Ketiga, pendekatan dialog dan diskusi
Al Quran memiliki gaya bahasa yang sangat unik dan memikat, Al Quran mengajak dialog dan diskusi, mengajak untuk menggunakan pengamatan kepada bukti-bukti, memaparkannya, membiarkan buah dan hasil semua usaha di atas terbuka, tanpa ada teks tersurat tentang hasil di atas bahkan Al Quran mengajak mitra dialognya aktif untuk mengkorelasikan dan mengambil kesimpulan akhir.
Ini adalah kebaikan dari metode dialog yang selalu dibuka dengan pertanyaan dan diskusi masalah. tujuan besarnya adalah menggiring anak didik kepada metode ilmiah dengan cepat sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para pendidik dan pengajar mereka. Adalah musibah besar ketika seorang pendidik menggunakan metode ceramah dan monolog saja, dimana ia hanya melakukan ceramah, kemudian menunjukkan hasil dari ceramahnya, sementara pendengar atau anak didik hanya mendengar, atau hanya tidak mau memperhatikannya dan justru sibuk dengan pikirannya, tanpa menghasilkan ilmu dan pemahaman sedikitpun. Begitu juga seandainya seorang prendidik yang pandai berdiskusi dengan anak didiknya, lalu menjelaskan kesimpulannya di tengah diskusi itu maka itu tidak akan membuahkan hasil tarbiyah yang memuaskan.
Bisa jadi metode dialog memiliki tujuan tertentu, untuk menyingkap pengingkaran orang kafir, sekaligus juga menunjukkan kebenaran yang mereka pura-pura tidak mengetahuinya. Pendekatan dialogis ini akan menggerakkannya dan membawanya pada penyingkapan keburukan pilihannya sekaligus juga kebusukan hatinya, tujuan ini tidak akan tercapai kecuali dengan mendorong pada pengamatan bukti-bukti dan membahasnya dengan jalan dialog dan diskusi, sehingga muncul kesimpulan akhir, tanpa ada teks sedikitpun yang tersurat dari penddidik yang melakukan diskusi tersebut.
Lihatlah beberapa ayat terakhir dari surat An Naml :
قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَسَلَامٌ عَلَى عِبَادِهِ الَّذِينَ اصْطَفَى آَللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ (59) أَمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَأَنْزَلَ لَكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَنْبَتْنَا بِهِ حَدَائِقَ ذَاتَ بَهْجَةٍ مَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُنْبِتُوا شَجَرَهَا أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ يَعْدِلُونَ (60) أَمْ مَنْ جَعَلَ الْأَرْضَ قَرَارًا وَجَعَلَ خِلَالَهَا أَنْهَارًا وَجَعَلَ لَهَا رَوَاسِيَ وَجَعَلَ بَيْنَ الْبَحْرَيْنِ حَاجِزًا أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ (61) أَمْ مَنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ (62) أَمْ مَنْ يَهْدِيكُمْ فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَنْ يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ تَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ (63) أَمْ مَنْ يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ وَمَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (64)
“Katakanlah: "Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya. apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?" Atau siapakah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air untukmu dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-pohonnya? apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran). Atau siapakah yang Telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, dan yang menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung untuk (mengkokohkan)nya dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut? apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak Mengetahui. Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? amat sedikitlah kamu mengingati(Nya). Atau siapakah yang memimpin kamu dalam kegelapan di dataran dan lautan dan siapa (pula)kah yang mendatangkan angin sebagai kabar gembira sebelum (kedatangan) rahmat-Nya? apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya). Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), Kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezki kepadamu dari langit dan bumi? apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)?. Katakanlah: "Unjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar.” (QS. An Naml : 59-64)
Di dalam beberapa ayat ini, ada pendekatan dialogis dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang mampu menggugah akal dan menggebah pikiran kita, dan tidak ada jawaban tersurat dalam ayat-ayat tersebut, sebagai gantinya ayat-ayat itu mengalihkan pandangan kita kepada kebenaran jawaban yang pasti dikenali dan difahami secara otomatis oleh akal pikiran kita.
