Sebelumnya, saya telah terangkan tentang penyelewengan di jalan dakwah yang bisa mendatangkan akibat-akibat berbahaya untuk dakwah dan pendukung-pendukungnya. Kita tambahkan lagi di sini bahwa penyelewengan fikrah adalah lebih berbahaya dari penyeleweng harakah. Hal ini karena di dalam fikrah yang sahih dan benar akan melahirkan harakah yang sahih dan dari situ dapat dibetulkan segala penyelewengan dan kesalahan harakah.
Jadi fikrah yang sehat melahirkan harakah yang sehat. Tetapi kalau fikrah telah menyeleweng, segala tindakan-tindakan harakah yang timbul tidak akan membawa kebaikan sedikit pun, malah membahayakan dan sia-sia.
Oleh itu, kita dapati di dalam tahap permulaan dakwah Islam, Rasulullah s.a.w. telah menyempurnakan peneguhan dan pemantapan akidah dan konsep yang sehat sejahtera lagi terang dan nyata tentang Islam dan risalahnya. Turunnya wahyu satu ayat demi satu ayat dan surah memantapkan dan mengukuhkan dasarnya, menerangkan, memperbetulkan dan menyampaikannya, dan Rasulullah s.a.w. sendiri menerangkan, menjelaskan dan bertindak dengan amalan yang benar dan sempurna dan menghapuskan segala penyelewengan amal.
Di atas jalan itu juga, Imam As-Syahid Hassan Al-Banna berusaha dengan seluruh tenaga dan kemampuannya untuk menyatukan umat Islam di atas akidah yang sahih dan sempurna dan kefahaman yang mendalam. Beliau teliti dan sahih tentang Islam melalui al-Quran dan sunnah Rasulullah s.a.w. Beliau tidak lengah mengawasi penyelewengan fikrah yang bisa menimbulkan satu perpecahan dari berbagai perpecahan yang telah begitu banyak itu. Beliau membawa mereka kembali kepada sirah salafussoleh dengan kefahaman dan amalan mereka yang sejahtera untuk Islam di bawah naungan wahyu dan persahabatan dengan Rasulullah s.a.w.
Beliau menjadikan kefahaman itu sebagai rukun pertama dari rukun bai’ah, kerana sesungguhnya semua rukun bai’ ah diasaskan di atasnya dan sangat kuat hubungannya dengan rukun-rukun tersebut.
Beliau telah menentukan baginya (kefahaman) dua puluh usul sebagai pagar yang mengelilingi dan memeliharanya dari segala penyelewengan, keterlaluan, kecuaian atau meringan-ringankan. Beliau jugalah yang menggariskan bahwa dakwah kita adalah salafiah, menurut jalan salafus saleh, para sahabat Nabi s.a.w dan pengikut-pengikutnya.
Satu lagi penyelewengan yang terpenting dalam fikrah yang wajar kita berikan perhatian ialah penyelewengan di dalam masalah kafir-mengkafir. Kita tidak suka menyentuh dan memanjangkan perbincangan dan berbantah-bantah dalil. Ini semua telah dijelas di dalam buku "Nahnu Duat La Qudhat" (Kita Pendakwah, Bukan Hakim) yang telah ditulis oleh Hassan Al-Hudhaibi rahmahullah.
Kita akan hanya menyentuh beberapa penjelasan dan keterangan dan mencoba menjelaskan bagaimana salah dan bahayanya penyelewengan seperti itu dan siapa yang menjadi mangsanya. Kita tidak akan menuduh niat-niat mereka, bahkan kita mengakui kebaikan niat mereka yang membawa fikrah yang menyeleweng itu.
7.1 Adakah Menghukum Orang Lain Itu Wajib bagi Setiap Muslim?
Telah diketahui bahwa syariat Islam telah memberi taklif, menuntut supaya kita menyeru manusia kepada Allah, menyuruh berbuat kebaikan dan melarang dari berbuat kemungkaran. Tiap-tiap seorang dari kita akan disoal di hadapan Allah: "Sudahkah kamu menyeru keluargamu, tetanggamu, kenalanmu dan semua orang yang berhubungan dengan kamu kepada Allah; untuk melaksanakan kitab Allah dan sunnah Rasulullah s.a.w. atau belum?" Kamu tidak akan disoal: "Sudahkah kamu menghukum ke atas si pulan atau belum? Kenapa kamu tidak menghukumnya?"
