris.
Seperti juga dalam hal hibah, maka washiyat ini baru sah dan resmi serta berkekuatan hukum manakala syaratnya sudah terpenuhi. Selain itu juga untuk menghindari konflik di kemudian hari antara penerima washiyat dan ahli waris.
Semua berkas mulai dari pernyataan penyerahan harta sebagai washiyat, lembar-lembar persetujuan dari pada ahli waris, dan berkas-berkas lainnya, sebaiknya disahkan oleh notaris. Agar dikemudian hari niat baik almarhum tidak malah jadi bumerang, karena para ahli warisnya saling berbunuhan meributkan harta.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc