D. 5. Doa adalah inti ibadah
Allah swt berfirman :
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al A’raf : 56)
Allah swt memerintahkan hamba-Nya agar mendekat untuk berdoa kepada-Nya dengan dua dorongan, takut akan adzab dan musibah, berharap hidup damai dan berkelimpahan nikmat, perintah ini berkali-kali Allah nyatakan dalam beberapa firman-Nya :
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’raf : 55)
Allah swt menggambarkan sifat orang-orang shalih :
كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami dengan harap dan cemas. dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada kami.” (QS. Al Anbiya : 90)
Karena itulah para ulama satu kata dalam menyatakan doa sebagai inti dari pada ibadah, doa adalah karakter utama bagi seorang muslim yang memperlihatkan ketundukan total kepaa Allah swt.
Hikmah doa tidak sesempit persepsi sebagian dari kita, yang hanya dibatasi sebagai sarana untuk memperoleh segala keinginan dan menjauhkan segala kekhawatiran dari diri kita, mereka memahami doa hanya sebagai sarana semata, padahal doa adalah sebuah pernyataan manusia akan kehambaan yang disandangnya, akan ketundukan total kepada Allah, apakah doa itu terkabul atau tidak, karena kita tahu tidak ada tempat untuk mengadu kecuali kepada-Nya dalam kondisi apapun kita, tidak ada tempat bernaung dan lari dari keburukan kecuali kepada-Nya yang penuh kasih, tidak ada Tuhan selain-Nya yang menggantikan posisi ataupun menjadi perantara kepada-Nya, Dia adalah Esa dalam kuasa untuk bahagia dan sengsaranya kita.
Jadi tidak ada jalan bagi kita kecuali menghiba kepada-Nya dengan penuh kehambaan dan kehinaan, apapun kondisi yang kita alami.
Inilah hakikat ibadah kita kepada Allah swt, inilah tujuan inti manusia diciptakan, untuk memproklamasikan diri dengan bahasa lisan dan aktifitas raga maupun hatinya, bahwa dirinya adalah hamba Allah, milik Sang Pencipta yang Maha Agung.
Inilah indahnya aturan Allah swt, Dia mendidik hamba-Nya untuk menjiwai karakter ini dengan dua motivasi utama, pertama, berharap akan rahmat dan nikmat-Nya, kedua, khawatir akan siksa dan keburukannya, kita akan mendapati dua sifat ini sebagai bukti akan keadilan Allah, antara satu sifat dengan yang lain saling menyeimbangkan, sehingga sisi harap kita akan rahmat Allah tidak terlalu tinggi sehingga bisa jadi diri kita menggantungkan harapan pada hal yang bukan hak kita, dan sebaliknya sisi kekhawatiran kita akan siksa dan keburukannya tidak menghantui diri kita lalu kita menjadi putus asa dan patah arang.
Jalan terbaik bagi kita adalah istiqamah dalam ibadah kita kepada Allah swt, dengan menggabungkan dua sisi harap dan takut, laksana dua sayap burung yang selalu seimbang dan seirama. Karena itu kita tidak mendapatkan ayat rahmat kecuali setelahnya ada ayat adzab, tidaklah Allah swt mensifati diri-Nya dengan sifat maha memberi dan pengasih kecuali setelah itu mensifati diri-Nya dengan sifat kebalikannya.
Lihatlah firman Allah swt :
نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (49) وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الْأَلِيمُ (50)
“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Sesungguhnya Aku-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahwa Sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih.” (QS. Al Hijr : 49-50)
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (53) وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu Kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (QS. Az Zumar : 53-54)
Kebersamaan dua sifat ini dalam ayat-ayat Al Quran adalah sebuah cerminan tarbiyah yang ideal dan seimbang.
Bahkan ketika Allah swt mendeskripsikan ahli surga, maka Allah akan ungkapkan secara gamblang sifat dan karakter utama merek, lihat firman-Nya :
كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ (17) وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ (18) وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ (19)
“Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar. Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adz dzariyat : 17-19)
Kalau kita memabaca ayat di atas, maka kita akan mengatakan kepada diri kita, adakah sifat itu dalam diri kita. Dan ketika mendeskripsikan ahli neraka, maka Allah akan ungkapkan dengan jelas sifat dan karakter busuk mereka, Allah swt berfirman :
قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ (43) وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ (44) وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ (45) وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ (46)
“Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin. Dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya. Dan adalah kami mendustakan hari pembalasan.” (QS. Al Mudatstsir : 43-46)
Kalau kita merenungkan ayat di atas, maka kita akan mengaca diri kita, ternyata diri kita tidak lebih buruk dari mereka. Kita melihat dengan jernih, diantara dua kondisi tersebut, maka yang kita lakukan adalah berharap dan cemas, kemudian lahirlah sikap kehambaan kita, lalu mendorong kita untuk membuka dua tangan kita, mengharap kepadanya dengan penuh hiba dalam doa yang khusyu.