KRISIS AKHLAQ GERAKAN ISLAM
Sebuah Upaya Rekonstruksi Gerakan Islam Masa Depan
Oleh: DR. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy*
C.1. Dasar-dasar konsep tarbiyah dalam Al Quran
Pendahuluan
Al Quran memiliki konsep tarbiyah yang unik, di dalamnya juga terdapat prinsip-prinsip pokok tarbiyah yang unik, keduanya memiliki perbedaan yang cukup besar.
Adapun konsep tarbiyah dalam Al Quran adalah jalan yang diampukan oleh Al Quran kepada semua umat Islam agar megikutinya dan berpegang teguh padanya. Adapun prinsip-priinsi pokok tarbiyah adalah seperangkat hukum, aturan dan nilai yang dibangun dan didakwahkan oleh Islam, dalam rangka membangun kepribadian, akhlak dan prilaku mereka, yang tercakup dalam hukum halal dan haram, aneka nilai akhlak yang diajarkan dan didakwahkan oleh Al Quran.
Sedang yang kami maksud konsep tarbiyah disini adalah konsep yang diampu oleh Al Quran, bukan yang disentuh oleh ajaran Islam secara umum. Karena Islam adalah agama yang secara garis besar aadalah konsep tarbiyah umat Islam secara menyeluruh, yang mewarnai jiwa, raga dan akal pikirannya, untuk meningkatkan kepribadiannya pada derajat fitrah yang hakiki.
Konsep tarbiyah yang menjadi tema bahasan kita dalam buku ini, terbagi ke dalam cabang dan bagian-bagian yang beragam banyaknya, akan menjadi panjang dan lama jika kita membahasnya dengan rincian dan detail-detailnya.
Kita akan mengambil prinsip-prinsip pokok dan pendukungnya secara global, dan membahsnya dengan tuntas, agar jelas dalam pandangan kita betapa pentingnya prinsip-prinsip ini dalam lingkup tarbiyah secara umum, dan jelas pula betapa butuhnya para murabbi di setiap medan tarbiyah pada prinsip-prinsip tersebut, sebagai panduan dan pendukung mereka dalam melakukan proses tarbiyah.
Pemahaman kita akan prinsip-prinsip ini akan memabawa kita kepada studi dan analisa lebih lanjut, lalu membuahkan nilai bagi konsep tarbiyah yang baru dan smart yang mana setiap ulama tarbiyah harus mengetahuinya, semenjak tarbiyah menjadi disiplin ilmu tersendiri, semenjak tarbiyah memiliki urgensi dalam tataran pengajaran dan pendidikan, dengan melihat ragam dan jenjang tarbiyah itu sendiri.
Inilh yang kami maksud dengan “Konsep tarbiyah dalam Al Quran” di buku kami yang ringkas dan sederhana ini.
Bertolak pada penjelasan di atas, ada tiga prinsip dasar tarbiyah yang dibangun dalam konsep tarbiyah Al Quran, ketiga prinsip dasar itu adalah :
Pertama, Muhakamah aqliah
Kedua, Ibrah dari sejarah
Ketiga, Menggugah emosi
Semua model tarbiyah yang kita dapatkan dalam Al Quran bermuara pada satu dari tiga prinsip dasar tarbiyah di atas, beredar dalam poros dan berjalan sesuai dengan salah satu dari tiga prinsip dai atas.
Dalam prakteknya ketiga prinsip dasar tarbiyah selalu terpisah, namun kesatuan dari ketiganya mencerminkan tangga yang harus kita pakai dalam menaikkan kepribadian dan akal pada posisi yang lebih tinggi dan mulia, yang mana fitrah kemanusiaan selalu cenderung padanya..
Akal saja tidak cukup untuk menumbuhkan kepercayaan diri, selama tidak ada dukungan realita yang menguatkannya, yang tercemin dalam sejarah dengan peristiwa dan ibrah yang selalu menyertainya. Bahkan ketika hati kita telah merasa kepercayaan diri, belumlah akan menjaadi tertarah dan terdorong, kecuali setelah ada tentara dan prajurit emosi dan perasaan yang kami sebut dengan menggugah emosi.
Jika tiga faktor ini terpenuhi dalam diri setiap anak manusia, dan membeikan panduan yang jelas kepada satu jalan, maka tidak akan ada rintangan ataupun halangan berarti dalam mencapai tujuannya.
Kita tidak akan terjauhkan dari hakikat sesuatu, terhalang untuk sampai pada tujuan hakikat tersebut, kecuali apabila salah satu dari ketiga faktor di atas tdak menunjukkan perannya dengan baik dalam menemukan, menyingkap dan memudahkan jalan pada hakikat ini.
Kita akan lihat pada bab-bab yang akan datang, bagaimana Al Quran memberikan sentuhan tiga faktor di atas dalam mendidik manusia, menggiring mereka pada jalan kebenaran dan kebahagiaan.
C.2. Dialog Aqliah
Dialog aqliah Al Quran bisa kita lihat dari tiga sisi berikut ini :
Pertama, Pengenalan jati diri manusia
Kedua, Pemilihan gaya bahasa yang sesuai dengan tingkat pengetahuan umum manusia
Ketiga, Pendekatan dialog dan diskusi
Pertama, pengenalan jati diri manusia
Al Quran memulai dialognya bersama manusia dengan mengarahkann mereka pada perenungan dan penghayatan akan jati diri mereka, dan berbicara tentang asal muasal, hakikat diri, pertumbuhan dan perkembangannya.