Karena itu tidak termasuk di dalam taklif syari’ah. Yang menjadi tugas kamu dan diberi pahala jika kamu melaksanakannya adalah tugas dakwah, menyeru manusia kepada Allah dan kamu akan diazab jika kamu mencuaikannya. Kamu tidak akan disiksa jika kamu tidak menghukum, sebaliknya jika kamu melakukannya, kamu akan terjatuh kepada azab yang sangat keras apabila kamu tersalah memberi hukuman.
Daulah Islam yang mendirikan dan mendaulatkan syari’at Allah. Dialah yang bertanggungjawab menentukan hal ihwal individu-individu di dalam akidahnya apakah dia kafir atau muslim. Setiap orang mempunyai cara muamalahnya. Bermuamalah dengan muslim tidak sama dengan bermuamalah dengan zimmi dan bermuamalah dengan zimmi tidak sama dengan murtad dan begitulah seterusnya.
Menentukan hukum kepada mereka bukanlah urusan individu, tetapi kadangkala di satu ketika seorang individu itu perlu mengetahui keadaan seseorang apabila dia ingin membuat suatu hubungan dengannya. Contohnya dalam urusan pernikahan, perniagaan atau urusan-urusan lain. Boleh jadi orang itu komunis (mulhid), athies ataupun murtad.
Jadi, dalam hal ini jika kamu merasa ragu-ragu tentang dirinya, cukuplah dengan menghentikan saja niat kamu, janganlah pula menjatuhkan hukuman ke atasnya.
7.2 Mengkafirkan Seorang Muslim Adalah Perkara Yang Sangat Berbahaya
Kita semua maklum tentang kehormatan seorang muslim: "Tiap-tiap Muslim terhadap Muslim haram darahnya, hartanya dan kehormatannya". Sesungguhnya darah kamu, harta kamu dan kehormatan kamu haram atas kamu seperti haramnya hari kamu ini, di bulan kamu ini".
Oleh kerana itu kita dapati syari’at Islam melindungi kehormatan ini dengan perundangan yang bijaksana. Syari’at ini melindungi darahnya dengan perlaksanaan had Qisas, melindungi kehormatannya dengan had Qazaf dan had zina (orang yang menuduh berzina di hukum cambuk delapan puluh kali) dan melindungi hartanya dengan hukuman potong tangan yang mencurinya dan demikianlah seterusnya.
Oleh itu, menghukum orang dengan kufur atau mengkafirinya, padahal dia seorang muslim samalah artinya melecehkan kehormatan yang paling mulia. Menuduh seorang muslim sebagai seorang kafir lebih dahsyat dari membunuhnya. Oleh karena itu, balasannya sama dengan jenis kerjanya. Umpamanya jika menuduh seorang muslim sebagai seorang kafir tanpa bukti, maka menuduh itu menjadi kafir.
Imam Bukhari r.a. bahwa Abu Dzar mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda yang bermaksud: "Tidak boleh seorang lelaki menuduh lelaki yang lain sebagai fasik atau kufur karena tuduhan itu akan kembali semula kepadanya jika yang dituduh itu tidak sedemikian".
Darinya lagi, bahwa beliau mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa memanggil seorang lelaki dengan panggilan kafir atau mengatanya musuh Allah, sedangkan orang itu tidak sedemikian, maka tuduhan itu akan kembali kepadanya".-Muttafaq ‘Alaih
Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata, telah bersabda Rasulullah s.a.w. "Apabila seseorang lelaki berkata kepada saudaranya: "hai kafir", maka kekufurannya itu jatuh kepada salah seorang daripada keduanya. Jika apa yang dikatakan itu benar, kafirlah orang dipanggil tapi kalau tidak, kekafiran itu kembali semula kepadanya."
Dari sini dapatlah kita melihat bahwa menghukum seseorang muslim itu sebagai orang kafir adalah satu tindakan yang membawa kepada kebinasaan tanpa pahala yang bisa diharap darinya dan ini bukan dari tugas-tugas syar’iah.
7.3 Manakah Yang Lebih Perlu Diawasi?
Beranikah kita mengatakan kepada seorang yang sakit, tidak mampu ataupun tidak berdaya lagi bergerak tetapi masih hidup, bahwa dia telah mati lalu dikebumikan sebelum kematiannya. Jika tidak ada perbedaan pendapat dan mempunyai keyakinan yang cukup tentang kematiannya barulah kita berani mengatakan bahwa dia telah mati.
