D.2. Lembut dalam mengambil hukum agama
Rasulullah saw bersabda :
إِنَّ هَذَا الدِّينَ مَتِينٌ فَأَوْغِلْ فِيهِ بِرِفْقٍ ، فَإِنَّ الْمُنْبَتَّ لاَ أَرْضًا قَطَعَ ، وَلاَ ظَهْرًا أَبْقَى (رواه أحمد والبيهقي)
“Agama ini kuat, maka masukilah dengan kelembutan, sesungguhnya orang yang macet kendaraannya, tidak ada jarak yang ia capai atau punggung yang memberikan manfaat,” (HR. Ahmad dan Baihaqi)
Rasulullah saw dalam hadits ini memaparkan prinsip hukum utama dalam syariat Islam, Beliau mengatakan bahwa hukum agama ini keras dan kesempurnaannya tidak terbilang, barang siapa berusaha keras untuk menerapkan semuanya, untuk mencapai kesempurnaanya secara keseluruhan, maka ia akan terputus dari jalannya dan hilanglah kekuatan untuk meraihnya, atau bahkan mendapatkan keburukan yang tidak diharapkannya.
Setiap muslim hendaknya mengambil hukum ini dengan berangsur-angsur dan bertahap, melatih dirinya agar selalu selaras dengan hukum syariat dengan penuh kelembutan dan kesabaran. Rasulullah saw menggambarkan orang-orang yang tergesa-gesa memaksa meretas jalan kesempurnaan agamanya, tanpa ada kelembutan dengan kendaraan tunggangannya atau sarana yang memindahkannya, maka mereka tidak akan sampai tujuan yang mereka tuju, atau menyisakan sarana yang menyampaikan mereka kepada tujuan tersebut.
Ini adalah prinsip hukum syariat Islam pada hakikatnya adalah sebuah tarbiyah besar bagi kita, yang mengandung hikmah besar yang mana seharusnya jelas di mata umat Islam semua. Kita semua tahu bahwa beban hukum Islam itu berat di hati dan raga, maka sudah menjadi kewajiban setiap muslim untuk melatih hati dan raganya agar bisa berjalan bersama dan beriringan dengan hukum Allah swt, dan kita tidak dituntut oleh Islam untuk membebani diri kita dengan hukuman berat yang tidak mampu kita pikul atau sabar atasnya.
Yang dituntut dari seorang muslim adalah membina dirinya agar selalu bisa mengikuti jalan yang benar, bisa akrab dan lunak dengan jalan tersebut, dan tidak dituntut dengan kekeraasan dan penyempitan gerak yang memperdayanya. Islam tidak datang dengan kekerasan ini, Allah tidak akan membebani hamba-Nya untuk dekat kepada-Nya dengan kesulitan yang memberatkannya.
Karenanya yang diharapkan dari seorang mulim adalah pembiasaan diri terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam, tunduk secara total dengan pedoman hidup yang Islami, karena dibalik semua itu ada kebaikan dan kebahagian diri. Hal ini tidak akan terjadi jika tidak dilalui dengan penuh kesabaran dalam tahapan-tahapannya, membawa diri kedalam agama dengan satu langkah demi langkah, sehingga langkah pertama menjadi etape bagi langkah berikutnya, sehingga sebagian besar langkah saling menguatkan dan menyempurnakan kekurangan sebagian yang lain, tidak ada kekhawatiran langkah balik atau mundur karena kesulitan yang tidak mampu dipikul, lihatlah contoh baik tentang langkah kelembutan yang penuh kesabaran ini, tahapan-tahapan turunnya syariat Islam pada masa awal Islam.
Di antara umat Islam ada beberapa orang yang memberati diri mereka dengan beban tak tertahankan untuk melaksanakan kewajiban Islam dan kesempurnaannya, lalu ia tiba-tiba berbalik seratus delapan puluh derajat dengan meyepelekan syiar Islam utama. Kalau kita jeli, maka yang melatarbelakangi sikap ini adalah jiwa yang mereka belum terbiasa dengan ajaran agama Allah, tetapi mereka memaksakan ajaran itu sehingga ada kesan menyiksa diri mereka dengan ajaran tersebut. Jiwa kita sekali waktu bisa tunduk kepada hal yang berbeda dengan tabiatnya, namun cepat sekali jiwa kita akan berubah garang dengan melakukan hal yang lebih buruk dari titik awalnya yang kita anggap baik. Kondisi inilah yang digambarkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya : “Agama ini adalah mudah dan tidak ada yang berkeras menjalankannya kecuali akan mengalami kekalahan.”
Betapa banyak orang tua kita dan para pendidik kita yang membebani anak-anak keturunan mereka dan anak didik kewajiban Islam yang belum bisa mereka tanggung, mereka menyangka telah berhasil ketika menghujani anak-anak itu dengan cambukan ancaman dan hardikan, kemudian anak-anak itu tiba-tiba menjadi pembangkang besar yang tidak peduli dengan apapun, hubungan mereka denagan ana-anak mereka seperti yang digambarkan Rasulullah saw : orang yang macet kendaraannya, tidak ada jarak yang ia capai atau punggung yang memberikan manfaat,”
Betapa banyak kita melihat beberapa anak muda yang menghabiskan malam mereka dengan ruku dan sujud, mereka bebani diri mereka dengan beban berat sebagaimana amalan para rasul ulul azmi, namun pada akhirnya anak-anak muda tersebut berubah drastis prilakunya, mereka ringan untuk meninggalkan shalat wajib dan melakukan dosa-dosa besar yang diharamkan.
Hanya saja, tidak berarti syariat Islam menyuruh kita meremehkan kewajiban yang asasi. Antara sikap meremehkan yang tidak sesuai syarit dan sikap kaku keras yang tidak sesuai syariat ada perbedaan tegas bagi orang yang memahami tabiat Islam dan petunjuknya. Syaithan memiliki peran penting dalam proses pembiasan jalan umat Islam ini, karena itu hendaklah seorang muslim membekali diri dengan ilmu yang menjaga dirinya agar tidak jatuh dalam bias ini.