Ia melontarkan pertanyaan demi pertanyaan dan mengharapkan respon jawaban dari kita, namun begitu kita sedikit tenggelam dalam pertanyaan dan respon jawaban yang seharusnya, ayat-ayat tersebut mengalihkan perhatian kita kepada akar masalah yang menyebabkan pengingkaran orang kafir, “Karena mereka berpaling dari Allah swt, mereka tidak memiliki kemauan sedikitpun untuk memahami hakikat alam semesta ini yang kaya dengan bukti-bukti akan keberadaan dan keesaan Allah swt, mereka tidak ingin mengenang lagi asal muasal dan perkembangan proses penciptaan mereka. Kalau saja mereka ingat, bersikap adil, maka mereka pasti akan menenukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas, dan mereka beriman dengan penuh ketulusan dan ketundukan.”
Allah swt paparkan ayat berikut ini: “Bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran).” (QS. An Naml : 60) sebagai ganti dari jawaban yang ditunggu, alasan mereka diam tanpa memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan di atas yang berkaitan dengan Dzat yang meniptakan langit dan bumi, yang menurunkan hujan dari awan yang bergerak adalah karena mereka berpaling dari Allah swt kepada makhluk ciptaan-Nya. Alasan mereka diam tanpa memberikan jawaban atas bebrapa pertanyaan di atas yang berkaitan dengan Dzat yang menjadikan bumi sebagai tempat tinggal, yang menciptakan gunung sebagai tiang pancang di detiap sudutnya, adalah karena mereka tidak ingin tahu detail dan rahasia alam semesta ini, alasan mereka diam tanpa memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan di atas yang berkaitan dengan Dzat yang mengkabulkan doa orang yang terjepit suatu masalah, dengan penuh ikhlash dan ketundukan, adalah karena mereka tidak pernah mengingat moment-moment seperti ini yang melewati jalan hidup mereka, dan begitulah seterusnya.
Metode dialog ini telah menyingkap pengingkaran orang-orang musyrik, menjauhkan sikap ingkar mereka sekaligus juga menghilangkan kekuatan keraguan dan kepura-puraan mereka. Sehingga mereka menjadi bahan pelajaran bagi yang lain jika masih terus menerus ingkar bersama mereka, atau dialog ini menjadi pelajaran untuk mereka sendiri jika mereka menyadari akan bukti-bukti keimanan dan bersikap jujur kepada diri mereka sendiri.
Perhatikanlah firman Allah swt, di mana Allah swt mengajak dialog orang-orang kafir :
أَمْ تَأْمُرُهُمْ أَحْلَامُهُمْ بِهَذَا أَمْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ (32) أَمْ يَقُولُونَ تَقَوَّلَهُ بَلْ لَا يُؤْمِنُونَ (33) فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ (34) أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ (35) أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بَلْ لَا يُوقِنُونَ (36) أَمْ عِنْدَهُمْ خَزَائِنُ رَبِّكَ أَمْ هُمُ الْمُسَيْطِرُونَ (37) أَمْ لَهُمْ سُلَّمٌ يَسْتَمِعُونَ فِيهِ فَلْيَأْتِ مُسْتَمِعُهُمْ بِسُلْطَانٍ مُبِينٍ (38)
“Apakah mereka diperintah oleh fikiran-fikiran mereka untuk mengucapkan tuduhan-tuduhan Ini ataukah mereka kaum yang melampaui batas? Ataukah mereka mengatakan: "Dia (Muhammad) membuat-buatnya". Sebenarnya mereka tidak beriman. Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar. Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka Telah menciptakan langit dan bumi itu?; Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu atau merekakah yang berkuasa? Ataukah mereka mempunyai tangga (ke langit) untuk mendengarkan pada tangga itu (hal-hal yang gaib)? Maka hendaklah orang yang mendengarkan di antara mereka mendatangkan suatu keterangan yang nyata.” (QS. At Thur : 32-38)
Ayat-ayat di atas dan yang setelahnya memaparkan kepada kita beberapa asumsi yang mungkin, dari pertanyaan mengapa orang kafir ingkar terhadap Allah swt, kemudian menunjukkan kesalahan mereka dengan cara yang unik, tidak menafikan asumsi-asumsi itu dengan bahasa negatif yang kaku, karena penafian asumsi dengan cara seperti ini justru semakin membuat mereka keras dan ingkar. Namun ayat-ayat ini mengajak mereka berdialog untuk merunut kesalahan mereka, tanpa menampakkan secara nyata kesalahan pada akal dan pikiran mereka. Setiap dialog dan diskusi atas semua asumsi yang dimungkinkan, menyertakan kaidah-kaidah logis yang mampu membawa akal kepada hakikat kenbenaran dan menjauhkan bias kebenaran darinya, namun diskusi yang dilangsungkan tidak memakai bahasa hukum yang kaku, namun dialog di bangun di atas semangat dan ruh hukum kebenaran yang bisa difahami oleh setiap orang yang memilki akal.
