Standar umum yang berlaku dalam gerakan dakwah – sampai saat ini masih berlaku – ialah bahwa anggota dihisab/dinilai di hadapan qiyadah/pepimpin. Kondisi ini mengharuskan mereka TAAT MUTLAK dalam keadaan suka maupun terpaksa.
Namun, kebutuhan untuk menilai/mengevaluasi para pemimpin gerakan dakwah masih hal yang tabu untuk didiskusikan dan dibahas. Demikian pula halnya terhadap organisasi dan prakteknya, kendati sudah sangat dibutuhkan.
Pada umumnya para pemimpin itu saat memaparkan laporan kerja mereka dan kerja organisasi melakukannya secara umum dan dengan bahasa yng umum pula seperti, “segala sesatu berjalan dengan baik”, “dakwah mengalami kemajuan”, “sesungguhnya masa depan Islam cerah”, “kemenangan sudah dekat”, “mereka melihatnya jauh, namun kami melihatnya dekat”, “kalian (para anggota) harus memperkuat keimanan dan memberikan pengorbanan yang lebih banyak lagi”, dan banyak lagi ungkapan-ungkapan umum lainnya.
(Nah, pertanyaan berikutya adalah : Jika dalam berharokah ada pemimpin yang mau membuat dan memberikan laporan dan pertanggung jawaban terhadap kinerjanya dan kondisi organisasinya secara umum masih dianggap belum cukup dan masih dianggap pemimpin tersebut bermasalah.
Maka bagaimana dengan pemimpin yang sudah memimpin puluhan tahun dan bahkan menginginkannya sampai mati. Namun tidak pernah membuat laporan pertanggung jawaban kinerjanya dan organisasi? Inilah tragedy dan ironi gerakan dakwah masa kini yang paling mengerikan.)
Gerakan dakwah kehilangan dasar-dasar ilmiyah yang dijadikan sandaran untuk mengevalusasi dan menilai para anggotanya… Belum ada statistik atau fakta-fakta yang berdasarkan angka-angka.
Tidak ada pula analisa objektif baik kuantitatif maupun kualitatif, khususnya terkait penjelasan tentang keanggotaan, masalah keuangan, laporan/ survey untuk mengetahui opini umum (yang berkembang dalam internal organisasi), taqwim jama’i (evaluasi jamaah), maupun kualitas kerja organisasi.
Yang terjadi adalah, seringkali sebagian pemimpin itu menolak untuk menjawab suatu pertanyaan dengan alasan keharusan sirriyah (rahasia tanzhim) dan tidak bisa dibuka secara umum (atau dengan bahasa lainnya, ini atau itu adalah urusan qiyadah, cukuplah dia saja yang tahu).
Sesungguhnya gerakan dakwah itu mustahil berada dalam situasi dan kondisi yang sehat bila qiyadah (pemimpin)-nya tidak tunduk pada “evaluasi objektif secara rutin”. Sebab itu, orang-orang yang menantang untuk mejadi pemimpin atau ingin terus menjadi pemimpin perlu dihadapkan kepada tantangan-tantangan yang riil dan harus selalu dituntut untuk meningkatkan kualitas kinerja mereka.
Hal yang sangat krusial lainnya ialah, bawa pertanggung jawaban dan evaluasi keuangan jamaah/gerakan dakwah itu memiliki dimensi akhlak dalam internal gerakan dan dimensi hukum dalam sebuah negara.
Sebab itu, gerakan dakwah harus mengeluarkan laporan dan penjelasan-penjelasan keuangan dan siap dievaluasi dan diaudit yang didasari oleh landasan yang benar dan sehat.
(Sungguh merupakan musibah besar dalam gerakan dakwah bila sistem dan kebijakan keuangan yang diterapkan adalah sistem sentralistik dengan berbagai alasan dan dalil syar’i yang dikemukakan.
Sesungguhnya yang terjadi adalah qiyadahnya tidak pernah siap memberikan laporan keuangan kepada anggota jamaahnya, karena takut diketahui penyimpangan mereka….. Inilah di antara efek negatif double standard /standar ganda yang mereka terapkan). (bersambung)