KRISIS AKHLAQ GERAKAN ISLAM
Sebuah Upaya Rekonstruksi Gerakan Islam Masa Depan
Oleh: DR. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy*
***
A.8. Tashawwuf al akhlaki wa at Tashawwuf al Wijdani (Tashawwuf prilaku dan batin)
Yang kami paparkan dalam bab-bab yang terdahulu masuk dalam pembahasan tentang tashawwuf akhlak (prilaku).
Tashawwuf akhlak adalah terjemahan dari akhlak Islami yang dibawa oleh Islam dan dijadikan sebagai sarana untuk tarbiyyah.
Adapun yang berkaitan dengan istilah-istilah seperti ahwal, syuhud, fana, baqa dan lainnya, maka itu hanyalah deskripsi terhadap kondisi batin, yang mana para pengikut tashawwuf itu bertingkat-tingkat di dalamnya. Mereka yang melakukan olah ruhani dengan merasakan pengawasan Allah, tidak sibuk dengan kegiatan duniawi yang menjauhkan dirinya dari dzikrullah.
Ketika seseorang terus menerus dalam kondisi seperti ini, maka semua yang nampak di dunia ini begitu kecil di matanya, dan terpancar darinya sifat-sifat keagungan Allah, semakin nyata kesempurnaan Allah. Perasaan ini sering berulang dalam waktu yang panjang dan semakin kuat, sehingga jiwanya akan terasa lepas dari alam semesta menyatu bersama Allah yang mengadakan alam semesta, terbang menghilang dari keberadaan menuju kebersamaan dengan Allah yang mengadakan. Inilah yang disebut dengan “fana” (hancur melebur).
Apabila perasaan ini terpatri dalam prilaku lahir, hati dan kondisi batinnya, dengan berpandukan pada Al Quran dan sunnah, maka dia akan kembali sadar akan kehidupan duniawinya, sekalipun hatinya masih tertambat kepada hubungannya dengan Allah. Ia berhubungan dunia dengan hati yang tak berasa, bergabung dan bergaul dengan manusia tanpa melupakan Allah. Inilah yang mereka sebut dengan “Baqa” (kekal menyatu).
Ini adalah manzilah (tingkatan ruhiyyah) yang dirasakan oleh para Rasul dan para Nabi, para shiddiqun dan sahabat Rasulullah saw, karena merekalah para pemilik hati yang mendekati kesempurnaan dan mampu menerima beban tanggung jawab dari Allah swt.
Imam ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan makna fana dalam kitabnya “ Al Ubudiyyah”:
“Fana adalah lebur dalam kebersamaan dengan Allah yang Maha Sempurna??(hal 68) , hal ini dirasakan oleh para pelaku suluk, hal ini terjadi karena kuatnya tali hati mereka yang mengikatnya kepada dzikrullah, ibadah dan mahabbatullah, juga kelemahan hati mereka untuk menyaksikan selain yang disembah dan yang dituju. Tidak ada yang terlintas di hati mereka selain Allah, bahkan mereka tidak merasakan keberadaan selain-Nya. Apabila perasaan fana ini semakin menguat, maka yang wujud hilang dari keberadaanya, yang terlihat lepas dari penglihatannya, yang disebut lenyap dari sebutannya dan yang dikenal menjadi asing.”
Kemudian beliau sambung dengan komentarnya : “seluruh perasaan fana penuh dengan kekurangan dan kelemahan. Para wali utama, seperti Abu Bakar, Umar bin Khatthab dan pendahulu-pendahulu yang lainnya dari kalangan anshar atau muhajirin tidak pernah merasakan fana seperti ini, bahkan para Nabi dan Rasul yang berada di atas tingkatan mereka. Istilah fana muncul di masa-masa setelah sahabat.”
Kalau kita sudah memahami uraian ini, kita sebagai seorang muslim yang memiliki kelemahan di sisi Allah, dan merasa ada penyakit hati yang menjauhkan kita dari Allah, maka tidak selayaknya kita habiskan waktu kita dalam perdebatan sia-sia tentang kondisi para penganut tashawwuf batin atau falsafi dan membahas panjang lebar maqam-maqam mereka yang bermacam-macam.