Asumsi pertama adalah, Rasulullah saw telah mengada-adakan Al Quran, karena sangatlah mudah jika selain Beliau mampu untuk membuatnya, mereka mampu mengadakan Al Quran atas nama Allah, dengan gaya bahasa dan balaghah yang tinggi, jika mereka telah melakukannya maka klaim mereka adalah benar adanya.
Asumsi kedua, di samping manusia ada makhluk yang ada tanpa ada pencipta, mereka lahir begitu saja di dunia tanpa awal atau materi apapun.
Ayat ini mengangkat asumsi kedua ini dengan gaya bahasanya yang jitu, mampu mengalihkan perhatian mereka kepada sikap “Rujhanusy syai’ biduuni murajjih” (mengunggulkan sebuah pendapat yang dikuatkan tanpa penguat sedikitpun), yang mana sikap ini adalah mustahil bagi akal untuk menerimanya. Tidak mungkin sesuatu itu muncul setelah tidak ada kecuali karena adanya sebab yang memunculkannya, tanpa sebab ini maka tidak akan beralih dari ketidakadaannya semula, karena asalnya sesuatu itu adalah tetapnya sesuatu dalam kondisi semula.
Asumsi ketiga, prasangka mereka bahwa mereka mengadakan diri mereka sendiri.
Ayat ini mengangkat asumsi ketiga ini dengan gaya bahasanya yang jitu, mampu mengalihkan perhatian mereka kepada sikap mengklaim kebenaran “daur” (lingkaran setan) yang mustahil diterima oleh akal. Daur adalah apabila keberadaan sesuatu tergantung kepada dirinya sendiri, dia adalah sebab sekaligus juga akibat itu sendiri dalam satu waktu. Ini adalah sesuatu yang mustahil dan batil adanya.
Perhatikanlah bagaimana Al Quran dengan bahasa dialognya menunjukkan kesalahan orang-orang kafir yang mengajak kepada sikap daur dan Ar Rujhan biduni murajjih, sehingga secara otomatis klaim mereka pun berguguran. Al Quran menempuh jalan ini tanpa menggurui, tidak mengajarkan hal yang mereka tidak ketahui, atau memberikan kesimpulan akhir secara langsung kepada mereka. Al Quran hanya membawa pikiran mereka kepada timbangan logika dan ilmu, dan membiarkan mereka dalam timbangan tersebut, padahal mereka sebelumnya telah mengenakan seragam masa bodoh, pura-pura tidak tahu dan menutup mata.
Dan yang lebih dahsyat lagi adalah Al Quran dalam dialog ini, hanya membawa kaidah pemikiran yang logis, tanpa menggunakan istilah yang dikenal oleh sebagian orang, sehingga pengetahuan dan pemahaman ini bisa diterima oleh semua kalangan, sejauh apapun wawasan mereka, setinggi apapun level pengetahuan mereka, selama mau menggerakkan otaknya dengan bebas merdeka, dibarengi dengan pengamatan dan pikiran jernih.