Hal ini secara jelas kita lihat di ayat pertama Al Quran yang turun, sebagaimana kita lihat pada lembaran-lembaran pertama Al Quran dari sisi penulisan secara tertib dan urut. Ayat pertama yang turun berisi pengenalan manusia dan jati dirinya, Allah swt berfirman :
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” .(QS. Al Alaq : 1-5)
Kita perhatikan Allah tidak menunjukkan rububiyyah dan keesaan-Nya kepada manusia untuk awal ayat yang turun ini, namun Allah justru menunjukkan manusia kepada jati diri, asal muasal dan proses kejadiannya.
Begitu juga lembaran pertama Al Quran dari surat Al Baqarah, yang merupakan surat pertama dalam Al Al Quran (setelah ummul kitab), berisi tentang pengelompokan manusia dalam kehidupan di dunia ini, ada kelompok manusia beriman, kelompok manusia kafir dan kelompok manusia munafik, lalu sejarah perkembangan dan akhir kehidupann mereka.
Peringatan Allah kepada manusia akan jati dirinya dalam ayat di atas akan selalu berulang dalam surat-surat yang lain, jika kontek surat membutuhkan dalil adanya alam semesta dan realitas umat manusia, sebagai bukti bagi wujudnya Allah sang Khaliq, keesaan-Nya sekaligus juga hari akhir dengan segala kejadian dan peristiwa yang melingkupinya.
Ini adalah prolog yang memiliki nilai tarbiyah sangat penting, karena semua pengetahuan yang didapatkan manusia pada hakikatnya adalah buah dari pengetahuan sebelumnya, yakni pengetahuan akan jati dirinya. Tanpa pengetahuan awal ini, manusia tidak akan menemukan timbangan yang valid bagi pengetahuan yang berkembang dibawahnya. Kalau kita tidak yakin dengan akal dan tugasnya, maka kita tidak akan percaya kata-kata dan hasil pemikirannya, kalau bukan karena pengetahuan kita akan jati diri kita yang terdiri dari unsur ruhani dan jasmani, maka kita tidak akan sampai pada pengetahuan tentang hakikat alam semesta yang bertebaran di sekitar kita, dan kita tidak akan memahami hubungan kita dengan alam semesta.
Begitulah…apabila pengetahuan kita akan hakikat diri kita itu baik dan benar, maka pengetahuan kita akan alam semesta ini akan baik dan benar pula.
Sebaliknya, jika kita tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang jati diri kita dan batasan-batasannya, maka kita juga tidak akan sempurna dalam memahami uluhiyyah Allah, tidak akan benar aqidah kita tentang alam semesta, awal dan akhir perjalanannya, karena kepercayaan diri kita merupakan sumber bagai kepercayaan kita kepada setiap teori dan aturan hukum yang kita hasilkan. Apabia pencari kebenaran tidak yakin dengan diri dan akal yang ia punya, atau dalam kondisi yang tidak benar, maka akan hilanglah semua keyakinan akan ilmu dan pengetahuan dalam dirinya, dan kalaupun ilmu pengetahuan itu ia dapatkan, pasti penuh dengan kesalahan.
Mari kita perhatikan, sesungguhnya orang kafir yang mengingkari keimanannya kepada Allah, tidak mampu mendudukkan rububiyyah Allah dalam hatinya, adalah karena mata mereka yang buta dengan apa yang ada di sekelililng mereka, tidak pernah sadar sedikitpun untuk bergerak merenungi dan menyelami jati diri mereka.
Demi pentingnya hakikat inilah, Al Quran memulai sentuhan dialog aqliahnya kepada orang-orang yang mengingkari keberadaan Allah dengan mengalihkan perhatian mereka kepada diri mereka dan cerita hidup mereka sendiri, ketika mereka sudah menyadari ini, maka Allah akan ajak mereka untuk berdialog tentang rububiyah dan keesaan-Nya, sekaligus juga kehambaan manusia pada-Nya.
Mari kita renungkan ayat-ayat berikut ini :
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ (5) خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ (6) يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ (7) إِنَّهُ عَلَى رَجْعِهِ لَقَادِرٌ (8)
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, Yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan. Sesungguhnya Allah benar-benar Kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati).” (QS. Ath Thariq : 5-8)
“Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya kami Telah menjadikan kamu dari tanah, Kemudian dari setetes mani, Kemudian dari segumpal darah, Kemudian dari segumpal daging yang Sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar kami jelaskan kepada kamu dan kami tetapkan dalam rahim, apa yang kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, Kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi, Kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya Telah diketahuinya.” (QS. Al Haj : 5)
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ (12) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ (13) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آَخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ (14)
“Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.” (QS. Al Mukminun : 12-14)
Jika kita merenungi ayat-ayat ini dan yang semisal dengannya, maka ayat-ayat itu berisikan tentang hakikat alam semesta ini, dengan keterpaduan dan ketundukannya pada aturan Tuhan yang Esa. Ayat-ayat ini menjadi prolog dalam menyingkap hakikat alam semesta dalam akal dan pikiran manusia.
Jika kita bersungguh-sungguhh dalam merenungi ayat-ayat Al Quran, maka kita akan melihat, bahwasanya Al Quran tidak akan berpanjang-panjang dan mendetail dalam menganalisa segala hal yang berkaitan dengan alam semesta, bahwasanya Al Quran tidak akan berbicara dengan gaya bahasa yang sangat beragam tentang awal munculnya alam semesta dan perkembangannya, sebagaimana yang dilakukan Al Quran ketika membahas dan membicarakan manusia.
Hikmah dari realitas ini adalah bahwa pengenalan manusia akan jati dirinya dan asal muasal penciptaannnya, adalah merupakan sarana tarbiyah yang tidak ada duanya, dalam kerangka meyakinkan akal dan pikirannya tentang hakikat yang menjadi rahasia bagi keberadaan dirinya.