Masalah yang kita bicarakan pada hakikatnya adalah cita rasa yang tidak terjangkau kecuali dengan mengusahakannya, bukan dengan menjadikannya ilmu pengetahuan yang hanya sebatas dibaca dan dihafal, tetapi kita meraih cita rasa itu dalam realitas keIslaman kita yang benar dan hidup dalam setiap sanubari manusia.
Sekalipun seluruh umur kita habiskan untuk membahas rahasia lakon para penganut tashawwuf ini, menganalisa setiap ucapan yang keluar dari mulut mereka, maka tak secuil atom pun yang bisa mendekatkan kita kepada Allah swt, selama hati kita masih menyandang penyakit sombong, iri, gila dunia, ujub, riya, dendam dan penyakit lainnya.
Dan yang lebih ironi adalah orang-orang yang tidak menjadi pengikut tashawwuf, sebagaimana kita bahas pada bab-bab yang telah lalu. Mereka menjadikan tashawwuf ini sebagai kajian filsafat, sementara mereka tidak memahaminya. Mereka tenggelam dalam studi tentang ahwal dan mawajid pengikut tashawwuf, sementara mereka jauh dari pengalaman ruhani mereka.
Mereka undangkan ucapan para ahli tashawwuf itu, padahal ucapan mereka lahir karena buah cita rasa tashawwuf yang mereka jalani. Bisa jadi para ahli tashawwuf ini dimaafkan karena ungkapan mereka. Sementara orang-orang yang hanya mengikuti mereka dari belakang dan menjadikannya sebagai bahan studi, kajian atau kepentingan mereka, maka mereka jauh dari pintu madzirah (maaf).
Kami mengajak saudara-saudara kami dan mengajak mereka para penganut dan pemerhati tashawwuf untuk membersihkan hati mereka. Bersihnya hati adalah puncak dari ajaran Islam. Bersih hati adalah tujuan utama pengembaraan para salikin (pelaku suluk) dan ahli tashawwuf. Adapun yang menjauh dari jalan ini maka mereka telah menyeleweng dari ajaran Islam.
Tazkiyyatun nafs adalah pintu menuju keridhaan Allah, obat dari segala musibah dan solusi dari segala fitnah.
Ambillah dari Ibnu Arabi wasiat-wasiatnya dan menjauhlah dari kitab futuhatnya (futuhat makkiyah). Bacalah wasiatnya dalam kitab “Maarijul quds fii muhasabatin nafs” yang menyingkap aib umat Islam, membeberkan kekurangan, kelemahan, penyakit berbahaya, riya, sum’ah, gila pangkat dan gila dunia yang tersembunyi dalam bungkus lahir yang menipu.
Biarkanlah apa yang dikatakannya, yang kadang kita tidak memahaminya, pada porsinya.
Sehingga apabila gemuruh dunia dan penyakitnya telah mereda di dada, fanatisme batil telah telah tercerabut, tegar terhadap dunia telah menjadi pegangan, baik dunia datang atau pergi, biasa untuk menerima cacian atau pujian, maka kami persilahkan anda masuki dan menikmati pengembaraan ruhani lebih jauh.
*) Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy lahir pada tahun 1929 di sebuah daerah yang bernama Buthan, bagian dari wilayah Turki yang terletak di perbatasan antara Turki dengan Irak bagian utara.
Pada usia empat tahun, beliau ikut ayahnya, Mullah Ramadhan untuk pindah ke Damaskus, Syria. Setelah menamatkan sekolah Islam di Damaskus, Al-Buthy kuliah di Universitas Al-Azhar, Mesir. Beliau mendapatkan gelar doktor dalam bidang hukum Islam di Universitas Al-Azhar pada tahun 1965.
Pada tahun yang sama, beliau kembali ke Damaskus dan diangkat sebagai salah satu pimpinan di Universitas Damaskus, sekaligus aktif sebagai dosen di sana. Selain itu, ia juga menjabat anggota dewan tinggi di universitas Oxford, Inggris.
Selain sebagai dosen, Al-Buthy juga aktif di berbagai konfrensi dan simposium dunia. Beliau fasih berbahasa Arab, Turki, dan Ingris. Tidak kurang dari 40 buku telah beliau tulis. Hampir setiap hari, beliau mengisi taklim di masjid Damaskus, dan berbagai masjid di Syria. Ribuan orang selalu hadir dalam setiap taklim yang beliau pimpin.