Kemudian renungkanlah beberapa ayat berikut ini :
أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَحْرُثُونَ (63) أَأَنْتُمْ تَزْرَعُونَهُ أَمْ نَحْنُ الزَّارِعُونَ (64) لَوْ نَشَاءُ لَجَعَلْنَاهُ حُطَامًا فَظَلْتُمْ تَفَكَّهُونَ (65) إِنَّا لَمُغْرَمُونَ (66) بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ (67) أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ (68) أَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُونَ (69) لَوْ نَشَاءُ جَعَلْنَاهُ أُجَاجًا فَلَوْلَا تَشْكُرُونَ (70) أَفَرَأَيْتُمُ النَّارَ الَّتِي تُورُونَ (71) أَأَنْتُمْ أَنْشَأْتُمْ شَجَرَتَهَا أَمْ نَحْنُ الْمُنْشِئُونَ (72) نَحْنُ جَعَلْنَاهَا تَذْكِرَةً وَمَتَاعًا لِلْمُقْوِينَ (73)
“Maka Terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam. Kamukah yang menumbuhkannya atau kamikah yang menumbuhkannya? Kalau kami kehendaki, benar-benar kami jadikan dia hancur dan kering, Maka jadilah kamu heran dan tercengang. (sambil berkata): "Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian", Bahkan kami menjadi orang-orang yang tidak mendapat hasil apa-apa. Maka Terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya atau kamikah yang menurunkannya? Kalau kami kehendaki, niscaya kami jadikan dia asin, Maka mengapakah kamu tidak bersyukur? Maka Terangkanlah kepadaku tentang api yang kamu nyalakan (dengan menggosok-gosokkan kayu). Kamukah yang menjadikan kayu itu atau kamikah yang menjadikannya? Kami jadikan api itu untuk peringatan dan bahan yang berguna bagi musafir di padang pasir.” (QS. Al Waqiah : 63-73)
Ini adalah dialog lain yang berusaha menyampaikan pesan bahwa kita harus yakin akan keberadaan Allah dan keesaan-Nya, dengan memfokuskan segenap perhatian dan pikiran kita kepada beberapa fenomena yang muncul di permukaan alam semesta ini. Bagaimana caranya agar kita sampai paada keyakinan ini ?
Cara menyingkap kebenaran ini adalah dengan berdalil kepada asas “Al Illah al Ghaiyyah” (sebab yang bertujuan) yang menunjukkan eksistensi seluruh makhluk di alam semesta ini, dalam kerangka tujuan yang bersesuaiaan dengan tabiat manusia dan kebutuhannya, karenanya mustahil kita mengatakan bahwa keberadaan semua makhluk ini adalah secara tiba-tiba.
Hanya saja dialog Al Quran dalam menjelaskan hakikat ini tidak menggunakan bahasa ilmiah dan istilah-istilah kita sekarang, Al Quran hanya menuntun akal dengan dialog, yang membawa pikiran kepada hasil yang telah dicapai oleh kaidah ilimiah dengan bahasa ilmiah dan istilah-istilah yang dikenal, pikiran kita sebenarnya tidak perlu sedikitpun kepada prinsip-prinsip, istilah dan kaidah ilmiah, tapi ia butuh kepada fitrah lurus yang bisa merenung dengan jujur dan jernih.
Al Quran memfokuskan pengamatan kita kepada tanaman yang membuat bumi jadi hijau, belum sampai kita berfikir tentang bahan makanan yang tumbuh di atasnya yang menjadi sumber penyangga kekuatan hidup kita, Al Quran pun bertanya : “Apakah engkau wahai manusia yang menumbuhkan tanaman ini dari dalam bumi, yang engkau persangkakan tumbuh dengan sendirinya, sesuai hukum alam dan tabiatnya, kalau Allah berkehendak Allah pasti akan memerintahkan hukum alam itu tidak berlaku, dan tanaman yang tumbuh di atasnya menjadi kering kerontang, tidak mungkin alam memiliki kekuatan atau tujuan tertentu sehingga memposisikan diri sebagai penjamin bagi kehidupan dan keberadaan kalian semua di bumi.”