Walaupun orang sakit yang tidak sadarkan diri beberapa hari tetap masih hidup, dia tidak boleh diperlakukan sebagai orang mati sebelum dia benar-benar mati. Perlakuan demikian dianggap sebagai dosa besar dan dipandang sebagai pembunuh walau bagaimana kuat pun penyakitnya.
Kalau kita harus berwaspada dan berhati-hati terhadap masalah tersebut terhadap fisik manusia, tentulah kita lebih perlu berwaspada dan berhati-hati menjatuhkan hukuman terhadap urusan akidah. Jadi bertindak melucutkan Islam dari seorang muslim dengan melemparkan tuduhan kafir kepadanya adalah lebih besar dosanya dan lebih besar bahayanya daripada menyatakan bahwa orang sakit telah mati padahal ia masih hidup. Jadi, mengapakah kita dengan mudah dan berani mengkafirkan berjuta-juta muslim.
Kita tidak menyangkal bahwa memang ada dari kalangan muslim yang hidup bersama kita, jika diperiksa dengan teliti dan halus, kita akan dapati dia telah murtad dan telah keluar dari Islam secara langsung. Tetapi, kita hendaklah memandangnya secara zahir dan zatnya saja. Jadi kita memandangnya sebagai muslim kecuali yang telah tampak kekufurannya dan murtadnya secara Qat’i dan pasti menurut ketentuan syar’i.
Tidak boleh juga kita tawaqquf lalu kita tidak memandang seorang sebagai muslim atau sebagai kafir. Ini tidak logik dan tidak berpijak di alam nyata. Demikian juga kita tidak boleh membiarkan orang yang sakit supaya dia terus sakit. Sebaliknya, kita mestilah mengobatinya jauh sekali untuk mengurusnya sebagai orang yang mati lalu mengebumikannya. Sebab asalnya dia seorang yang hidup sehingga jelas kematiannya. Demikian juga seluruh saudara selslam kita. Mereka dianggap muslim sehingga jelas kekufurannya, baru dipandang sebagai orang kafir.
7.4 Batas Pemisah Antara Kufur dan Islam
Allah tidak menjadikan batas pemisah di antara kufur dan Islam sebagai satu marhalah yang mesti dilalui, karena ini akan menimbulkan salah dalam pertimbangan apabila seseorang melintasi marhalah itu, baik seluruhnya atau sebagiannya yang kemudiannya timbul perselisihan, baik menganggapnya sebagai seorang muslim atau orang kafir, lalu menimbulkan beberapa perkara yang sangat bahaya.
Oleh karena itu, dengan hikmah Allah Taala dan kasih sayangNya kepada kita, Dia menjadikan batas pemisah di antara kufur dan Islam sebagai satu garis yang halus, jelas dan tidak ada perselisihan di atasnya supaya kita tidak terjerumus di dalam konflik yang paling melelahkan yaitu, dengan mengucap dua kalimah syahadah saja orang itu adalah dikatakan sebagai seorang muslim.
Demikian juga Dia menjadikan urusan keluar atau murtad dari Islam tidak akan terjadi jika tidak disertai dengan dalil qat’ie dan pasti yang jelas kekufurannya. Dengan memberi peluang kepada si murtad itu untuk bertaubat sebelum menjatuhkan hukuman had ar-riddah kepadanya.
Islam tidak menyuruh kita mengadakan ujian kepada siapa pun yang hendak memasuki Islam. Lalu kita berselisih dalam menentukan ujian kepada siapa yang hendak memasuki Islam. Kemudian kita berselisih dalam menentukan peringkat kelslamannya dan menetapkan berjaya atau gagalnya dia dalam ujian tersebut. Tapi kita hanyalah menurut sabda Rasulullah: "Serulah mereka supaya memberikan persaksian bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad itu Rasulullah", maka jika mereka mengucapkan demikian maka sesungguhnya darah dan harta mereka telah terpelihara".
Kita semua telah mengetahui kisah seorang Muslim yang berperang di dalam barisan musyrikin dan mengucapkan dua kalimah syahadah, kemudian dia dibunuh oleh Usamah bin Zaid r.a. setelah dia mengucap dua kalimah syahadah karena Usamah menyangkanya sebagai satu taktik untuk mengelakkan dirinya dari dibunuh, tetapi Rasulullah s.a.w. sangat marah dan kesal terhadap tindakan Usamah lalu bersabda kepadanya: "Kenapa engkau tidak membelah dadanya?" (sebagai istilah untuk memastikan bahwa hati orang tersebut memang benar-benar dusta)
Ada pendapat yang mengatakan bahwa orang mengucap dua kalimah syahadah tidak boleh dipandang
sebagai seorang muslim kecuali dia beramal dan memenuhi tuntutan dua kalimah syahadah itu.
