Seringkali gerakan dakwah melahirkan pemimpin ala/model ‘Syekh’. Seakan dia adalah pahlawan malaikat yang legendaris; memiliki kemampuan membuka tabir (ghaib), kekuatan superman, mengetahui segala sesuatu dan menguasai segala sesuatu dan … (ini dia) memimpin jamaah/organisasi seumur hidup …
Nasib dan masa depan gerakan dakwah sangat terikat dengan model pemimpin seumur hidup seperti ini … Sebab itu, tidak mungkin menyingkirkannya dari kursi kepemimpinan … Semua aktivitas dan tindak tanduknya sangat menentukan warna dan arah organisasi, apapun bentuknya … Jika keluar negeri, ia tetap mengendalikan organisasinya dari jauh …
Dalam pertemuan-pertemuan, pemimpin model seperti ini selalu mendominasi jalannya acara. Ia bicara kapan dia mau … di mana ia mau dan sebanyak apa yang dia mau … serta judul apa yang dia inginkan … Padahal dia sama sekali tidak mempersiapkan diri sebelumnya … Tidak pula menyusun pikiran-pikiran atau cata-catatannya. Dia memiliki hak untuk menguasai pembicaraan dan semua hadirin harus menampakkan penghormatan padanya dan mendahulukannya dalam segala sesuatu, tanpa peduli atas tuntutan posisi kepemimpinannya yang memerlukan kehalian-keahlian, kemampuan-kemapuan dan spesialisasi.
Problem/hambatan utama yang dihadapi para pemimpin level kedua ialah siapa gerangan yang akan mampu menggantikan ‘Syekh’ itu? Setiap mereka sudah ditempel dijidatnya sebuah keyakinan bahwa mereka tidak ada apa-apanya di hadapan sang ‘Syekh’ itu … Tawadhu’ atau ‘ketundukan’ seperti ini sudah menjadi syarat pembentukan/rekrutmen haraki … Mayoritas mereka tidak pernah berlatih atas kebebasan berpendapat dan kepemimpinan melalui praktek syura jama’i. Penghormatan yang agung terhadap ‘Syekh’ tidak memungkinkan mereka untuk menantangnya dan berbeda pendapat dengannya, bahkan hanya sekedar mempertanyakannya … apalgi membangun pemikiran/pendapat yang berbeda dengannya …
Terkadang hubungan yang dibangun tercerminkan dalam ungkapafan sufi "murid di hadap guru (Syekh)-ya harus seperti mayyit (orang mati) di hadapan orang yang memandikannya". Demikianlah dalam banyak hal keputusan yang sangat diperlukan dari sang ‘Syekh’ bisa saja berubah menjadi sebuah doa’. Amat sangat disayangkan kondisi seperti ini berulang dan terus menerus terjadi (di banyak kawasan, tanpa terkecuali di Indonesia), dan bahkan sampai ke tingkat sebahagian mereka menuduh sebagian yang lain dengan perkataan: "Sesuai, nifaq (atau pura-pura) atau berpisah". Kita berlindung pada Allah dari ungkapan demikian. Namum, kita juga menemukan sebagian sifat-sifat itu paling tidak ada pada sebagian besar para pemimpin gerakan dakwah.
Kita sekarang harus mempelajari dengan sungguh-sungguh dan objektif paraktek dan pengalaman dunia internasional moderen di mana untuk masa terbaik (kepemimpinan) yakni antara 4 sampai 6 tahun saja dan mungkin diperpanjang hanya untuk satu kali masa jabatan … Sebuah kondisi yang memungkinkan untuk memimpin itu paling lama hanya 12 tahun. Ketika masa kepemimpinan selesai, maka mantan para pemimpin itu bisa bersaham positif dan efektif melalui komite khusus/spesialis atau sebagai penasehat bagi pemimpin yang baru disebabkan kehormatannya atau keahliannya atau pengalamannya.
(bersambung, insya Alloh)