Kemudian Allah mengalihkan pandangan kepada air yang menjadi sumber utama bagi kehidupan manusia, Allah bertanya kepada orang-orang yang mengingkarinya :
“Apakah kalian yang memeras air dari awan dan menundukkan gas air yang mengantung di antara laut dan langit kepada aturan hujan, ini adalah hukum alam dan tabiat yang bergerak tanpa campur tangan manusia bukan ?”
Kalau Allah berkehendak maka pasti Dia jadikan air hujan itu pahit getir atau sangat asin yang membakar mulut setiap orang yang meminumnya dan bumi yang menyerapnya, sehingga kalian tidak bisa memakainya untuk mengairi tanaman dan kerongkongan kalian, kalian tidak memiliki kekuatan sedikitpun untuk menguasai laut, gas, kondisi basah dan hujan dan merubah segala kehendak Allah atas semuanya.
Kemudian Allah mengalihkan pandangan mereka kepada bahan api dan pohon unik yang bisa menghasilkan bara api, yaitu pohon markh dan ‘ifar, dan bertanya : “Apakah kalian membuat kesepakatan dengan alam untuk menumbuhkan pohon ini, dan menyimpan unsur bara api di dalamnya ?” Kalau semuanya berada dalam kendali alam, maka api akan buta tak tahu arah, sehingga api ini tidak memiliki kesesuaian dan hubungan sama sekali dengan kehidupan kalian. Jika kalian tidak akan memiliki kekuatan atau cara apapun untuk memanfaatkannya, apakah kalian tidak melihat bahwa kami Allah telah menjadikan api ini sebagai sarana hidup kalian, apapun varian dan perkembangannya, dan juga sarana untuk mendapatkan rizki dengan cara tradisional maupun dengan teknologi yang rumit.
Jadi dasar diskusi utama kita, seperti yang anda lihat, adalah mengalihkan perhatian kita, bahwa bukanlah merupakan keharusan apabila fenomena alam semesta yang ada di sekitar kita berlaku seperti saat ini sesuai dengan kebutuhan dan saran hidup kita. Bahkan adalah suatu hal yang mungkin jika kondisi alam semesta yang ada disekitar ini kondisinya tidak seperti sekarang ini, atau bersesuaian dengan kondisi hidup kita saat ini, dan bagi alam tidak memiliki peran sama sekali dalam asumsi ini.
Namun Yang Maha Agung dan Maha Mengaturlah yang menjadikan alam seperti saat ini, menjadikannya sesuai dengan perjalanan kehidupan, dan berjalan beriringan dengan sarana-sarana yang meramaikan alam semesta ini.
Inilah makna yang ingin ditegakkan dengan sederhana dalam pendekatan dialog Al Quran, yang bisa difahami oleh setiap orang yang berakal dan mau merenungi ayat-ayat Al Quran, makna ini sama persis dengan yang disampaikan dengan panjang lebar oleh para ulama aqidah dan pengagum filsafat, dengan menggunakan istilah ilmiah tertentu, seperti “al illat al ghaiyyah”, “nidhamul ahkimah” dan “tadbir.” Namun makna ini sangat tertutup dan menjadi rahasia yang tidak difahami kecuali oleh ulama yang menguasai disiplin ilmu tersebut, sementara di dalam ayat Al Quran ia adalah makna yang yang terbuka, jelas dan bisa difahami, bahkan mudah difahami, berkat pendekatan dialogis yang digunakan untuk mengungkapkannya.
Berdiskusi bicara tentang penerapan pendekatan dialogis ini dalam Al Quran butuh waktu yang lama, sebuah diskusi yang sangat indah dan bermanfat, namun di sini bukan tempatnya kita berlama-lama dan sampai mendetail.
Kami hanya ingin mengalihkan pandangan para pengamat tarbiyah dan aliran-aliran yang ada di dalamnya pada sisi ini, mengajak mereka untuk melakukan studi serius, dan pada akhirnya mereka tahu betapa mereka sangat perlu mengetahui dan mendalaminya dibanding metode tarbiyah modern yang bermanfaat.