Itu adalah pendapat yang salah dan keliru. Orang yang mengucap dua kalimah syahadah telah menjadi Muslim, tetapi muslimnya apakah Muslim yang taat, Muslim yang durhaka, ataupun murtad. Itupun sekiranya dia mengingkari perkara yang pasti dimaklumi ataupun dia membuat sesuatu yang tidak dapat diberi pengertian kecuali kekufuran saja.
7.5 Memecahkan Objek Dakwah
Sesungguhnya Muslim yang kita pergauli dan dekati dan yang kita seru kepada Allah, kepada memahami Islam, supaya mereka melaksanakan ajaran Islam dan bekerja untuk Islam. Inilah yang menjadi sasaran dan objek dakwah yang kita bekerja di dalamnya.
Kita tarik daripadanya individu yang beriman yang terpengaruh dengan dakwah kemudian kita jadikan mereka pendukung-pendukung dakwah yang berjihad dan berkorban pada jalannya. Sekiranya mereka merasai bahwa kita menganggap mereka sebagai orang-orang kafir, mereka akan lari dari kita, tidak mau mendengar apa yang kita serukan kepada mereka, lalu menjadi musuh-musuh kita.
Dengan itu, kita sendirilah yang memecahkan objek dakwah kita dengan tangan-tangan kita dan kitalah yang tersingkir. Lantaran itu, kita berjalan di atas jalan mati. Kita telah mengasingkan diri kita dari mereka dan kita pada akhirnya tidak dapat merealisasikan satu pun kebaikan untuk Islam dan Muslimin.
Sesungguhnya musuh-musuh Allah telah menjajah negeri-negeri umat Islam di seluruh dunia dalam waktu yang lama. Mereka telah lama membuat berbagai rancangan untuk menjauhkan intisari Islam dan hakikatnya dari kehidupan umat Islam setelah mereka gagal memisahkan umat Islam dari agama mereka. Lantaran itu timbullah generasi-generasi yang jahil terhadap sebagian besar ajaran Islam. Islam tidak dapat dijelmakan dalam sebagian besar aspek kehidupan mereka.
Inilah yang mendorong dan mendesak kita agar melipat gandakan usaha dan kerja kita untuk menarik tangan-tangan mereka, menasihati mereka, memberi tunjuk ajar kepada mereka, membawa hidayah Islam kepada mereka dan membukakan mata mereka supaya mereka dapat melihat Islam sebagai satu cara hidup yang lengkap dan sempurna. Itu tidak cukup dengan fatwa mengkafirkan saja dan membangunkan tembok-tembok dan tabir-tabir di antara kita dengan mereka.
Musuh-musuh Allah senantiasa bercita-cita dan berusaha bersungguh-sungguh untuk memecah-belahkan barisan Muslim. Apakah lagi yang dikehendaki selain dari melihat umat Islam berpecah-belah. Dengan adanya kumpulan, partai, institusi dan organisasi yang mengkafirkan yang lain itulah yang memudahkan musuh-musuh Allah menghancurkan Islam dan sistemnya tanpa membawa faedah dan kebaikan kepada Islam.
7.6 JalanNya Yang Sahih
Apabila kita bersungguh-sungguh hendak merealisasikan satu kebaikan untuk Islam dan hendak menegakkan daulah Islam di muka bumi, kita mestilah berjalan mengikuti jalan yang telah dilalui oleh Rasulullah s.a.w. di zaman silam yaitu dari segi imannya, amal, cinta dan ukhuwah tanpa sedikit pencairan dan perubahan, tanpa cuai dan keterlaluan sebagaimana firman Allah: "Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak mengubah (janjinya)"’. Supaya Allah s.w.t. memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya dan menyiksa orang munafik jika dikehendakiNya atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-AhZab: 23&24)
Firman Allah Taala:
"Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah s.w.t. dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah s.w.t. dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".(Yusuf: 108)
Semoga Allah s.w.t. menjadikan kita pengikut-pengikut Rasulullah s.a.w. yang berjalan di atas jalan yang dicontohkannya tanpa merubah dan menggantikannya.